Sudah jualan selama 27 tahun, Warung Es Puter Pak Sumijan di Lasem, Kabupaten Rembang bukan hanya soal harga murah dan kenikmatan yang ditawarkan. Ada kesahajaan sang pemilik yang membuat warung ini masih selalu dicari-cari pelanggan sampai saat ini.
***
Sekitar pukul 14.00 WIB, cuaca Lasem yang cukup terik membuat kerongkongan saya terasa kering. Maka usai merampungkan urusan dengan seorang kawan, saya lantas memacu motor menuju Warung Es Puter Bapak Sumijan di Pebeyan Wetan, Gedongmulyo, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Letaknya memang agak sedikit mblusuk. Bentuk warungnya pun benar-benar sederhana. Namun, siapa nyana, yang nongkrong di sini justru kebanyakan pengusaha-pengusaha dari kalangan Tionghoa.
Termasuk siang itu, Rabu, (20/07/2022) ketika saya tiba di Warung Es Puter Bapak Sumijan, tampak empat orang keturunan Tionghoa baru saja keluar dari warung. Lamat-lamat saya dengar satu di antara mereka menyebut bahwa Warung Es Puter Bapak Sumijan adalah yang paling top di Lasem. Sepertinya dua di antara mereka baru kali itu mencicipi es puter legendaris tersebut.
“Monggo, Mas, es puter nggeh?,” sambut bapak-bapak usia 60-an tahun dengan senyum yang begitu bersahaja. Namanya Pak Sumijan, sosok di balik istimewanya Warung Es Puter Bapak Sumijan di lidah dan hati pelanggan.
Tak butuh waktu lama, es puter pesanan saya sudah terhidang di meja. Dari segi penyajian tak kalah dari es puter di warung-warung yang sedikit lebih mewah yang pernah saya singgahi. Dari segi rasa, duh, sendokan pertama rasanya mak nyess. Terasa makin seger karena suasana di Warung Es Puter Bapak Sumijan lumayan teduh dan silir.
“Harga umumnya Rp5 ribu saja, Mas. Tapi kalau mau beli Rp3 ribu, ya tetep boleh. Itu minimalnya,” ujar Pak Sumijan ketika saya tanya perihal harga yang ia patok untuk satu porsi es puter di warungnya.
“Rp3 ribu boleh, Pak?” timpal saya agak keheranan. Sebab, bagi saya harga Rp5 ribu dengan porsi yang sangat mengenyangkan saja sudah istimewa. Lah ini ternyata masih bisa pesan dengan harga Rp3 ribu.
Maka untuk menjawab segala rasa penasaran saya atas Warung Es Puter Bapak Sumijan, obrolan demi obrolan pun mengalir antara saya dengan Pak Sumijan. Mumpung siang itu kondisi warung juga agak lengang.
Banting setir dari sopir truk logistik
Pak Sumijan menuturkan, ia mulai jualan es puter sejak 1995. Kala itu ia masih keliling di kampung Pecinan Gedongmulyo.
Sebelum jualan es puter, awalnya Pak Sumijan berprofesi sebagai sopir truk logistik. Namun, karena upah yang ia terima terasa kurang untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, maka ia memutuskan untuk banting setir, melanjutkan hidupnya di bidang kuliner, khususnya sebagai penjual es puter.
“Kenapa tertarik es puter? Ya karena saya rasa mudah dipelajari. Dan waktu itu masih jarang pula yang jualan, jadi saya manfaatkan (peluang tersebut),” tuturnya.
“Saya belajarnya dari teman. Jadi ada teman saya yang jualan es puter di kampungnya, terus saya coba tiru. Tapi saya tambahkan racikan saya sendiri, istilahnya resep rahasia lah, Mas,” sambungnya.
Sempat agak terseok-seok di awal jualan, seiring waktu Pak Sumijan akhirnya menemukan pasarnya tersendiri. Justru dari kalangan orang-orang keturunanan Tionghoa di Gedongmulyo lah yang kemudian menjadi pelanggannya.
Tiap kali melintas di kampung Pecinan Gedongmulyo, tentu Pak Sumijan jadi serbuan. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa pun selalu menanti kedatangan Pak Sumijan. Apalagi Pak Sumijan, sedari dulu, memang menawarkan es puter dengan harga murah meriah, isian melimpah, serta rasa yang “wah”.
“Zaman segitu saya jualnya di harga Rp25 perak hingga Rp50 perak, Mas. Keliling dari pagi sampai zuhur. Itu Alhamdulillah hasilnya sudah cukup,” ujarnya.
Sempat menyerah dan menjadi tukang becak
Memasuki tahun 2000-an, Pak Sumijan sempat terpuruk dan kehilangan pelanggan.
