Coffee Shop Jogja Bikin Tekor karena Mahal-Mahal, Di Surabaya Nggak Sampai Rp20.000 Udah Ngopi Enak

Ilustrasi - Kenikmatan ngopi di Surabaya yang tidak ditemui di Jogja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Surabaya bukannya tak memiliki banyak cafe atau coffee shop. Ada sangat banyak. Terutama tentu di pusat kota. Meski begitu, perantau Surabaya tetap saja kaget saat merasakan ngopi di cafe atau coffee shop Jogja.

***

“Ngopi! Warkop biasa.”

Kalau pesan tersebut masuk ke WhatsApp Febri (26), ia akan bergegas menuju warkop yang temannya maksud. Kalau sedang malas ribet bawa tas, ia biasanya akan cukup membawa uang Rp50 ribu di saku. Ia akan ambil Rp20 ribu untuk beli rokok, lalu buat jaga-jaga ngopinya Rp10 ribu. Kalau sudah punya rokok, maka tak jarang ia cuma mengantongi uang Rp10 ribu saja di saku celana.

“Rp10 ribu itu jagani kalau ngopinya kelewat lama dan harus pesen minum lagi. Kalau nggak ya Rp4 ribu sudah cukup buat pesen kopi atau es teh,” tutur Febri saat kami ngobrol-ngobrol Jumat, (31/5/2024).

Situasi tersebut adalah gambaran saat Febri masih kuliah S1 di Surabaya, sebelum akhirnya pindah ke Jogja untuk S2 pada 2022 lalu. Tak pelak jika kemudian Febri kaget bukan main (culture shock) saat mulai mengenal budaya ngopi ala Jogja.

Ngopi di Jogja menghabiskan uang

Jauh sebelum bersentuhan langsung secara intens dengan Jogja seperti saat ini, dalam benak Febri, seandainya ia tinggal di Jogja barangkali ia akan sering nongkrong dengan teman-temannya di angkringan. Mengingat, Jogja dan angkringan telah menjadi satu rangkaian yang seolah tak terpisah.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan, angkringan seolah terpinggirkan dari Jogja sendiri. Dalam hal ngopi atau nongkrong-nongkrong, fenomena coffee shop perlahan-lahan merambah Jogja dan kini bahkan menjadi wajah baru bagi Jogja: Jogja adalah coffee shop.

“Angkringan nggak masuk opsi nongkrong. Kalau ada ajakan nongkrong sama temen-temen di Jogja, jelas ke coffee shop,” ujar Febri yang merupakan pemuda asal Pasuruan, Jawa Timur.

Beberapa kali coba nongkrong di angkringan, saat awal-awal di Jogja, yang Febri dapati hanyalah kelas-kelas pekerja: driver ojol, buruh pabrik, dan sejenisnya. Pokoknya bapak-bapak. Tidak ada anak muda di sana.

“Kalau setiap hari, agak kerasa memang buat ngopi di Jogja (karena coffee shop). Beda dulu di Surabaya. Ngopi tiap hari gas aja karena paling keluar Rp4 ribu. Itupun seringnya nggak pesen lagi dan bisa lhos ngopi berjam-jam,” sambung Febri sambil garuk-garuk kepala. “Ah, Jogja kejam betul”.

Sebab, sekali ngopi di Jogja, setidaknya Febri harus jaga-jaga uang Rp100 ribu. Mengingat, sependek ingatannya, sering kali ia ngopi di coffee shop Jogja menu paling murahnya ada di angka Rp25 ribuan. Belum lagi tuntutan untuk tampik mbois saat datang ke coffee shop Jogja. Sebab konsumennya rata-rata “adu outfit”.

Harga coffee shop Surabaya bersahabat

Hal senada juga Puji (24) ungkapkan, pemuda asal Aceh yang setelah lima tahun tinggal di Surabaya kemudian saat ini tinggal di Jogja. Ia bekerja sebagai juru masak di salah satu coffee shop di Nologaten, Jogja.

“Aku yakin temen-temen UIN-ku di Surabaya pasti bakal skip ngopi di tempatku,” ungkap Puji.

Pasalnya, harga termurah di coffee shop tempat Puji bekerja malah di angka Rp30 ribuan. Sementara bagi teman-teman Puji, uang Rp30 ribu daripada cuma dapat segelas kopi mending ke warkop biasa saja udah dapat se-rokok-rokoknya sekalian.

