Tak hanya sekadar menjual makanan, Warung Mak Uti juga menjadi saudara baru bagi perantau-perantau di Jogja. Pemilik warung bahkan menjadi tempat curhat seorang mahasiswa luar Jawa perihal masalah-masalah yang tengah ia hadapi di perantauan. Hal tersebut tidak lepas dari sikap dan perlakuan dari si pemilik warung, ibu-ibu paruh baya yang begitu hangat terhadap pelanggan-pelanggannya.
***
Setiap ada warung, entah warung kopi atau warung makan, yang lokasinya berada di bawah pohon pasti membuat saya selalu terpancing untuk mampir. Suasana teduh dan sepoi-sepoi anginnya membuat saya merasa seperti sedang di rumah saya di pelosok Rembang, Jawa Tengah.
Begitu juga saat saya melihat Warung Mak Uti yang berada tidak jauh dari Universitas Sanata Dharma (USD) Kampus III, Jl. Paingan, Maguwoharjo, Jogja. Warungnya kecil. Di sebelahnya ada pohon jambu monyet dengan dedaunan rindang dan satu petak kolam ikan.
Yang membuat saya makin tertarik dengan Warung Mak Uti, Jogja adalah karena saat melintas di depannya pada Selasa, (23/4/2024), tawa terbahak-bahak terdengar dari dalam warung. Terdengar begitu gayeng. Saya yang terlanjur terlewat akhirnya putar balik untuk mampir di Warung Mak Uti, Jogja tersebut.
“Mereka ini pekerja di PT-PT yang ada di sekitar sini, orang-orang perantauan. Kalau jam makan siang seperti ini sudah pasti ke sini. Jadi ramai,” ujar Mak Uti (65) si pemilik warung.
Saya mampir ke Warung Mak Uti, Jogja pada pukul 12.30 WIB. Jadi saya maklum kalau suasana Warung Mak Uti ramai. Namun, yang membuat saya agak terheran-heran adalah antara Mak Uti dengan para pekerja itu tampak sangat akrab. Tampak seperti kerabat sendiri.
Warung Makan Mak Uti Jogja manjakan pelanggan dengan prasmanan
Sebelum ngobrol-ngobrol lebih lanjut dengan Mak Uti, saya sempat memesan satu porsi makanan pada Mak Uti. Tapi ia justru menunjukkan letak piring.
“Di sini ambil sendiri, Nak,” ucap Mak Uti saat menangkap wajah kebingungan saya.
Saya pun lantas mengambil nasi, sepotong telur dadar, sepotong tahu, dan saya guyur dengan sayur lodeh. Sebenarnya ada beberapa menu masakan rumahan khas pedesaan di Warung Mak Uti, Jogja. Misalnya sambal terong, capcay, dan sayur-sayuran lain yang saya tak tahu namanya. Tapi lodeh memang menjadi makanan andalan saya setiap kali bingung harus memilih menu apa.
“Minumnya es teh mawon,” ucap saya pada Mak Uti.
Perempuan itu dengan cekatan menuju dapur. Tak lama kemudian segelas es teh ia hidangkan di meja saya di bawah pohon jambu monyet. Saya sengaja memilih duduk di situ, tidak di dalam warung, karena saya memang ingin merasakan sensasi teduh di bawah pepohonan. Mak Uti turut menemani sambil berbincang.
“Saya bikin ambil sendiri (prasmanan) karena yang tahu porsi pelanggan kan pelanggan sendiri. Kalau saya ladeni nanti kan bisa kebanyakan, bisa juga malah kesedikitan,” kata Mak Uti.
Meski begitu, seturut pengalaman Mak Uti membuka warung sejak 2019, para pelanggan yang datang di Warung Mak Uti, Jogja tak ada yang makan dengan porsi ugal-ugalan. Meski sistemnya prasmanan, tapi mereka semua tahu diri dalam mengambil makanan.
Mak Uti jadi saudara baru bagi perantau di Jogja
Mak Uti sendiri sebelumnya menjalankan usaha catering. Mak Uti lupa kapan persisnya ia menjalankan usaha tersebut. Yang jelas usaha catering-nya jalan saat anaknya masih kelas 2 SD (anaknya sekarang sudah berumah tangga sendiri).
Namun, karena semakin sepi orderan, Mak Uti pun akhirnya membuka warung di lahan yang sekarang jadi lokasi Warung Mak Uti.
“Ya pokoknya bapak pensiun dari tempat kerjanya, saya akhirnya langsung buka warung. Alhamdulillah kok ramai,” ujar perempuan asal Sambilegi, Maguwoharjo, Jogja tersebut.
Menurut keterangan Mak Uti, para pelanggannya kebanyakan memang para perantau di Jogja. Selain dari beberapa daerah di Jawa, dari Aceh dan Papua pun juga ada. Semuanya tampak akrab dengan Mak Uti.
