Selama hampir 30 tahun, laki-laki asal Temanggung ini keluar masuk gang di Jogja untuk jualan nasi goreng keliling. Meski banyak tawaran untuk jualan menetap, Nasi Goreng Kancil memilih setia menyusuri gang-gang di Jogja dengan gerobak dorongnya saat malam hari. Bukan hantu yang membuatnya takut.
***
Nama aslinya Windaryanto. Selain dipanggil dengan nama Pak Win, ia akrab disebut Pak Kancil oleh pelanggan nasi goreng buatannya. Kancil adalah sebutan orang-orang untuk sang adik yang sempat ikut berjualan nasi goreng keliling bersama Pak Win. Namun, setelah adiknya tak ikut berjualan, nama Pak Kancil akhirnya melekat pada Pak Win. Jadilah pelanggannya menyebutnya Nasi Goreng Kancil.
Tak terasa Pak Win sudah jualan nasi goreng dengan gerobaknya selama 28 tahun atau hampir 30 tahun! Selama itu, banyak kisah telah dilaluinya. Pak Kancil mulai jualan nasi goreng di Jogja sejak tahun 1995. Waktu itu usianya masih 19 tahun. Sebelumnya, sejak lulus SMA, pria asal Temanggung ini telah bekerja sebagai penjaga toko di Muntilan, Magelang.
Namun, setelah dua tahun ia mulai merasa bosan. Bagi Pak Kancil, bekerja ikut orang lain itu tidak menyenangkan, ribet, dan membuatnya tak dapat menikmati kebebasan.
“Kalau [kerja] ikut bos itu misal ada acara, terus mau libur, kan kadang nggak bisa. Ijin susah. Kalau [kerja sendiri] gini kan kalau mau libur kapan aja tinggal libur, bebas. Itu alasan saya jualan,” katanya kepada Mojok.
Awalnya ikut kakak yang juga penjual nasi goreng
Keputusan Pak Kancil merantau ke Jogja mendapat dukungan sang kakak. Waktu itu, di Jogja, kakaknya sudah berjualan nasi goreng dengan gerobak terlebih dulu. Ia menyarankan agar Pak Kancil memulai usaha sendiri. Menurut orang yang biasa dipanggil Kangmas oleh Kancil ini, usaha sendiri jauh lebih menguntungkan ketimbang menjadi bawahan orang.
Saat saya temui Jum’at lalu (10/03), Kancil mengatakan bahwa yang dibilang kakaknya bukan omong kosong. Selain punya kebebasan yang lebih atas penentuan waktu kerjanya, ia juga merasa pendapatannya jualan nasi goreng lebih besar ketimbang saat masih di Muntilan.
Di Yogyakarta, Pak Kancil hidup bersama seorang istri dan tiga orang anak. Selain cukup untuk sewa rumah kontrakan dan menghidupi keluarga, penghasilannya juga cukup untuk menyekolahkan anaknya. Saat ini, anak pertama dan keduanya telah bekerja sebagai driver shopee. Pak Kancil sempat menawarkan anaknya masuk kuliah ketika lulus SMA. Tapi karena kedua anaknya mengaku tak berminat melanjutkan jenjang perguruan tinggi, Kancil tak ingin memaksa.
“Saya heran, wong yang dari luar Jogja pada ke sini buat kuliah, kok [anak saya] yang hidup di Jogja malah nggak mau kuliah. Tapi wong itu pilihan mereka, saya nggak mau maksa,” katanya. Sedangkan anak terakhirnya sekarang sedang duduk di kelas satu SMP.
Sulitnya cari pelanggan
Setelah sekitar tiga bulan, Kancil merasa sudah siap jualan nasi goreng sendiri. Ia segera mencari gerobak dan mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk berjualan. Akhirnya sejak 1995, ia mulai jualan sendiri dengan lokasi dan rute yang berbeda dari kakaknya.
Rute awal Pak Kancil cukup jauh. Dari rumah kontrakannya di Gowok, ia menyeberangi rel kereta Sorowajan dan berjalan ke arah Selatan menuju Babadan, kemudian ke Plumbon, dan kembali ke Gowok lagi.
Namun, saat memasuki awal tahun 2000-an, pendapatan Kancil mulai menurun. Di Babadan, seingat Kancil, setidaknya ada lima gerobak milik orang Madura ikut berjualan di dekat tempatnya biasa mangkal.
Padahal sebelumnya ia ramai dapat pembeli di Babadan. Selain warga, ada sekelompok mahasiswa Kalimantan yang menempati rumah kontrakan dan menjadi pelanggannya. Namun, karena persaingan semakin ketat, ia memutuskan pergi dari sana.