Hal tersebut terjadi manakala ia mencoba untuk menaikkan harga jual es puternya dari yang semula Rp25 perak hingga Rp50 perak menjadi Rp100 perak.
Pak Sumijan mengakui, tidak mudah sebenarnya untuk memutuskan menaikkan harga es puternya di masa itu. Lebih-lebih ia adalah tipikal orang yang tidak tegaan. Ia sendiri waktu itu sudah mengira kalau keputusannya tersebut akan membuatnya kehilangan pelanggan satu per satu,
Namun, keputusan harus tetap diambil. Bagaimanapun, Pak Sumijan harus mengikuti standar harga pasar agar ia masih bisa mendapat untung.
“Kondisi ekonomi di tahun 2000-an itu masih belum stabil akibat dampak krisis moneter. Alhasil ketika saya naikkan harga (es puternya), terasanya kemahalan. Akhirnya tidak ada yang mau beli,” terang Pak Sumijan sembari memainkan kumisnya yang sudah memutih.
Dan benar saja, tak lama setelah harga es puter Pak Sumijan naik, ia sudah tak menjadi serbuan pelanggan sebagaimana biasanya.
Pak Sumijan sempat masih bersikeras bertahan menjadi penjual es puter, Hari-hari masih mencoba mencari peruntungan dengan berkeliling dari satu titik ke titik yang lain. Namun karena ternyata mentok, tak ada hasil, ia pun menyerah.
Pada akhirnya Pak Sumijan memutuskan memarkir gerobak es puternya dan beralih profesi sebagai tukang becak.
“Memilih jadi tukang becak karena di tahun-tahun itu becak kan masih jadi salah satu moda transportasi alternatif yang banyak dipakai orang. Kalau di Lasem sini orang kalau mau ke pasar, kalau ndak makai becak ya dokar (andong),” ungkap Pak Sumijan saat saya tanya perihal alasannya memilih menarik becak.
“Toh kalau narik becak kan masih di sini-sini saja, di Lasem sendiri. Ibarat kata tidak jauh dari rumah. Kalau balik jadi sopir colt diesel (truk logistik), nanti harus hidup di jalan lagi. Sementara juga belum kepikiran untuk mencoba jualan lain selain es puter kalau melihat kondisinya seperti masa itu,” tambahnya.
Pelanggan yang merasa kehilangan
Seturut ingatan Pak Sumijan, ia berhenti jualan es puter dan mencoba peruntungan menjadi tukang becak kurang lebih berjalan hingga enam bulan kemudian. Setelah itu, ia akhirnya kembali jualan es puter yang malah bertahan hingga saat ini.
Ceritanya, ketika ia tengah duduk-duduk di becaknya sembari menunggu penumpang, tanpa sengaja ia berpapasan dengan salah seorang pelanggan es puternya. Dari sana ia tahu bahwa ternyata selama enam bulan terakhir sejak ia memutuskan berhenti jualan, banyak pelanggan yang mencari-cari keberadaannya.
Maka setelah ia timbang-timbang, ia pun kembali mendorong gerobak es puternya. Es Puter Pak Sumijan lantas kembali menjadi yang dinanti-nanti untuk melepas dahaga di siang hari.
“Harganya ndak saya turunkan, saya tetep patok Rp100. Dan nyatanya masih pada mau beli. Ndak tahu ya, mungkin karena sudah cocok dengan es puter saya, jadi tetep saya yang dicari,” ujarnya.
Sekitar tahun 2015, lantaran usia yang tak lagi muda, Pak Sumijan memilih untuk berhenti jualan keliling. Ia lalu membuka “gubuk” kecil di pelataran rumahnya. “Gubuk” kecil yang kemudian dikenal banyak orang sebagai “Warung Es Puter Bapak Sumijan”.
Kendati lokasinya agak nyelempit, namun nyatanya Pak Sumijan tak kesulitan mencari pelanggan. Pelanggan lamanya pun justru masih banyak yang singgah ke warung es puternya tersebut. Perlahan-lahan juga mulai mendapat banyak pelanggan baru.
“Kalau dulu sebelum saya buka warung di rumah, saya memang pamitan dulu sama pelanggan yang biasanya nunggu saya keliling. Nah informasi tersebut kan digethuk-tularkan, dari mulut ke mulut, makanya kalau mau beli es, mereka lah yang ke sini,” terangnya.
“Kalau sekarang enaknya ada HP, ada media sosial. Tinggal infokan, beres. Kalau bingung cari lokasinya, ya tinggal cari di Google Maps, langsung ketemu,” lanjutnya.
