Lawson, salah satu waralaba toko kelontong kenamaan asal negeri Sakura akhirnya buka di Yogyakarta, “negeri” yang konon rakyatnya paling bahagia se-Indonesia. Alih-alih dikenal sebagai toko kelontongnya, Lawson lebih digandrungi di sini karena odennya yang enak.
***
Lawson bisa hadir di Indonesia tidak bisa lepas dari Alfa Group, induk perusahaan Alfamart dan Alfamidi. Tahun 2011 Alfa Group menekan kerjasama yang memperbolehkan gerai Lawson ada di Indonesia selama 25 tahun.
Konsep baru masuk ritel Alfamidi
Sejak tahun lalu Lawson Indonesia menjajal konsep baru yang memungkinkan mereka beroperasi di dalam toko ritel. Nah karena ada di payung usaha yang sama, Lawson kemudian hadir di Alfamidi. Setelah berhasil menggaet hati warga ibu kota dan sekitarnya, Lawson mulai melebarkan tsubasa (sayap)-nya ke daerah lain, termasuk Jogja.
Pada 20 Januari 2023, Lawson resmi hadir di Jogja. Bekerjasama dengan Alfamidi, Lawson membuka gerai di 4 tempat yakni Jalan Kaliurang (Sinduharjo), Jalan Bantul (Mantrijeron), Jalan HOS Cokroaminoto (Tegalrejo), dan Jalan Imogiri Barat (Sewon).
Tentu saja karena Alfamidi juga toko kelontong, Lawson hanya membuka gerai oden dan minumannya saja. Yakali langsung head-to-head dua toko kelontong di satu tempat. Indomaret bisa cemburu nanti.
Lawson identek dengan oden. Itu karena katanya rasa oden di Lawson itu memang juara. Apa itu oden? Oden adalah olahan yang direbus dalam kuah yang sudah dibumbui katsuobushi, kombu, dan kecap asin.
Sebagai pecinta oden tentu saya nggak boleh melewatkan kesempatan ini. Karena pada hari pertama buka yakni tanggal 20 Januari saya kebetulan ada acara, lawatan ke Lawson saya lakukan di hari berikutnya. Kebetulan bertepatan dengan hari Sabtu. Saya ajak dua kawan untuk ikut mencoba agar bisa lebih banyak menu yang bisa diicipi.
Sampailah kami di Alfamidi cabang Jalan Imogiri Barat sekitar pukul 11.30 WIB. Kami memilih lokasi ini, karena selain paling dekat dengan domisili saya dan dua kawan tadi, juga karena paling jauh dari kota. Perkiraan saya ya, orang mBantul nggak bakal banyak yang FOMO lah soal Lawson ini.
Layout Lawson yang nggak nyaman untuk lalu lalang
Perkiraan ini agak tepat tampaknya. Antrean tidak terlalu mengular panjang, hanya sekitar 7-8 giliran saja. Sembari menunggu giliran, kami berbincang obrolan-obrolan dewasa macam perekonomian negeri, bagaimana peta politik 2024 nanti dan tentu saja betapa harus sering bersyukur di umur yang sudah kepala tiga ini. Sungguh sebuah obrolan yang jelas berbobot.
Sesekali kami mengamati sekaligus mengomentari bagaimana layout Lawson ini dipasang. Tampak tidak terlalu luas. Padahal ada sekitar 3-4 karyawan yang ada di situ. Kurang enak juga untuk arus lewat mas-mas karyawannya yang sering berlalu lalang untuk mengambil stok makanan.
Masih bisa dimaklumi karena keramaian luar biasa begini paling juga cuma pas promo saja. Setelah itu paling yang beli juga cuma satu dua. Salah satu ciri khas pembeli di Jogja. Pemburu promo! Hehehe.
Giliran kami makin mendekat. Satu giliran cukup lama dilayani karena pesannya kebanyakan dua atau lebih paket yang ditawarkan. Mas-mas yang melayani pemesanan terlihat mulai sedikit kewalahan dan keringat bercucuran lumayan deras. Sementara mas-mas lainnya terbagi fokusnya memasak oden, mengisi kembali stok dan mengecek listrik yang bolak-balik mati.
“Wah ini kayaknya pemasangan listriknya kurang perhitungan matang, nggak digabung langsung juga sama Alfamidi,” celetuk Wanto (30) kawan saya yang tiap datang ke tempat manapun selalu ngecek apakah saklar lampu berfungsi atau tidak.
Melihat kegigihan masnya saya hanya bisa mbatin “Semangat Mas, hari masih panjang!”
Sabar antrenya
Setelah setengah jam mengantre, tibalah giliran kami memesan. Yang kami pesan adalah 2 menu oden plus minum (satu stroberi dan satu yuzu), satu paket oden saja, satu matcha latte, dan satu kaarage.
