Bangku kayu panjang menjadi ciri khas dari warung tegal (warteg). Selama ini, saya selalu memfungsikannya tidak lebih dari tempat duduk untuk menikmati makanan. Namun, belakangan saya baru menyadari, bangku panjang tersebut punya fungsi lain yang amat kontemplatif.
Selama ini orang tahunya kursi besi Indomaret
Usai pandemi Covid-19, entah bagaimana mulanya kursi besi Indomaret jadi sudut kontemplatif bagi banyak orang. Banyak orang—dari beragam kalangan—menggunakannya untuk duduk melamun dan merenung.
Bahkan sampai muncul anekdot, “Cukup modal Rp3 ribu, sudah dapat konseling gratis dari kursi besi Indomaret.” Rp3 ribu itu merujuk harga kopi Golda. Sebab, sering kali orang yang melamun di Indomaret ditemani kopi tersebut.
Mojok cukup banyak mendengar pengakuan orang-orang yang menjalani “terapi mental” tersebut? Duduk melamun di kursi besi Indomaret sembari ditemani kopi Golda.
Memang, duduk di kursi Indomaret, sekalipun berjam-jam, tidak lantas membuat masalah rampung. Akan tetapi, dengan melamun dan menepi, paling tidak sedikit demi sedikit carut-marut di kepala bisa terurai. Lalu pulang dengan kepala jernih untuk menghadapi masalah-masalah yang antre untuk dihadapi.
Saya sendiri sesekali juga duduk melamun di kursi besi Indomaret. Menghisap berbatang-batang rokok untuk mencerna perkara-perkara yang berjejalan di kepala.
Kadang kala, kelegaan tidak datang lantaran saya sudah menemukan solusi dari ritual tersebut. Tapi dari orang-orang yang sama-sama duduk di sana: karena menghadapi masalah yang lebih berat, tapi tetap bisa tenang dan tegar.
Bangku panjang warteg: tempat berpikir keras usai mengisi energi
Minggu (17/8/2025) siang, saya yang sedang ingin makan kikil mampir ke warteg di Jalan Besi Jangkang. Tidak jauh dari kantor Mojok.
Setelah satu piring berisi nasi-kikil-telur-sayur kangung tandas, saya mengambil sebatang rokok. Lalu menghisapnya penuh penghayatan.
Habis sebatang, ambil lagi sebatang. Benar-benar hanya merokok dan melamun. Ponsel saya tergolek tak tersentuh.
Baru saya sadar kemudian, ternyata kebiasaan seperti itu tidak hanya sekali itu saja saya lakukan. Sejak mulai suka makan di warteg semasa kuliah di Surabaya 2017 silam, kalau saya ingat-ingat, ternyata saya sudah suka begitu: habis makan, lalu duduk agak lama untuk menghisap rokok.
Dalam setiap hisapan dan hembusan asap rokok itu, pikiran saya berputar keras. Ada banyak hal berderet di kepala saya dan harus diurai satu-persatu. Kadang lamunan saya hanya berisi rutukan, kadang juga bercampur rasa syukur dan berserah atas apa yang sudah dan belum terjadi dalam hidup.
Di titik itulah saya menyadari, bangku panjang warteg ternyata bisa jadi sangat kontemplatif. Sama fungsinya dengan kursi besi Indomaret.
Bedanya, kalau di bangku panjang warteg, paling tidak saya bisa berpikir keras setelah energi saya terisi dari satu piring nasi-lauk yang saya pesan.
Bangku panjang warteg jadi tempat adu nasib dan saling menguatkan
Saya mencoba mengonfirmasi ke pelanggan warteg lain: Gandika (24) dan Febri (26). Setelah mereka pikir-pikir, ternyata iya juga, bahwa bangku panjang warteg punya fungsi sangat kontemplatif. Hanya memang kerap tak disadari.
Gandika dan Febri sendiri mengaku baru menyadarinya usai berbincang dengan saya baru-baru ini.
Gandika malah punya sisi emosional terhadap warteg. Sebab, melalui warteg, dia bisa menebus kemalangan masa kecilnya. Selengkapnya bisa dibaca di tulisan, “Pengalaman Pertama Kali Makan di Warteg Glagahsari Jogja: Jadi Kalap dan Menyesal karena Dompet Merana Miskinnya Terasa”.
“Tapi memang, sih, baik sendiri atau sama teman kerja, sehabis makan itu sering duduk lama sekali di bangku panjang warteg,” ujar Gandika.
“Kalau sendiri ya melamun saja. Menikmati pikiran yang berkecamuk. Merenungi peranku sebagai anak pertama yang harus ikut banting tulang demi bantu keuangan keluarga,” sambungnya.
Jika duduk berdua dengan temannya, biasanya momen selepas makan menjadi momen mereka bertukar cerita. Entah adu nasib atau saling menguatkan satu sama lain.
Tak jarang pula keduanya hanya saling diam. Tenggelam delam kecamuk kepalanya sendiri-sendiri.
Tangan sibuk main hp, tapi kepala sibuk mengembara
Dulu saat masih di Surabaya, Febri pun kurang lebih sama dengan Gandika. Jika makan dengan temannya, di momen setelah makan, Febri akan bertukar banyak cerita dengan temannya. Dari cerita lucu hingga haru.
“Sejak di Jogja, karena selera teman-temanku bukan warteg, jadi aku sering makan di warteg sendirian. Setelah makan, aku biasanya duduk lama,” ungkap Febri.
Tangan Febri memang sibuk scrolling layar ponsel. Melihat konten-konten Instagram yang berseliweran atau membaca artikel-artikel menarik yang tanpa sengaja ia temukan. Namun, isi kepalanya bisa lain: melamunkan masa depan.
“Aku jauh-jauh S2. Kadang overthinking, nanti kalau susah kerja gimana,” ujar Febri. “Apalagi kabar buruk setiap hari selalu dikirim negara. Jadi kalau lagi duduk di bangku panjang warteg, kadang agak capek dan kesel kenapa harus lahir sebagai WNI.”
Namun, dia biasa apa. Setelahnya, dia hanya bisa memasrahkan apapun yang dia lakukan kepada Tuhan. Sebagai manusia, dia hanya bisa ikhtiar.
Warteg: 24 jam layani lamunan
Terlepas dari urusan isi hati dan kepalanya, ada satu hal yang Febri garisbawahi dari momen merenung atau melamun di bangku panjang warteg. Yakni, pemiliknya tak akan menegur atau mengusir halus.
Biasanya ada tipikal pemilik warung yang mengusir halus dengan cara mengambil piring di meja pembeli. Tapi di warteg, piring bekas makan baru akan diambil setelah Febri benar-benar ingin pergi.
Karena memang warteg buka 24 jam. Jadi berjam-jam duduk di bangku panjangnya sepertinya tidak menjadi soal, karena si pemilik tidak keburu menutup warung.
“Selain itu, merenung jadi enak karena suasana warteg itu nggak ramai-ramai banget. Kebanyakan orang memilih membungkus. Hanya satu-dua yang makan di tempat. Itu memberi suasana hening yang pas untuk melamun,” beber Febri.
Fungsi bangku panjang warteg sebagai sudut kontemplatif memang tidak seeksis kursi besi Indomaret. Tapi pembaca bisa mencobanya sendiri untuk mengonfirmasi apa yang saya, Gandika, dan Febri rasakan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pengalaman Pertama Kali Makan di Warteg Glagahsari Jogja: Jadi Kalap dan Menyesal karena Dompet Merana Miskinnya Terasa atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
