Selepas makan, saya berbincang dengan karyawan yang bercerita bahwa seluruh pekerja dibawa langsung dari Wonogiri. Bukan hanya di cabang Bakso Titoti Jogja melainkan Jakarta. Sebenarnya, ini sudah jadi ciri khas yang melekat di usaha kuliner perantau Wonogiri.
Bakso Titoti dan perjuangan perantau Wonogiri
Di balik kemewahan sajiannya, Bakso Titoti Jogja adalah satu gambaran kesuksesan kaum boro di tanah rantau. Menurut catatan Pemkab Wonogiri, jumlah perantau di wilayah ini mencapai 35 persen atau 350.000 orang dari 1 juta penduduk. Tradisi merantau ini membuat ada kebiasaan menitipkan anak ke simbahnya di kampung halaman.
Selain itu, pada wawancara terpisah, Ketua Paguyuban Mie Ayam Tunggal Rasa Wonogiri, Eddy Santoso berujar kalau biasanya istri dari penjual mie ayam turut membuka usaha lain yakni berjualan jamu. Destinasi utama perantau Wonogiri adalah Jakarta.
Jika menilik usaha mie ayam dan bakso saja, yang untung bukan hanya penjualnya. Melainkan juga jasa pembuat gerobak, pembuatan mie, penggilingan daging, dan sektor-sektor lain yang melibatkan orang dari Wonogiri.
“Satu warung mie ayam itu item-nya banyak. Melibatkan banyak aspek bisnis lainnya yang bisa jadi peluang usaha,” kata Eddy.
Warung Bakso Titoti yang cukup “mewah” di Jogja dan berbagai kota lain jadi penanda perjuangan perantau Wonogiri. Dari tidak punya apa-apa, sampai bisa membawa banyak warga kampungnya mencari peruntungan di tanah rantau.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Bakmi Jumpa Pers, Warisan Umar Kayam yang Punya Nama gara-gara Bir Bintang
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News