Tak lama, kampus Universitas Islam Indonesia (UII) membangun gedung program D3 di Jl. Sorowajan Baru. Dari situ, kos-kosan dan kontrakan mahasiswa mulai banyak muncul di sekitar Sorowajan-Gowok.
Munculnya bisnis indekos dan kontrakan ini sejalan dengan bertambahnya pelanggan nasi goreng Pak Kancil. Sedikit demi sedikit, pelanggan Pak Kancil mulai meluas.
Alasan jualan nasi goreng keliling daripada menetap
Meski sudah berjualan selama 28 tahun, Pak Kancil masih konsisten menjajakan nasi goreng menggunakan gerobak keliling. Ia tidak ingin mempunyai warung nasi goreng yang menetap. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Bagi Kancil, harga tanah di Jogja kelewat mahal. Bahkan untuk sekadar sewa, tak mudah menemukan harga terjangkau di tempat yang strategis.
Bagi Pak Kancil, akan sangat sayang kalau warungnya tidak jualan setiap hari. Padahal, tak jarang ia libur jualan jika di Temanggung, rumah asalnya, sedang ada acara.
Ia bercerita bahwa setiap kali di kampung asalnya ada hajatan atau orang meninggal, ia selalu menyempatkan diri untuk pulang. Dan itu waktu yang tidak pasti. Kadang sebulan sekali, dua bulan sekali, atau pernah juga dalam satu bulan ia empat kali bolak-balik Temanggung-Jogja karena ada tetangga meninggal dunia.
“Kalau kontrak gitu-kan bayarnya mahal, apalagi tanah di Jogja mahal banget. Jadi warung harus buka terus, sedangkan saya kadang seminggu jualan, seminggu libur kalo ada acara di Temanggung.”
Ia mengaku pernah beberapa kali mendapat tawaran sepetak tempat untuk mangkal oleh beberapa pelanggannya. Tapi karena alasan di atas, ia menolak tawaran tersebut. Baginya harga sewa tanah di Jogja yang mahal lebih menakutkan daripada ketemu hantu saat jualan nasi goreng.
Pengalaman mistis jualan nasi goreng malam-malam
Saat tahun awal jualan, Pak Kancil bisa berjualan sampai pukul dua dini hari. Saat itulah, tak jarang, ia mengaku mendapat gangguan dari hantu atau makhluk halus. Ia ingat sekali suatu malam di Dusun Babadan, saat gerimis sedang turun, terdengar suara orang memanggil-manggil namanya.
“Pak Win, Pak Win, Pak Win,” suara itu terdengar dari arah belakang. Ia berhenti, mengira itu suara warga yang ingin beli nasi goreng. Namun, setelah menunggu cukup lama, tak ada siapa pun yang menghampiri gerobaknya. Gerimis masih turun. Di sepanjang jalan Babadan hanya ada Pak Kancil saja. Orang-orang memilih tak keluar rumah.
“Tak tunggu kok [yang manggil] nggak dateng-dateng. Saya merinding, terus jalan lagi. Itu sekitar jam sebelas,” kenangnya. “Besoknya pas lewat lagi, aku bilang ke orang situ kalau ada yang manggil-manggil. Dia malah bilang, ‘oh itu, paling yang di pohon sawo itu (yang manggil)’.”
Pada hari yang lain ia mendengar suara ketukan-ketukan di rel kereta Sorowajan. Sekitar pukul tiga dini hari, suasana Sorowajan begitu sepi. Suara itu pelan saja, tapi sukses membuat bulu kuduk Kancil berdiri. Seketika, ia merasa langkah kakinya semakin berat.
Lampu petromak ia pompa agar tambah terang. Kancil menghentikan gerobak, namun bunyi ting-ting-ting dari baja rel itu tak juga berhenti. Ia memarkir gerobak di pinggir jalan dan memberanikan diri mendekati sumber suara. Tiba-tiba suara rel hilang. Namun, begitu ia berjalan menjauhi rel, suara itu kembali terdengar.
Ia bolak-balik rel-gerobak dan masih sama saja, setiap ia mendekat ke rel suaranya hilang, dan muncul lagi saat ia bertolak ke gerobaknya.
Kemudian dengan pasrah Kancil bilang, “alah mbok yo ojo medeni to lah. Wong nek koyo aku ki yo wedi. Ojo diwedeni, aku ra ganggu. Aku bali yahmene iku golek pangan gawe anak bojo, rasah ganggu.”
