Sate Donal Pak Min Kaliurang, Racikan Lezat Penjaga Rumah Peristirahatan Sultan Jogja

Ilustrasi Sate Donal Pak Min Kaliurang, Racikan Lezat Penjaga Rumah Peristirahatan Sultan Jogja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Sate Donal Pak Min jadi salah satu kuliner menarik untuk dicoba di Kaliurang, Sleman. Warung kecil ini dikelola oleh sepasang abdi dalem penjaga Pesanggrahan Ngeksigondo, rumah peristirahatan Sultan Jogja di Kaliurang.

***

Beberapa bulan lalu saya akhirnya menemukan salah satu warung makan sederhana yang menarik untuk jadi tempat bersantap saat berkunjung ke Kaliurang. Sebagai orang yang sudah satu dekade tinggal di Jogja, sejak dulu saya hanya mengenal kuliner sate kelinci yang identik dengan kawasan wisata lereng Merapi itu.

Namun, selain pedagang yang menjajakan sate kelinci, ternyata ada juga warung yang menyediakan olahan entok. Tepatnya di warung Sate Donal Pak Min yang letaknya Magersari, Ngeksigondo, Kaliurang Barat, Sleman.

Rasa penasaran akan kisah di balik warung dan rasa lapar akhirnya membawa saya kembali ke tempat itu pada Selasa (29/08/2023) siang. Kendaraan saya pacu cepat dari menelusuri tanjakan demi tanjakan sampai di tempat itu.

Lokasinya mudah untuk pengunjung temukan lantaran berada persis di pinggir jalan. Persisnya berada di Jalan Astorenggo, sisi utara Taman Kaliurang yang jadi salah satu pusat keramaian.

Setibanya di sana, warung sedang sepi. Hanya ada dua lelaki yang sedang menikmati seporsi sate dan tongseng entok di halaman depan Sate Donal Pak Min.

Begitu masuk ke dalam, tampak pemandangan yang menunjukkan identitas pemilik warung ini sebagai seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta. Di dinding kayu, terpajang deretan foto Sultan Jogja dari masa ke masa. Mulai dari Sri Sultan HB I sampai Sri Sultan HB X.

Warung Sate Donal Pak Min, salah satu tempat kuliner unik di Sleman MOJOK.CO
Warung Sate Donal Pak Min, salah satu tempat kuliner unik di Sleman. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Setelah mengucap permisi, Bu Parmin, pemilik warung ini menunjukkan batang hidungnya. Saya lantas memesan seporsi sate donal untuk mengganjal lapar.

“Pas banget Mas, dagingnya tinggal cukup untuk satu porsi,” ujarnya sembari melempar senyum.

Turun temurun menjaga rumah Sultan Jogja yang mulanya milik orang Belanda

Bu Parmin mengaku sampai siang itu stok entok belum kunjung datang. Ia biasanya memesan dari warga sekitar desa yang memelihara unggas satu ini. Pesan hidup-hidup dengan jumlah yang tak begitu banyak.

“Entok itu nggak ada yang menernak jadi susah kalau mau cari banyak,” keluhnya.

Ia lalu melenggang ke dapur untuk mulai memasukkan potongan daging ke tusuknya. Saat mulai membakar di atas bara, saya kembali menghampiri untuk bertanya soal kisah keluarganya menjadi abdi dalem. Siang itu suaminya sedang pergi ke kebun sehingga Bu Suparmin hanya dibantu oleh menantu perempuannya.

Bu Parmin bercerita bahwa mulai mengabdikan dirinya ke Keraton Yogyakarta sejak era 1980-an. Saat itu Sri Sultan HB IX masih bertahta. Namun, kisah pengabdian keluarga ini bermula jauh sebelum itu.

“Kakek dan nenek saya yang asli orang Kaliurang itu sudah jadi abdi dalem sejak zaman HB VIII,” ujarnya sambil membolak-balikkan sate di panggangan.

Pesanggrahan Ngeksigondo tercatat sebagai tempat peristirahatan Sultan Jogja dan keluarganya sejak 1927. Sri Sultan HB VIII membeli bangunan ini dari orang Belanda. Luas tempat tersebut mencapai 19 ribu meter persegi. Ada beberapa bangunan seperti Gedung Keputren, Gedung Gongso, hingga Gedung Diesel.