Menu yang dipesan ini memang agak ribet. Maklum, kawan saya satunya yakni Sandi (30) ini seorang Gemini. Tahu lah gimana Gemini, udah milihnya lama, mbingungi, sering ganti-ganti pilihan lagi. Huft. Mas-mas yang melayani agak panik dan tidak menangkap pesanan. Saya ulangi lagi dengan memelankan suara dan intonasi. Semangat mas, hari masih panjang! Begitu saya masih berbisik sambil memesan.
Begitu pesanan selesai dan dibayar, saya bergegas keluar mengamankan kursi dewan eh kursi untuk makan maksudnya. Maklum, hanya tersedia 3 set meja dan kursi saja di sini. Sungguh tidak memenuhi standar kelayakan internasional untuk jadi tempat ngemper (nongkrong di emperan).
Ada meja dan kursi kosong, tapi saya harus dibuat jengkel dulu. Wadah sisa makan oden masih ada di situ bersama sampah lain. As…taghfirullah. Kenapa begitu sulit bagi manusia yang makan tadi untuk membuang ke tempat sampah yang jaraknya cuma 50 sentimeter?!
Sembari membersihkan, saya hanya bisa berbaik sangka. Mungkin otak dia tadi lupa dibawa sehingga untuk melakukan hal sederhana seperti ini saja tidak bisa.
Selang 5 menit, dua kawan saya keluar membawa pesanan kami. Kalau biasanya kami thethek (nongkrong) di angkringan, kini ganti style dulu ala anak muda ibu kota yang ngemper sambil makan makanan negeri seberang. Akhirnya oden yang nongol melulu di Twitter ini bisa saya coba juga!
Baca halaman selanjutnya…
Wadah kuah yang menjunjung tinggi budaya lokal
Wadah kuah yang menjunjung tinggi budaya lokal
Melihat kemasan odennya, saya agak terkekeh. Untuk mangkok sekali pakainya sih tidak ada masalah. Yang cukup kocak ya pengemasan kuahnya. Karena tidak langsung dimasukkan ke mangkok, kuahnya diplastik selayaknya kamu beli kuah mie ayam pisah di warung-warung kebanyakan. Sungguh, meski Lawson ini asalnya dari Jepang yang terkenal dengan pengemasan unik, urusan wadah kuah ini tetap menjunjung tinggi budaya lokal! Sugooi! Mantappu!
Cuma ya kalau orang nggak tahu bisa dikira wedang jahe angkringan. “Lawkek, Lawson Cekek ini mah,” Wanto mengomentari pengemasan yang mengingatkannya pada es cekek.
Kuah itupun saya tuang ke mangkok, mengguyur 4 potong jenis olahan makanan yang ada di dalamnya. Untuk paket yang saya beli, yakni oden dan minum, yang didapat adalah 1 odeng, 1 stik ikan, 1 bakso udang dan 1 siomai gulung serta untuk minumnya Ichigo (strawberi) latte. Itu yang tertera di gambar promonya. Tetapi yang saya dapat kok kayaknya berbeda haha….
Tak diambil pusing juga sih. Cukup mengejutkan, kuahnya lumayan banyak juga. Tidak semua saya tuang, hanya ¾ saja. Sisanya ya saya minum langsung hehe…
Rasa kuahnya mengingatkan pada kuah shoyu yang sering digunakan dalam ramen. Asin dan gurih dengan lamat-lamat ada rasa rumput laut. Kuah kaldunya bukan tipe yang kuat, lebih ke yang ringan-ringan saja. Ya memang kuah oden seperti itu. Ringan dan segar.
Bisa jadi kesegaran ini didapat karena pas giliran kami tadi, kuahnya baru saja diisi ulang dengan air mineral terkenal merk A*** lalu diberi kaldunya. Hehehe. Tidak sengaja melihat “rahasia” perusahaan.
“Ini kalau pake merk sebelah, entar kuah oden ada manis-manisnya!” celetuk saya disambut cekikikan kami bertiga.
Kuah odennya terlalu banyak, cocok pakai nasi
Sekarang waktunya menikmati isian odennya. Jujur hanya 2 isian yang saya suka, yakni odeng dan bakso udangnya. Untuk odengnya, punya rasa asin ikan yang pas. Bau amisnya juga tidak terlalu kuat sehingga tidak mengalahkan aroma dari kuah kaldunya.
Teksturnya kenyal, sensasinya menyenangkan ketika digigit. Ukurannya juga cukup besar. Sedangkan untuk bakso udangnya memiliki aroma amis udah yang pas juga. Rasa khas udangnya juga terasa dengan level kekenyalan yang paripurna. Dua isian lain juga lumayan enak sih.
Saya kemudian menanyakan pendapat Santo. Pendapat dia sangat penting karena kawan satu ini tidak terlalu menyukai sesuatu yang berbau amis. “Rasanya enak kok. Ini odennya agak pedes juga enak. Ya mirip-mirip frozen food gitu tapi.” YA EMANG FROZEN FOOD ITU MAH BAMBANG! Beda merek dan kualitas saja sama yang kamu beli di Pasar Bantul!