Setelah mengatakan itu, kata Kancil, suara itu seketika hilang. Ia mengaku sejak hari itu suara ketukan rel tak pernah terdengar lagi, meski ia pulang larut malam.
Tak mau layani pembeli yang nggak dikenal saat jalan sepi
Gangguan-gangguan yang dirasakan Kancil tak hanya itu. Yang cukup sering dialami adalah mendengar suara orang menyapu tengah malam, padahal ia tak melihat siapa pun. Pernah juga lampu petromak gantung di gerobaknya tiba-tiba mati sendiri saat melewati jalanan sepi dan baru bisa dinyalakan saat memasuki permukiman.
Karena itu, jika ia pulang larut malam dan jalanan sepi, Kancil memutuskan tak melayani pembeli yang tak dikenal. Bukan tanpa sebab, ia hanya tak ingin ketika memasak nasi goreng dan matang, ternyata yang memesan bukan manusia.
“Kecuali kalau saya kenal sama yang pesan, maka saya tetap masakin,” katanya.
Belakangan, lanjut Kancil, gangguan-gangguan itu tak sering ia dapatkan lagi. Ia menduga karena sekarang ia selalu pulang lebih awal. Jika dulu biasa jualan sampai pukul dua atau tiga dini hari, sekarang ia biasa pulang sekitar pukul sebelas malam saja. Jam mulainya juga berubah, yang dulu ia mulai keliling sore hari, sekarang ia biasa berangkat habis isya.
“Sekarang paling cuma nyium bau wangi doang kalo lewat kuburan,” katanya. Jika dibandingkan berbagai pengalaman horor yang pernah ia alami, mencium bau wangi saat lewat kuburan tentu hal yang biasa bagi Kancil.
Makin ke sini, saingan ada di mana-mana
Di tengah wawancara, sekitar pukul sepuluh malam, datang dua lelaki berboncengan sepeda motor. Mereka hendak memesan nasi goreng sebanyak tiga belas bungkus ke Pak Kancil. Namun, karena sudah cukup malam, stok nasinya hanya tinggal sedikit. “Nggak ada kalo segitu, mas. Ini paling cuma cukup tiga atau empat porsi aja,” kata Pak Kancil ke pemuda tadi. Kemudian dua orang pemuda itu urung membeli Nasi Goreng Pak Kancil.
Akhir-akhir ini penghasilan Kancil semakin tak menentu. Penjual nasi goreng semakin banyak. Selain itu, varian makanan saat malam hari juga makin beragam. Berbeda dengan saat ia awal jualan dulu, makanan yang ada ragamnya tak sebanyak sekarang.
Munculnya aplikasi layanan pesan antar juga jadi ancaman untuk nasi goreng keliling seperti dirinya. Dari anaknya yang menjadi driver shopee, ia tahu bahwa anak muda sekarang menyenangi layanan pesan antar. “Lha sekarang ini sambil tiduran di kos aja bisa beli makan to, Mas,” kata Kancil.
Pilih pulang kampung untuk bertani
Saat wawancara, ia mengaku bersyukur karena pembeli hari itu cukup banyak. Sejak habis isya saat mulai jualan, ia sudah mendapat banyak pembeli. Namun, pengalaman menyenangkan ini tidak datang tiap hari.
Jika dulu ia bisa menghabiskan sampai sekitar 50 porsi per malam, sekarang paling banyak hanya setengahnya saja. Selain nasi goreng, ia juga berjualan bakmi, kwetiaw, dan capcay. Masing-masing ia hargai Rp14 ribu per porsi.
“Sekarang itu walaupun dikit-dikit yang penting jalan, Mas,” kata Pak Kancil yang saat ini lebih banyak jualan di sekitaran Jalan Gatak, Banguntapan, Bantul.
Karena pendapatan semakin menurun, ia berencana berhenti jualan nasi goreng keliling. Pilihannya adalah pulang kampung ke Temanggung untuk menjadi petani. Beberapa kerabatnya yang sebelumnya merantau di Jogja, kata Kancil, satu persatu mulai kembali ke kampung halaman dan menjadi petani cabai. Sebelum itu, ia ingin menunggu anak terakhirnya menyelesaikan SMP terlebih dahulu.
“Saya nunggu anak saya lulus SMP terus mau pulang ke Temanggung. Sekarang anak saya masih kelas satu. Paling nanti SMA-nya tak tawarin lanjut di Temanggung,” pungkasnya.
Reporter: M Hasbi Kamil
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mengintip Strategi Warteg Bahari yang Ingin Mewartegkan Jogja, Saingi Padang Murah dan Warmindo dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.