Rica-rica Pak Giyatno Jombor, Pedasnya Jadi Penawar Mabuk Orang dari Klub Malam

rica-rica pak giyatno

Rica-rica dan bakmi jawa pak giyatno. (Ilustrasi Ega Fansuri)

Seporsi Rica-rica Pak Giyatno disebut mampu meredakan mabuk para pelanggan yang baru saja pulang dari klub malam di Jalan Magelang, Yogyakarta. Namun rica-rica yang membuatnya kondang ini justru bermula dari sesuatu yang tidak direncanakan.

Ada kisah di balik penciptaan menu yang jadi andalan di warung ini. Malam itu, bersama lantutanan salawat dari pengeras suara, Giyanto menceritakan kisahnya. 

***

Seporsi rica-rica ayam dan entok tersaji di meja saya. Kuah coklat yang menggoda membuat mulut ingin segera menyeruputnya. Saya cicipi perlahan, pedas dan gurih berpadu, saling melengkapi. Pedasnya seperti merontokkan lelah sepulang bekerja. 

Setelah magrib, warung yang terletak di sisi timur fly over Jombor ini mulai ramai dikunjungi pelanggan. Tempat ini memang buka malam. Mulai pukul 17.00 hingga sekitar pukul 03.00 dini hari.

Dari jalan raya, warung ini memang agak tersembunyi. Masuk beberapa meter ke dalam gang. Namun, ketika sudah masuk, terlihat parkiran ramai dipadati kendaraan. Tanda warung ini banyak dikunjungi pelanggan.

Ada banyak pilihan menu tersedia di sini. Paling laris tentu rica-ricanya. Ada ayam, entok, bahkan kalkun. Untuk menu rica-rica, pelanggan boleh mengambil nasi sepuasnya. 

Selain makanan pedas itu, ada bakmi jawa yang tak kalah digemari. Terlihat dari beberapa pelanggan yang juga memesannya malam ini.

Seorang pekerja di sana bilang kalau Pak Giyatno asli Gunungkidul. Tak heran jika beliau pandai meramu bakmi jawa dengan istimewa. 

Selain ingin mencicipi nikmatnya masakan di sini, saya tentu penasaran untuk berbincang dengan sang pemilik. Pada para pekerja, saya bertanya di mana sang pemilik berada.

“Itu Pak Giyatno,” ujar seorang pekerja sambil menunjuk ke dalam.

Seporsi rica-rica entok atau mentok di warung Pak Giyatno. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Di dalam warung yang menyatu dengan rumah ini, tampak seorang lelaki gondrong yang sudah berpakaian rapi. Mengenakan baju koko, sarung, dan peci yang tersemat di kepalanya. Tak lupa, sebatang rokok terhimpit di sela jari.

Saya hampiri. Mengutarakan maksud untuk bertanya tentang perjalan warungnya. Namun, dengan ramah ia berujar kalau tidak bisa berbincang saat ini.

“Ngapunten, ini mau ngaji di Pesantren Melangi. Sudah ditunggu,” ujarnya sambil menengok jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam.

Pak Giyatno lalu pamit. Pergi bersama anak lelakinya yang juga berpakaian rapi. 

“Kalau mau ketemu bapak enaknya setelah jam 12 malam, Mas,” kata seorang pegawai setelah Pak Giyatno pergi.

Baiklah, saya akan berkunjung kembali lain waktu. Sambil menikmati sisa-sisa balungan entok, saya melihat ke sekitar. Di tembok, ada beberapa stiker bertuliskan kata dan kalimat salawat. Menunjukkan bahwa sang pemilik memang begitu gemar bermunajat untuk Kanjeng Nabi.

Berawal dari Bakmi

Dua hari berselang, tepat pukul dua belas malam, saya kembali ke warung ini. Saya memesan segelas teh hangat sambil menengok ke dalam warung. Pak Giyatno ada di dalam sedang menjamu rombongan yang terlihat seperti para santri. 

