Kisah Mie Ayam Semangat Jogja, Berawal dari Tumpukan Utang Kini Jadi Sumber Semangat Mahasiswa UII

Ilustrasi Mie Ayam Semangat (Ega/Mojok.co)

Setiap pelanggan yang datang, makan, lalu membayar akan mendapat ucapan semangat. Bukan tanpa alasan, pemilik Mie Ayam Semangat punya cerita panjang. Dari terlilit utang sampai warungnya jadi langganan mahasiswa UII.

***

Pertemuan saya dengan pemilik kedai Mie Ayam dan Bakso Sapi Semangat ini bermula saat mengunjungi tempat tersebut pada Senin (5/7/2024) sore. Setelah ngantor, saya merasa lapar dan ingin jajan mie ayam. Kebetulan, saya melihat-lihat di Google Maps dan menemukan kedai dengan rating yang cukup tinggi. Dekat dengan kampus Universitas Islam Indonesia (UII).

Sesampainya di sana, saya parkir di halaman kost depan kedai. Ada empat pramusaji yang bekerja di kedai tersebut. Saya mendekati salah satu pramusaji dan memesan mie ayam jumbo dan es teh, tak lupa juga tambahan pangsit agar lebih nikmat. Kemudian, muncul seorang pria paruh baya, dengan pakaian sederhana dan identik dengan jenggotnya yang panjang. Baru saya ketahui ia adalah Yuli Andrianto (42), atau akrab dengan sapaan Abu Yusuf, pemilik kedai ini.

Ia menyapa saya dengan ramah. Saya pun tidak melewatkan momen pertemuan ini dan meminta izin untuk mewawancarai Abu Yusuf. Ia duduk di kursi plastik depan saya yang kosong. Tak lama setelah itu, pesanan saya datang.

“Nggak makan dulu aja, Mas? Kalau dingin nggak enak, lho,” celetuknya sambil tertawa kecil.

“Sampean sambil makan aja mas, daripada dingin malah nggak enak,” imbuhnya.

Keramahan Abu Yusuf membuat saya tanpa sungkan menyantap mie ayam jumbo di depan mata yang sudah membuat perut saya merasa keroncongan. Saran dia masuk akal juga, makan mie ayam yang sudah dingin mengurangi kadar kenikmatannya.

Mie Ayam Semangat ini bermula dari kisah Abu Yusuf yang terlilit hutang

Sesaat setelah saya mencicipi kuah mie ayam jumbo, saya mulai mengobrol dengan Abu Yusuf dan bertanya bagaimana awal mula bisnis ini dijalankan. Abu Yusuf dengan senyuman ramahnya mulai mengenang awal perjalanannya.

“Jadi ana dulu memang pecinta mie ya,” ungkap pria asal Purworejo itu sambil tertawa, saat Mojok wawancarai pada Senin (6/7/2024) sore WIB.

Sebelum menikah, Abu Yusuf memang sedari kecil suka makan mie. Bisa dibilang hampir setiap hari. Bahkan ia mengenal istrinya juga saat sedang jajan mie ketika sedang merantau ke Jogja. Kebetulan istrinya merupakan anak dari seorang pedagang mie.

mie ayam semangat.MOJOK.CO
Penampakan warung Mie Ayam Semangat (Ridhoi/Mojok.co)

Abu Yusuf mengungkapkan sebelum menikah ia adalah seorang nasrani, lalu mualaf dan mulai mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Ia bercerita sebelum ini bahwa seringkali bergonta-ganti pekerjaan. Mulai dari rental komputer, lalu membantu mertuanya berdagang mie. Setelah merasa bosan, ia pun ditawari bekerja di sebuah perusahaan asuransi.

“Ketika bekerja di asuransi itu masyaallah, bonusnya banyak itu. Tapi ternyata ketika saya belajar sedikit-sedikit tentang Islam, saya mengenal yang namanya riba,” kenang Abu Yusuf sambil mengelus dada.

Beberapa bulan di asuransi, Abu Yusuf mulai menjajal kredit properti untuk kebutuhan rumah. Ia mengakui mulai takut dengan yang namanya riba setelah mendengar ceramah dari temannya.  Ia juga tak sadar bahwa kredit yang ia jalani semakin membengkak hingga membuatnya terjerat hutang puluhan juta. Nominalnya enggan ia sebutkan, tetapi istrinya berkata perlu 2 tahun untuk melunasinya.

Apalagi, lambat laun pekerjaannya di asuransi mulai seret. Ia pun memutuskan untuk resign dari asuransi dan harus memutar otak untuk melunasi hutang-hutangnya tanpa melibatkan orang tua mereka.

“Akhirnya ana dan istri berdiskusi untuk membuat usaha untuk melunasi hutang. Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk membuat usaha mie ayam.”

Menggali resep selama 6 bulan hingga menemukan rasa yang konsisten

Ia mengaku nekat berjualan mie ayam dengan modal meminjam kepada temannya tanpa riba. Sebab, ia dan istrinya yakin bahwa mie-nya akan laris karena ia yang menciptakan resep adonan mie nya sendiri.