Tak ingin ngoyo, secukupnya saja
“Pak, semakin ke sini harga Rp5 ribu itu apa nggak kemurahen?” pancing saya sesaat setelah Pak Sumijan melayani pembeli dan kembali duduk menemani saya.
Karena bisa saja ia menaikkan harga hingga Rp8 ribu misalnya. Harga umum di warung-warung es puter yang sejauh ini saya jumpai. Atau jika mau menjual sisi legendarisnya, bisa juga sedikit dimahalkan.
Dengan senyum yang bersahaja, Pak Sumijan menggelengkan kepala. Kepada saya ia mengaku, pendapatan dari jualan es puter dengan harga segitu ia rasakan sudah cukup. Karena prinsip Pak Sumijan adalah, kalau kebutuhan sehari-hari cukup, ia tak terlalu berhasrat mencari untung yang lebih lagi.
“Buktinya ya saya bisa menghidupi istri dan lima anak saya. Anak-anak saya nyatanya ya bisa sekolah semua,” tutur Pak Sumijan.
“Pokoknya ngalap cukup dan syukur, Mas. Rezeki kan sesuai cetakannya. Saya dulu pernah keliling itu ngoyo, sampai sore saya lakukan. Ya memang betul dapat untungnya lebih banyak, tapi karena jatah rezeki saya sejatinya ndak segitu, saya akhirnya sakit, untung dari jualan tadi buat berobat. Rezeki itu jangan diukur cuma dari uang, kesehatan itu juga rezeki loh,” ucapnya menambahkan.
Lebih lanjut Pak Sumijan mengungkapkan, kalau kecukupan dan ketenangan hidup yang ia rasakan saat ini tidak lepas dari bagaimana ia berbuat pada orang lain.
Sejak buka kembali pada pertengahan tahun 2000-an, Pak Sumijan tak hanya ingin bicara soal untung/rugi. Ia ingin juga menyenangkan setiap pembeli.
Itulah yang menjadi salah satu alasannya buka lagi setelah tutup selama enam bulan. Karena banyak orang yang mencarinya, maka ia pun tak sampai hati jika tidak buka lagi.
“Membuat senang orang lain itu ternyata dampaknya besar bagi hidup, Mas. Jadi sekarang ini yang saya lakukan ya pokoknya bikin orang lain seneng. Mangkanya saya itu ndak angel-angel. Es ini saya hargai Rp5 ribu. Tapi kalau ada yang bisanya beli Rp 3 ribu, tetep saya layani. Wong bisanya cuma beli segitu kok,” ungkapnya.
Siapkan penerus
Selain jualan di warung, Pak Sumijan juga menerima jasa pesanan untuk berbagai macam hajatan. Itu semua dilakukan Pak Sumijan tidak lain juga atas dasar ingin menyenangkan dan memudahkan orang lain.
Karena bisa jadi orang memilih pesan es di Pak Sumijan karena terjangkau. Baik dari segi lokasi maupun harga. Harga murah tapi rasa tidak murahan.
Bahkan untuk urusan menutup warung pun Pak Sumijan tetap mengedepankan perasaan “tak sampai hati”. Setiap hari Pak Sumijan buka pada pukul 10.00 WIB, tapi untuk tutupnya biasanya ia lebih longgar.
“Sebenarnya bisa saja saya tutup jam tiga sore, tapi kan ada juga yang baru penginnya malam. Ramai-ramainya itu antara bakda Magrib dan bakda Isya, biasanya anak-anak muda sambil nongkrong,” jelasnya.
“Kalau hari, ramai-ramainya itu dari Jumat sampai Minggu, Mas. Kalau hari-hari biasa dua termos besar (es puter) cukup, kalau di Jumat sampai Minggu bisa kurang,” terangnya.
Mengenai kelanjutan warungnya di masa mendatang, Pak Sumijan ternyata sudah mempersiapkan anak keempatnya sebagai penerus.
Warung Es Puter Bapak Sumijan telah merekam pahit getir perjalanan hidup Pak Sumijan dan keluarga. Sehingga, bagi Pak Sumijan, terus melanjutkan jualan es puter tidak semata demi keberlanjutan bisnis keluarga. Melainkan sebagai bentuk tadabbur, bahwa dari jualan es puter itulah ia dan keluarga kecilnya bisa bertahan hidup sembari senantiasa menyenangkan orang banyak.
“Sudah bertahun-tahun, Mas, jadi kalau tutup begitu saja, rasa-rasanya kok eman. Toh es puter inilah yang menghidupi kami. Es puter ini sudah menyimpan banyak cerita,” bebernya, lagi-lagi, dengan senyum dan garis wajah yang teduh sekali.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Kesegaran Es Doger Balai Yasa dan Kenangan tentang Lapas Cebongan