“Kalau menurutku lumayan enak kuahnya. Ringan dan ada rasa-rasa convenient store gitu”, Wawan menimpali.
RASA CONVENIENT STORE APAAN DAH?! TERUS KALAU INI LAWSON BUKA DI PABRIK ADA RASA-RASA DERITA BURUH GITU?
“Tapi ini baksonya mirip pentol di bakso tusuk yang dijual di Paseban yo. Cuma agak premium aja,” saya ikut berceloteh. Kedua kawan tadi sontak membalas “Lho lho rak ngono to le mbandingke!”
Sayangnya, segitu banyaknya kuah hanya ada 4 isian. Ya maklum namanya juga paket promo. Jiwa orang Indonesia saya mulai berontak. Bisikan itu datang… “WAH INI KUAH PAKE NASI ENAK NIH!”.
Susunya juara
Kini beralih mencoba karaage-nya. Dalam satu tusuk hanya ada 3 potong daging ayam saja. Pas untuk kami bagi rata bertiga. Eits, tapi jangan berkecil hati dulu. Satu potongan dagingnya buesar-buesar! Panjangnya sekitar 5-7cm.
Ada 3 pilihan saus pilihan, yakni Gochujang, Buldak dan Spicy. Saya mencoba spicy karena yang sudah siap cuma itu. Wuih, dalam satu suapan terasa “meledak” di mulut. Pedasnya sih kalem saja, tetapi sausnya mampu melapisi secara merata ke semua permukaan.
Dipadu dengan luarnya yang renyah dan daging yang masih lumayan juicy plus tanpa tulang menghasilkan “ledakan” kebahagiaan di dalam mulut. Ini baru kaarage namba Wan! Dua kawan saya juga setuju. Bahkan bagi Wanto yang nggak kuat pedas pun menganggap pedasnya kaarage ini masih wajar.
Selesai dengan segala makanan, saatnya membanjiri tenggorokan dengan minuman dingin. Nyesss, kira-kira begitu bunyinya ketika ichigo latte perlahan mengaliri mulut lalu terjun ke perut. Susu dan strawberi yang asam manis menghasilkan kombinasi sempurna pelepas dahaga kala Jogja saat itu yang sedang dalam puncak panasnya.
Rasa manisnya pun pas. Strawberinya, yang dalam bentuk selai dan potongan kecil, memberikan sedikit tekstur kenyal dalam minuman susu cair. Mengingat basis awal berdirinya Lawson adalah karena susu, ya wajar sih kalau minuman yang ada susunya punya rasa yang juara. Saya juga mencoba minuman dari kawan saya yang lain, yakni yuzu dan matcha. Keduanya juga tak kalah mantappu! Kedua kawan saya juga puas akan minumannya. Tidak ada komentar aneh-aneh.
Semua menu tandas. Saya yang awalnya memang nggak berekspektasi apapun lumayan puas dengan apa yang ditawarkan Lawson. Cuma ya kalau mengingat harganya saya harus senyum tipis agak kecut.
Kaum mbanding-mbandingke UMR Jogja akan pusing mau beli oden terus-terusan
Saat itu memang harga promo, yakni paket oden dibanderol Rp25 ribu, minuman tadi Rp10 ribu, dan kaarage Rp16 ribu. Murah? Ya lumayan murah. Namun, begitu tidak promo, satu paket oden tadi bisa seharga Rp30 ribuan lebih. Minumannya bisa sekitar 18 ribuan. Harga yang sama dengan harga makanan di kafe-kafe di Jogja.
Tentunya harga segitu, membuat jiwa mbanding-mbandingke saing-saingke saya menjerit. Satu odeng saja harganya Rp12 ribu. Itu kalau buat beli mie ayam udah dapat bonus bakso bos! Itu latte seharga Rp18 ribu kalau buat beli Pop Ice bisa buat beliin 6 bocil bosque! Begitulah, dan dibarengi mendang-mending yang lain.
Tetapi saya juga paham. Makan seperti ini kan tidak setiap hari. Ya paling sebulan 2 kali lah. Buat jadi reward saja misalnya. Toh apa-apa kok perlu dipusingin gegara UMR Jogja kecil lalu nggak bisa beli makanan yang bisa buat makan biasa 3 kali gitu?
Yo nggak gitu to! Yang penting tu kita bisa bahagia kan? Meski bahagianya harus puasa dulu buat beli makanan yang harganya Rp30 ribuan ga pake nasi kan? Hehehe…
Reporter: Oktavolama Akbar Budi Santosa
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Lawson Buka di Jogja, Ada Menu ‘Oden’ yang Katanya Jadi Favorit dan reportase menarik lainnya di rubrik Liputan.