Warteg Pertama di Jogja Merekam Kebiasaan Makan Mahasiswa

Warteg Pertama di Jogja Merekam Kebiasaan Makan Mahasiswa

Jumlah warung tegal (warteg) di Jogja tak sebanyak warung indomie (warmindo). Dari jumlah yang sedikit itu, ada satu yang terbilang legendaris, Warung Tegal Glagahsari. Kepada Mojok, sang pemilik warung bercerita awal mula berdiri dan bagaimana menghadapi gempuran warmindo yang kini juga jualan nasi dan lauk pauk.

***

Krisis moneter tahun 1998 mengguncang banyak kalangan. Di kota besar, sejumlah pabrik memangkas sebagian besar pekerjanya akibat krisis tersebut. Bagi para penjual makanan, terutama warung tegal (warteg), ini adalah bencana.

“Dulu orang tua saya jualan warteg di Bekasi. Letaknya di dekat pabrik sepatu. Jumlah karyawan pabrik itu dari yang sekitar empat ribu, dipangkas jadi tersisa ratusan saja,” kenang seorang pengusaha warteg bernama Muhammad Cholid (41).

Usaha orang tua Cholid yang sebagian besar ditopang pelanggan dari kalangan pekerja pabrik mengalami kemunduran. Mereka memutar otak bagaimana agar pundi-pundi rupiah bisa terus berputar. 

Krisis moneter 1998 membawa warteg ke Jogja

Suatu ketika ada tetangga yang memberi tahu potensi usaha warteg di Jogja. Daerah ini memang bukan kawasan industri. Tapi punya potensi besar dengan keberadaan banyak mahasiswa yang menimba ilmu di sana.

“Ditambah lagi, setelah riset kecil-kecilan, dulu di Jogja belum ada warteg. Jadi mungkin ada potensi,” terang Cholid dengan bahasa Indonesia bercampur logat ngapak yang kental.

Di Jogja memang mereka harus menekan harga jual menu makanan agar lebih terjangkau ketimbang saat berjualan di Bekasi dan Jakarta. Namun, sang ibu punya prinsip bahwa margin keuntungan tipis tidak masalah asal perputarannya cepat.

“Kami belajar dari melayani buruh pabrik. Mereka kan perlu harga terjangkau juga, porsi makannya cepat,” jelasnya.

Warung Tegal Glagahsari, warteg pertama di Jogja
Warung Tegal Glagahsari, warteg yang hadir di Jogja setelah krismon 1998. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Hingga akhirnya pada 1999 sebuah warteg dibuka di Glagahsari. Letaknya strategis di dekat beberapa kampus seperti Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY), Univesitas Ahmad Dahlan (UAD), dan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST). Warteg ini konon jadi yang pertama di Jogja.

Sebelum bisa berbincang dengah Cholid, Kamis (27/10) pagi sekitar pukul setengah sepuluh, saya datang terlebih dahulu di warteg itu dengan niat sarapan. Setibanya di sana, parkiran sempit yang tersedia sudah padat kendaraan. 

Melangkah ke dalam, tampak warung yang sederhana dengan dinding setengah semen setengah kayu dicat berwarna kuning, oranye, dan hijau yang mulai pudar. Namun, kesederhanaan ini tak menyurutkan kerumunan anak muda yang sedang mengamati lauk di balik etalase kaca dengan saksama. Penampilan yang mencangklong tas dan berkemeja terlihat jelas bahwa mereka mahasiswa. 

Di balik etalase kaca terlihat ragam lauk tersedia dengan stok melimpah. Ada sekitar 15 jenis lauk mulai dari telur dadar, ayam dan lele goreng, hingga aneka gorengan. Sayurnya juga sampai 20 macam, ada sayur sop, aneka sayur berkuah santan, hingga oseng-osengan. 

Menu khas di warteg ini adalah nasi lengko. Makanan khas daerah Tegal dan sekitarnya yang terdiri dari nasi, tahu goreng, dan beberapa jenis sayuran yang dipadukan dengan sambal.

Tapi pagi itu saya memesan yang sederhana saja: nasi, sayur sup, oseng tempe, telur dadar, ditambah segelas es teh tawar. Tak berselang lama seorang pelayan menyerahkan pesanan. Saya santap dengan cepat.