Abu Yusuf mengaku selama berdagang, ia masih berinisiatif mencoba resep baru dari istrinya. Sebab berkaca dari pengalaman empirisnya menjajal berbagai macam masakan mie, ia merasa kalau harus menemukan resep yang memiliki ciri khasnya sendiri dan berbeda dari resep mertuanya.

“Jadi karena itulah tiap hari pelanggan tanya, ‘Mas ini rasanya kok beda sama kemarin’ gitu,” kelakarnya.

Namun itu malah membuat Abu Yusuf malah semakin bersemangat untuk mengulik resep baru. Bahkan, ia mengaku sampai membuka dua kedai agar keuntungannya bertambah demi membayar hutang. Tapi takdir berkata lain. Pendapatannya tak mampu menutup biaya operasional dan berakhir menutup kedai satunya.

Setelah beberapa bulan merasa tidak ada perubahan, Abu Yusuf dan istrinya menguatkan niatnya seraya ikhtiar. Ia fokus menjalankan satu kedai di rumahnya. Hingga setelah hampir satu tahun, mendadak doanya dikabulkan. Banyak berdatangan pelanggan dan omset naik hampir 7 kali lipat dari hari-hari biasanya. Sampai tak sempat duduk sebentar karena saking banyaknya pelanggan kala itu.

“Kuncinya itu ikhtiar dan tawakal, Mas, itu yang ana selalu ceritakan ke teman-teman ana ketika mau buka usaha,”

Akhirnya, hutang Abu Yusuf dan istrinya bisa terlunaskan selama kurang lebih 3 bulan. Sementara setelah merasa kedainya ramai, ia baru membuka cabang keduanya yang dikelola oleh adik iparnya, kira-kira sekitar 2 kilometer dari cabang pertamanya yang berada di Jalan Kimpulan, Umbulmartani itu.

Semenjak itu pula, banyak mahasiswa yang berdatangan karena harganya yang cukup murah. Saat ini, ia mampu menjual sekitar 200-300 porsi setiap harinya.

Harganya yang ramah di kantong, menjadi penyelamat mahasiswa UII

Mendengar cerita jungkir-balik usaha Abu Yusuf yang sangat dinamis, membuat saya tak sadar telah menghabiskan mie ayam jumbo dengan porsi yang lumayan itu. Porsi yang dua kali lipatnya mie ayam biasa. Padahal, harga yang terpaut cuma berbeda Rp2 ribu saja.

Abu Yusuf mengungkapkan kebanyakan pengunjung di kedai ini adalah 80 persen mahasiswa. Terutama mahasiswa UII. Bahkan ada yang setiap hari makan di kedainya.

“Ada satu mahasiswa yang tiap hari kesini, Mas. Bahkan bisa sampai dua kali makan di sini, masyaallah,” ungkap Abu Yusuf dengan gembira.

Ia punya kebahagiaan sendiri ketika tahu pelanggannya puas dengan mie ayam khasnya yang memiliki tekstur kecil dan lembut. Tentu, saya mengakui juga kalau mie ayam ini enak dan berpotensi menjadi langganan saya.

Abu Yusuf bercerita ada pula sekumpulan mahasiswa UII yang menjadi pelanggan tetap di kedai ini. Pernah juga sekumpulan mahasiswa meminta izin untuk mengerjakan tugas kuliah membuat video di kedainya. Pokoknya, banyak mahasiswa dari UII dan kampus sekitar yang sudah menjadi langganan tetap kedai ini, yang sudah menjadi alumni pun ada.

Penamaan Mie Ayam Semangat dari jargon saat bekerja di asuransi

Saya penasaran dengan kebiasaan kedai ini yang memberikan semangat setelah pelanggan membayar. Hal ini saya temui ketika saya memesan tadi.

“Kalau itu udah jadi kebiasaan di sini ya, Mas. Sebenernya itu tidak hanya menyemangati pelanggan, tapi juga menyemangati diri sendiri,”

Abu Yusuf mengaku mendapat penamaan Mie Ayam Semangat itu ketika ia bekerja di perusahaan asuransi dulu. Karena ketika setiap kali apel pagi, atau rapat, ia selalu mendapatkan jargon “semangat pagi” dari atasan-atasannya. Yang kemudian ia dan istrinya sepakati untuk dijadikan nama kedainya saat ini.

“Alhamdulillah juga banyak respon positif. Ada juga yang bercanda, setelah membayar masih diem di tempat. Ketika ana tanya, ternyata lupa belum disemangatin, kayak gitu,”

Cukup lama kami mengobrol, sekiranya 45 menit. Adzan maghrib telah berkumandang. Abu Yusuf pun berpamitan untuk sholat dan saya juga beranjak ke kasir untuk membayar.

“Totalnya Rp16 ribu, Mas. Mie ayam jumbo Rp11 ribu, es teh Rp3 ribu, pangsitnya Rp2 ribu,” ujar penjaga kasir.

Saya merogoh dompet dan memberikan pecahan uang Rp20 ribu.

“Semangat, Mas. Sehat selalu,” ucapnya setelah memberikan kembalian. Tak lupa saya membalasnya juga dan pemuda itu memberikan senyumnya dengan ramah.

Penulis: Muhammad Ridhoi

Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA Mie Ayam dan Bakso Titoti Asli Wonogiri Diburu Pelanggan di Jogja setelah Menaklukkan Jakarta Sejak 1990-an

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version