Puji sendiri selama di Surabaya tak jarang pula nongkrong di beberapa coffe shop. Sehingga, ia bisa menyimpulkan kalau coffee shop di Surabaya lebih bersahabat.

Ngopi di Surabaya Lebih Manusiawi ketimbang di Jogja MOJOK.CO
Ngopi di salah satu cafe di Surabaya yang harganya lebih murah dari Jogja. (Aly Reza/Mojok.co)

“Sama-sama coffee shop, katakanlah di Jogja harga termurah Rp20 ribu sampai Rp30 ribu. Di Surabaya ada loh yang masih di angka belasan ribu. Dengan konsep yang sama-sama estetik dan modern,” jelas Puji.

Kata Puji, saat ini gambaran ngopi murah di Jogja adalah di Kafe Basabasi, Bjongopi, Bento, atau Kobessah. Namun, Itu saja harga termurahnya Rp8 ribuan.

Di Surabaya, ada warkop dengan model sepert kafe-kafe murah Jogja tersebut. Akan tetapi harga paling rendahnya di angka Rp5 ribuan.

“Fenomena di Jogja, mau sekadar nongkrong atau nugas itu di coffee shop. Coffee shop termasuk bagian dari kebutuhan hidup di sini,” sambung Puji.

Sementara kalau di Surabaya, masih kata Puji, coffee shop hanya berhenti pada persoalan eksistensi. Untuk urusan di luar itu: nongkrong santai atau nugas kuliah, ya di warkop-warkop kecil Rp4 ribuan.

Surabaya lebih akrab dengan warung kopi

Saya sempat gelagapan saat Ipang, kru Mojok, bertanya rekomendasi coffee shop di Surabaya untuk lokasi Putcast edisi Surabaya pada penghujung 2023 lalu. Saya kosong soal coffee shop di Surabaya, meski hampir tujuh tahun tinggal di sana.

“Yang jelas kamu pasti punya warkop langganan di Surabaya,” ujar Puthut EA. Saya mengangguk mantap.

“Ya karena budaya Surabaya dan sekitarnya (Gresik dan Sidoarjo) yang kuat itu warkopnya,” sambungnya.

Di tempat saya sendiri, di Wonocolo, ada enam warkop yang saya jadikan langganan. Lalu di Ketintang ada satu warkop andalan. Kemudian di Wage, Sidoarjoa, ada dua warkop yang saya jadikan jujugan bersama teman-teman guru di sebuah yayasan tempat saya “main”.

Warkop-warkop tersebut selalu ramai dari pagi sampai menjelang subuh. Tak hanya dari kalangan mahasiwa, yang tampak di di warkop-warkop tersebut pun juga dari beragam kalangan.

Suasana di salah satu warkop di Surabaya. (Aly Reza/Mojok.co)

Hal ini senada dengan riset Listiyono Santoso dalam Etnografi Warung Kopi: Politik Identitas Cangkrukan di Kota Surabaya dan Sidoarjo yang terbit di Mozaik Humaniora Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya.

“Warung kopi menjadi jujugan warga kota (Surabaya dan Sidoarjo). Selain buka setiap saat, juga harganya relatif terjangkau oleh semua lapisan sosial,” tulis Listiyono.

Sebab, lanjut Listiyono, warkop pun tidak hanya berfungsi sebagai tempat cangkrukan. Melainkan sebagai ruang-ruang sosial tempat setiap warga saling bersosialisasi, berinteraksi, sekaligus melampiskan segenap kejengkelan-kejengkelan terhadap kerasnya kontestasi kehidupan di kota besar.

Di level yang agak serius, Listiyono menyebut kalau budaya ngopi di warkop Surabaya (yang kerap disebut cangkrukan) bisa juga dipandang sebagai counter culture (budaya tanding) terhadap kemapanan kelas sosial tertentu.

“Tidak hanya itu saja, warkop justru menjadi lapangan pekerjaan baru yang menjanjikan bagi masyarakat urban yang tidak punya akses pada sektor formal,” kata Listiyono.

Karena melalui warkop, geliat ekonomi masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah tertolong. Sekaligus masyarakat mendapatkan ruang “pertemuan” murah meriah di tengah himpitan mal-mal dan kafe-kafe di Surabaya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Warteg Jogja Buyarkan Ekspektasi Perantau Surabaya, Rasa Masakan Tak Bisa Dibandingkan dengan Warteg Surabaya

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

 

 

Exit mobile version