Bahkan sesekali Mak Uti ikut nimbrung obrolan mereka setelah mereka selesai menandaskan makanan masing-masing. Mak Uti juga mengenal beberapa nama dari para pelanggannya itu.
“Awalnya ya nggak kenal. Tapi kalau pada makan di sini saya ajak bicara. Lama-lama jadi akrab. Lama-lama malah jadi seperti saudara sendiri,” tutur Mak Uti.
Kesan “seperti saudara sendiri” itu, misalnya dalam momen kecil yang saya tangkap, yakni ketika beberapa pelanggan yang baru datang langsung menghampiri Mak Uti untuk bersalaman: mengucapkan sugeng riyadin (karena masih dalam bulan Syawal). Ikatan yang sepertinya amat jarang terjalin antara pelanggan dengan pemilik warung.
Baca halaman selanjutnya…
Jadi tempat curhat mahasiswa Kalimantan
Saat suasana Warung Mak Uti, Jogja perlahan sepi, saya kemudian menanyakan berapa kiranya yang harus saya bayar atas makanan yang sudah saya santap.
“Rp13 ribu, Nak. Nasi telur dan tahunya Rp9 ribu. Es tehnya Rp4 ribu,” ucap Mak Uti.
Setelah membayar, seorang mahasiswa yang berjalan dari Universitas Sanata Dharma Kampus III masuk ke Warung Mak Uti. Ia menyapa Mak Uti terlebih dulu, juga dengan akrab. Ia lantas mengambil sendiri menu yang hendak ia santap.
Mak Uti pun demikian. Seperti sudah hafal, ia langsung menuju ke dapur mengambil segelas air putih untuk si mahasiswa USD Kampus III tersebut.
“Kok lama kamu nggak kelihatan?,” tanya Mak Uti ke si mahasiswa itu yang kemudian dijawab dengan penjelasan yang agak panjang.
“Masnya ini juga pelanggan di sini. Asalnya dari Kalimantan,” ucap Mak Uti saat kembali menghampiri tempat duduk saya. Mak Uti lantas menceritakan sedikit seluk-beluk dari mahasiswa asal Kalimantan itu. Saya tentu heran. Kok bisa Mak Uti tahu detail-detail kecil dari si mahasiswa Kalimantan itu?
“Karena saya juga sering curhat, Mas, ke Mak Uti. Termasuk masalah-masalah saya. Misalnya, yang terbaru, saya punya masalah sama anak asrama, saya cerita juga ke Mak Uti,” ucap mahasiswa asal Ketapang, Kalimantan Barat itu, yang kemudian saya tahu bernama Samuel (21).
Samuel memilih sering makan di Warung Mak Uti ya apalagi kalau bukan karena murah. Dengan nasi+lauk (entah telur, ayam, atau yang lain) dan air putih, Samuel hanya perlu membayar Rp8 ribu saja. Lebih dari itu, kehangatan Mak Uti membuat Samuel seperti sedang makan di rumah nenek sendiri.
Mak Uti dan barang-barang pelanggan yang tertinggal di warung
Saya sudah hampir beranjak dari Warung Mak Uti, Joga. Tapi baru saja berdiri, Mak Uti tampak lari-lari ke seberang jalan sambil meneriaki seseorang. Ternyata ia meneriaki seseorang yang menggondol HP pelanggan Mak Uti yang entah jatuh atau tertinggal di selokan seberang jalan warung.
Sebelumnya, setelah si pelanggan makan, si pelanggan memang sempat ke selokan untuk memberesi paralon. Saya tak terlalu paham soal ini. Tapi ketika si pelanggan beringsut, sepertinya HP-nya kelupaan.
Mak Uti melihatnya. Hanya saja si pelanggan sudah keburu memacu motor. Ketika Mak Uti keluar hendak mengamankannya, ternyata ada seseorang yang melintas dan menyambar HP tersebut. Sontak teriaklah Mak Uti. HP pelanggan pun terselamatkan. Sampai kemudian si pelanggan datang untuk mengambil HP-nya yang tertinggal tersebut.
“Yang seperti ini sering, Mas, di warung. Dompet itu paling sering ketinggalan. Tapi ya saya amankan. Nggak berani saya buka-buka. Pokoknya saya ambil terus amankan.”
Mak Uti berucap demikian sambil berlalu. Lalu Samuel menatap saya sambil tersenyum dan mengangguk dalam. Seperti hendak mengatakan, “Kamu tahu kan kenapa saya menganggap Mak Uti seperti nenek sendiri?”.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Menelusuri Bebek Purnama yang Pertama di Surabaya, Ternyata Tidak Buka Cabang
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News