“Tunggu sebentar ya Mas. Saya menemani tamu dahulu,” katanya Giyatno ketika melihat saya.

Saya menunggunya sambil duduk di sudut warung. Tengah malam begini pelanggan semakin ramai. Rombongan lelaki hingga pasangan yang sedang ingin mengganjal perut tengah malam terlihat mengisi bangku-bangku di warung ini.

Hampir setengah jam saya menunggu sampai akhirnya rombongan santri itu beranjak pergi. Setelah menyalami, Giyatno lantas menghampiri saya. 

“Maaf, itu tadi rombongan habis ziarah lalu mampir sini,” katanya. Obrolan lantas mengalir dengan cair. Giyatno dengan suara lirihnya bercerita panjang lebar.

Warung Rica-rica dan Bakmi Pak Giyatno. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Sebelum membuka usaha ini, lelaki berusia 38 tahun ini ternyata pernah bekerja di warung bakmi jawa di dekat sini. Sebuah warung bakmi jawa terkenal di kawasan Jombor.

“Saya ikut di warung itu sejak tahun 1999,” ceritanya.

Tak heran, saat memutuskan membuka usaha sendiri, Giyatno juga memilih berjualan bakmi jawa. Menu yang sudah ia pelajari dalam kurun waktu yang lama. Membuat bakmi bak sudah jadi keahliannya.

Awal tahun 2011 warung ini pun ia buka. Meski begitu, Giyatno mengaku pada masa awal sulit sekali mendapatkan pelanggan. Sehari, kadang hanya ada dua sampai tiga pelanggan.

Ketika tengah malam, sesekali ada laki-laki dan perempuan yang datang. Mereka baru saja pulang dari klub-klub malam yang berada di Jalan Magelang. Ia ingat, banyak dari mereka yang suka memesan tambahan balungan ayam di bakmi yang dipesan. 

Dagangannya sepi. Namun, Giyatno tak menyerah. Bersama sang istri, seringkali ia berkeliling membagikan bakmi sisa yang tak terjual di tengah malam.

“Kadang ada yang senang menerimanya. Tapi ada juga yang curiga. Kenapa setiap hari kok bagi-bagi bakmi terus,” katanya tertawa.

Ia dan keluarganya juga hampir setiap hari makan sisa bakmi yang tak terjual. Sampai-sampai, kata Giyatno, sekarang istrinya tidak mau makan bakmi lagi. Lantaran dulu, selama setahun, terpaksa setiap hari makan bakmi.

Pertemuan dengan Si Mbah dan Rica-rica yang jadi pereda mabuk

Masa-masa sulit itu mendorongnya untuk melakukan perjalan spiritual mencari sosok guru. Seseorang yang bisa membimbing dan memberinya nasihat. Demi kehidupan yang tenang dan penuh keberkahan.

Proses pencarian guru itu ia lakoni ke Parangtritis hingga Merapi. Sampai akhirnya bertemu dengan sosok yang ia sebut Si Mbah. Sosok tersebut kerap memberinya petuah untuk menjalani kehidupan. 

“Salah satu nasihat beliau itu berbunyi ‘turuo longan, lemeko merang,” terangnya.

Nasihat itu, jika diartikan yakni tidurlah di bawah dipan dan gunakan alas merang atau bekas tangkai padi yang sudah kering. Giyatno berpikir bahwa tidur dengan cara seperti itu pasti membuat badannya gatal. Namun, setelah ia renungkan, ternyata nasihat itu punya arti mendalam.

“Ya maknanya bahwa hidup itu harus dinikmati susahnya,” katanya.

Pak Giyatno, memutuskan menjual rica-rica setelah mendapat saran dari Si Mbah. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Waktu berjalan, ia lakoni berusaha menikmati masa-masa sulit merintis bisnis. Sampai suatu ketika Si Mbah yang enggan Giyatno sebut namanya itu memesan sebuah menu untuk acara. Ia memesan menu yang kelak jadi rica-rica andalan warungnya.