Makan di warteg dengan tata letak tempat duduk yang mengitari etalase tempat lauk berada terasa lebih cocok untuk makan bergegas. Ditambah lagi para pengunjung silih berganti memadati area sempit ini. Sehingga tak enak rasanya jika berlama-lama.

Uang yang harus saya bayarkan untuk menebus sarapan yang enak dan mengenyangkan ini sebesar Rp11 ribu. Relatif terjangkau sehingga banyak mahasiswa sekitar sini yang rela berdesakan untuk mengganjal perutnya sebelum aktivitas perkuliahan.

Beda warteg di Jogja dengan warteg di Jakarta

Usai makan, saya ingin bisa langsung berbincang dengan sang pemilik warteg ini. Namun, Cholid saat itu belum datang ke tempat. Kata seorang pelayan, ia biasanya datang ketika sore atau malam.

Saya pun kembali datang saat malam. Suasana sudah berbeda karena sebagian besar lauknya sudah habis tak tersisa. Cholid dengan ramah menyapa dan mengajak saya duduk sambil menikmati segelas teh hangat.

Nasi sup, oseng tempe, dan lauk telur dadar di Warteg Glagahsari. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Cholid berujar bahwa sekarang kondisi wartegnya memang sudah ramai kembali. Semester ganjil tahun ajaran 2022/2023 para mahasiswa sudah kembali beraktivitas ke kampus setelah dua tahun pembelajaran jarak jauh akibat pandemi Covid-19.

“Alhamdulillah ini mulai bergeliat lagi. Dulu saat pandemi ini pokoknya kita hanya bertahan, menabung untuk bayar kontrakan. Nggak bisa ekspansi bisnis apa-apa,” ujarnya sambil mengernyitkan dahi.

Keluarga Cholid mulai menggeluti usaha warteg di awal tahun 1990. Ibu dan bapaknya merintis sejak awal 1990-an. Hijrah ke Jakarta mengikuti jejak para pendahulu dari Tegal yang kebanyakan membuka usaha warteg di Jabodetabek dan Bandung.

“Orang Tegal memang pada mulai usaha warteg itu setelah 1965. Pembangunan mulai banyak dan pekerja berdatangan ke Jakarta. Akhirnya orang Tegal lihat potensi itu,” jelas Cholid.

Di Jakarta, menurut Cholid, dulu warung makan padang sering dianggap mahal. Sehingga, kehadiran warteg ingin mengisi ceruk para pekerja kasar yang butuh makanan dengan harga lebih terjangkau.

“Itu fenomena yang saya lihat pas di Jakarta. Kalau di Jogja kan justru masih banyak rumah makan padang yang murah, bahkan lebih murah dari warteg,” ujarnya.

Keluarga Cholid sempat berpindah-pindah saat usaha warteg di Jabodetabek. Pernah di Jakarta, lalu ke Tangerang Selatan, hingga akhirnya terakhir di Bekasi. Sebelum akhirnya memutuskan pindah ke Jogja usai diterpa krisis 1998.

Ia bercerita bahwa Jogja yang awalnya diragukan ternyata bisa mendatangkan rezeki yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Saat awal-awal buka, omzet harian yang warteg ini dapat bisa dua kali lipat dibanding saat buka di ibu kota.

Bisnis ini masih dipegang orang tua Cholid sampai 2007. Setelah itu orang tuanya ingin lebih banyak istirahat sehingga warteg ini diwariskan ke sang anak.

“Saya ini anak ketujuh dari tujuh bersaudara,” ujarnya.

Di Jogja, keluarga Cholid sempat membuka beberapa cabang warteg. Namun, kebanyakan sudah tidak bertahan. Awalnya sempat membuka cabang di Jalan Parangtritis, Perumnas, hingga Babarsari, tetapi semuanya berakhir tutup.

“Terakhir di daerah Pandega. Belum lama buka langsung kena pandemi. Tutup terus sampai kontraknya habis,” tuturnya. 

Baca  halaman selanjutnya

Warteg punya sejumlah ciri khas..

