Jadi tempat curhat mahasiswa Kalimantan
Saat suasana Warung Mak Uti, Jogja perlahan sepi, saya kemudian menanyakan berapa kiranya yang harus saya bayar atas makanan yang sudah saya santap.
“Rp13 ribu, Nak. Nasi telur dan tahunya Rp9 ribu. Es tehnya Rp4 ribu,” ucap Mak Uti.
Setelah membayar, seorang mahasiswa yang berjalan dari Universitas Sanata Dharma Kampus III masuk ke Warung Mak Uti. Ia menyapa Mak Uti terlebih dulu, juga dengan akrab. Ia lantas mengambil sendiri menu yang hendak ia santap.
Mak Uti pun demikian. Seperti sudah hafal, ia langsung menuju ke dapur mengambil segelas air putih untuk si mahasiswa USD Kampus III tersebut.
“Kok lama kamu nggak kelihatan?,” tanya Mak Uti ke si mahasiswa itu yang kemudian dijawab dengan penjelasan yang agak panjang.
“Masnya ini juga pelanggan di sini. Asalnya dari Kalimantan,” ucap Mak Uti saat kembali menghampiri tempat duduk saya. Mak Uti lantas menceritakan sedikit seluk-beluk dari mahasiswa asal Kalimantan itu. Saya tentu heran. Kok bisa Mak Uti tahu detail-detail kecil dari si mahasiswa Kalimantan itu?
“Karena saya juga sering curhat, Mas, ke Mak Uti. Termasuk masalah-masalah saya. Misalnya, yang terbaru, saya punya masalah sama anak asrama, saya cerita juga ke Mak Uti,” ucap mahasiswa asal Ketapang, Kalimantan Barat itu, yang kemudian saya tahu bernama Samuel (21).
Samuel memilih sering makan di Warung Mak Uti ya apalagi kalau bukan karena murah. Dengan nasi+lauk (entah telur, ayam, atau yang lain) dan air putih, Samuel hanya perlu membayar Rp8 ribu saja. Lebih dari itu, kehangatan Mak Uti membuat Samuel seperti sedang makan di rumah nenek sendiri.
Mak Uti dan barang-barang pelanggan yang tertinggal di warung
Saya sudah hampir beranjak dari Warung Mak Uti, Joga. Tapi baru saja berdiri, Mak Uti tampak lari-lari ke seberang jalan sambil meneriaki seseorang. Ternyata ia meneriaki seseorang yang menggondol HP pelanggan Mak Uti yang entah jatuh atau tertinggal di selokan seberang jalan warung.
Sebelumnya, setelah si pelanggan makan, si pelanggan memang sempat ke selokan untuk memberesi paralon. Saya tak terlalu paham soal ini. Tapi ketika si pelanggan beringsut, sepertinya HP-nya kelupaan.
Mak Uti melihatnya. Hanya saja si pelanggan sudah keburu memacu motor. Ketika Mak Uti keluar hendak mengamankannya, ternyata ada seseorang yang melintas dan menyambar HP tersebut. Sontak teriaklah Mak Uti. HP pelanggan pun terselamatkan. Sampai kemudian si pelanggan datang untuk mengambil HP-nya yang tertinggal tersebut.
“Yang seperti ini sering, Mas, di warung. Dompet itu paling sering ketinggalan. Tapi ya saya amankan. Nggak berani saya buka-buka. Pokoknya saya ambil terus amankan.”
Mak Uti berucap demikian sambil berlalu. Lalu Samuel menatap saya sambil tersenyum dan mengangguk dalam. Seperti hendak mengatakan, “Kamu tahu kan kenapa saya menganggap Mak Uti seperti nenek sendiri?”.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Menelusuri Bebek Purnama yang Pertama di Surabaya, Ternyata Tidak Buka Cabang
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News