“Si Mbah memesan menu yang seperti ini (rica-rica). Lalu bilang kalau ini nanti bakalan jadi rezekimu,” ujarnya.

Benar saja, setelah itu banyak pelanggan yang menyukai menu rica-rica di tempatnya. Perempuan dari klub malam yang biasa mampir bahkan pernah menamainya Rica-rica Cetar Membahana. Menirukan ucapan Syahrini yang sempat populer pada tahun-tahun itu.

Pedasnya rica-rica ini juga disebut bisa menyadarkan pelanggan yang mabuk setelah pulang dari klub malam. Bahkan, menurut Giyatno, banyak pelanggan yang berterima kasih. Sebab pedasnya rica-rica ini bisa menyelamatkan mereka dari hal buruk.

“Beberapa pelanggan perempuan yang mabuk itu malah berterima kasih, karena kalau tidak segera sadar, mereka mau dibawa ke tempat lelaki yang punya niat nakal usai makan,” ujarnya tertawa.

Seiring berjalannya waktu, warung Pak Giyatno mulai selalu ramai dikunjungi pelanggan. Ramainya justru lewat rica-rica yang dulu tak terbayang saat awal membuka usaha.

Tutup setiap Senin Pon

Warung ini buka setiap hari kecuali malam Senin Pon. Lantaran di malam itu, area warung ini digunakan untuk acara mujahadah bersama. Tak hanya Giyanto, keluarga, dan karyawannya. Namun, juga jemaah dari beberapa daerah di Jogja.

Kini, ia punya sebelas karyawan yang membantunya mengurus segala kebutuhan warung. Sebelas karyawan itu harus membaca salawat dahulu sebelum menerima gaji.

Jika sedang ramai-ramainya, Giyatno mengaku bisa menghabiskan 45 ekor ayam dan entok dalam semalam. Untuk membeli ayam dan entok itu, ia mengutus pegawainya untuk menyembelihnya langsung di pasar. Demi menjaga kehalalannya.

Sedangkan untuk menu rica kalkun yang dibanderol Rp35 ribu perporsi, ia mengaku mengambil dagingnya dari Muntilan, Magelang. Seekor kalkun biasanya harganya mencapai Rp350 ribu.

Menurutnya, itu salah satu menu istimewa di sini. Namun sayang, saya belum sempat mencoba.

Di jeda setelah obrolan panjang, tiba-tiba saja seorang pegawai mengantar bakmi rebus. Giyatno memberikan bakmi itu pada saya tanpa bertanya dulu.

“Sekarang mari baca salawat dulu Mas,” katanya pada saya.

Pengunjung di Rica-rica dan Bakmi Jawa Giyatno

Saya sedikit kaget. Tapi apa salahnya membaca lantunan doa dan pujian untuk Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Saya mengikuti ucapannya. Membaca surat Al-Fatihah, melafalkan salawat, dan menutupnya dengan surat Al-Fatihah kembali.

“Monggo dicicipi dulu,” katanya tersenyum.

Sebenarnya sebelum datang kemari saya sudah makan malam. Sehingga saya tak memesan makanan. Namun, menahan kantuk tengah malam dan pembicaraan panjang ternyata membuat perut ini kembali lapar.

Bakmi hangat itu saya cicipi. Tentu dengan mencoba kuahnya terlebih dahulu. Kuah kentalnya begitu hangat di tenggorokan. Bumbu rempahnya yang kuat menambah nikmat. Tak butuh waktu lama seporsi tandas. 

Saya melirik jam di tangan saya, sudah pukul dua dini hari. Tak terasa waktu berlalu cepat. Perut sudah kembali terisi. Saya berpamitan dan pulang dengan hati senang meski harus begadang. 

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Sop dan Soto Cak Nur Buka Rahasia, Mengapa Banyak Orang Tionghoa Makan di Warungnya

 

Exit mobile version