Budaya makan di warteg

Warteg punya sejumlah ciri khas. Salah satu yang identik adalah keberadaan dua pintu yang sejajar di bagian depan. Menurut Cholid, hal itu untuk memudahkan sirkulasi pelanggan yang keluar masuk.

“Tapi ada juga yang beranggapan kalau itu harapan supaya rezekinya semakin banyak,” ujarnya tertawa.

Selanjutnya tentang penataan tempat duduk yang mengitari etalase makan. Bagi Cholid, selain memudahkan penataan lauk supaya terlihat jelas, juga agar sirkulasi pelanggan yang makan bisa lebih cepat.

Warteg Glagahsari jadi jujugan mahasiswa. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Nah hal itulah yang menurutnya membuat warteg tidak berkembang pesat seperti warmindo di Jogja. Cholid mengamati bahwa di Jogja orang lebih suka makan dengan santai. Setelah makan, pelanggan terutama mahasiswa ingin bercengkerama dahulu sembari merokok atau berbincang.

“Sedangkan pas di Jakarta, pangsa pasar kan buruh pabrik. Mereka makan cepat. Sirkulasi yang keluar masuk lebih cepat juga,” paparnya.

Warteg memang menawarkan keragaman lauk dan sayuran yang tidak ditemukan di warmindo. Etalase lauk di warmindo hanya satu dan tidak terlalu besar. Tapi meja dan kursi yang tersedia untuk pelanggan berlimpah.

“Nah ini kalau di tempat saya, etalase saja sudah dua dan panjang-panjang. Sebab kami lauknya banyak,” terangnya.

Perkembangan warmindo di Jogja sekarang juga sudah semakin memanjakan pelanggan untuk bercengkerama berlama-lama. Beragam fasilitas disediakan seperti WiFi dan tempat yang luas. 

“Kalau saya lihat ya memang secara sosial dan budaya, di Jogja itu orang suka makan sekalian nongkrong. Entah itu sarapan, makan siang, atau malam. Makannya sekarang juga banyak warmindo yang konsepnya semi kafe,” jelasnya.

Alasan tidak banyak warteg di Jogja

Menjamurnya warmindo di sekitar kampus juga turut berpengaruh pada warteg milik Cholid. Ia ingat saat awal mengelola warteg di sini, warmindo hanya menjual dua jenis makanan yakni bubur kacang hijau dan mie instan.

Perlahan, warmindo juga menyediakan nasi dan lauk pauk. Sehingga pangsa utama wartegnya yang mahasiswa perlahan beralih ke sana karena lebih bisa makan sekaligus bersantai lama.

Hingga sekarang, orang Tegal yang merantau ke Jogja untuk usaha warteg memang tidak terlalu banyak. Tidak sebanyak perantau dari sana yang datang untuk berjualan nasi goreng dan martabak terang bulan. 

Selain karena banyaknya warmindo, seperti disebutkan di atas, banyak warung padang dengan harga murah menjadi sebab tidak banyak warteg di Jogja.

“Ya makanya tidak sampai ada paguyuban penjual warteg di sini. Paling hanya paguyuban perantau dari Tegal secara umum,” katanya.

Setelah lebih dari dua puluh tahun berdiri, sudah banyak generasi mahasiswa yang pernah dilayani kebutuhan makannya di warung makan sederhana ini. Banyak di antara mereka yang sudah lulus lalu datang kembali. Kangen dengan masakan khas yang ditawarkan warteg.

“Ya sering ada yang sudah selesai kuliah lalu datang ke sini. Menyapa saya tapi saya lupa sama dia. Pasti saya tanya angkatan berapa karena sudah banyak sekali kan angkatan yang saya lewati,” kenangnya.

Warung ini dikenal dengan nama Warteg Glagahsari. Nama itu tidak pernah diniatkan oleh sang pemilik. Bahkan sejak awal tidak pernah ada nama khusus yang diberikan untuk usaha ini. Di depan bangunannya hanya ada tulisan sederhana “Warung Tegal” dengan cat berwarna biru yang sudah kusam.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Jika Bude Warteg Jadi Peserta Master Chef dan Dikomentari Para Pesohor Negeri

Exit mobile version