Bangunan ini sempat menjadi saksi sejarah forum Komisi Tiga Negara pada 1948. Kala itu, Sri Sultan HB IX meminjamkan Pesanggrahan Ngeksigondo sebagai tempat menginap delegasi pertemuan itu.

Ruangan di Warung Sate Donal Pak Min. Turun temurun keluarganya menjadi abdi dalem penjaga rumah peristirahatan Sultan Jogja. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Saat ini fungsinya memang sudah berubah sekadar menjadi cagar budaya. Sesekali ada acara seni budaya di tempat itu. Di dalam terdapat sejumlah gamelan milik Keraton.

“Beberapa waktu lalu Ngarso Dalem juga sempat mampir ke sini,” kata Bu Parmin. Tampak di dinding, sebuah foto menunjukkan Pak Parmin dan anaknya sedang bersama Sri Sultan HB X.

Baca halaman selanjutnya…

Membawa resep Sate Donal dari Cilacap

Membawa resep Sate Donal dari Cilacap

Sejak menjadi abdi dalem, Pak Parmin dan Bu Parmin bertugas membantu membersihkan dan turut menjaga Pesanggrahan Ngeksigondo. Di samping pengabdiannya, mereka sejak lama membuka usaha makanan.

Mereka pernah berjualan nasi goreng dan sejumlah makanan lain. Memanfaatkan potensi dari kunjungan wisatawan ke Kaliurang yang cukup ramai.

Mulanya dagangan mereka tak cukup ramai. Sampai akhirnya, anak pertama mereka yang sedang tinggal di Kroya, Cilacap mengusulkan untuk menjual sate dari daging entok.

Kebetulan di sana sang anak juga sudah mencoba jualan makanan serupa. Penghasilannya cukup lumayan.

“Akhirnya kami coba untuk buat di sini. Resepnya ya dari anak kami itu,” kata Bu Suparmin.

Ternyata saat mulai mencoba menjualnya di tahun 2000, peminatnya cukup banyak. Saat itu, menurut Suparmin, belum banyak yang menjual olahan entok di Jogja. Berbeda dengan sekarang, kuliner serupa cukup jamak ditemui.

Pada masa-masa awal membuka usaha Sate Donal Pak Min, dalam sehari warung bisa memotong 17-18 ekor entok. Meski jumlah entok yang mereka potong dalam sehari tidak selalu banyak, tapi bisa untuk menghidupi keluarga.

Menantu Pak Min menyiapkan hidangan sate entok. Selain sate warung ini juga menyediakan tongseng entok. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

“Ya namanya usaha, dulu sempat ramai banget sekarang ya begini. Kadang sehari satu ekor saja tergantung wisatawan,” tuturnya.

Menghadirkan sate entok dengan cita rasa yang sangat Jogja

Proses membakar usai dan seporsi sate entok pun terhidang. Ada delapan tusuk sate dalam setiap sajian. Menariknya, porsi nasinya cukup melimpah dengan wadah berupa tungku. Pembeli bisa mengambil sesuai yang mereka inginkan.

Satenya dibumbui beberapa kali selama proses pembakaran sehingga bau amis dari daging entok sudah tidak terasa. Rasa sedikit pedas muncul dari lada yang ditabur saat proses pembakaran.

Selanjutnya, penyajian bumbu terpisah menggunakan mangkuk. Bumbu kacang berwarna coklat kehitaman itu penuh dengan potongan bawang merah yang menambah rasa sedap.

Secara umum, cita rasa sate dengan bumbunya dominan manis. Seperti kebanyakan masakan dari Jogja. Jika suka pedas, pembeli bisa menambahkan potongan cabai yang tersedia. Rasa manis juga saya rasakan saat mencicipi menu tongseng entok pada kunjungan sebelumnya. Kuahnya kental dan rempahnya cukup kuat. Seporsi sate, nasi, dengan es teh dibanderol seharga Rp35 ribu.

Sate entok di sini ternyata menjadi magnet bagi banyak lidah dari luar daerah. Suparmin menuturkan, banyak pelanggan dari Solo, Semarang, hingga Jakarta yang kembali mampir saat berkunjung ke Jogja.

Warung ini jadi salah satu pilihan kuliner menarik untuk dicoba saat berkunjung ke Kaliurang. Menikmati hawa dingin di kaki Merapi bersama potongan daging entok yang empuk dan menggoda.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Sleman Punya Entok Slenget Kang Tanir, Kuliner Pedas di Jogja Utara

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version