UNY Nggak Beri Bekal Lulusannya Agar Siap di Dunia Kerja?

Salah Jurusan, Mahasiswa UMY Jogja Rela Buang Duit Puluhan Juta Demi Bisa Pindah Kampus di SNBT: Kucing-kucingan dengan Ortu Agar Niatnya Tak Terbongkar.mojok.co

Ilustrasi Salah Jurusan, Mahasiswa UMY Jogja Rela Buang Duit Puluhan Juta Demi Bisa Pindah Kampus di SNBT: Kucing-kucingan dengan Ortu Agar Niatnya Tak Terbongkar (Mojok.co/Ega Fansuri)

Sebagai salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dikenal sebagai salah satu kampus favorit. Bagaimana lulusannya di dunia kerja?

***

Pada 2023 kemarin, ada 24.714 peminat UNY di Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Tentu itu bukan angka yang menunjukkan “kaleng-kaleng”. Terhitung favorit, malah. 

Perlu diakui, bahwa UNY adalah salah satu kampus pencetak guru terbanyak serta memang dikenal sebagai kampus pendidikan. Kalau kita mau sedikit melebar, UNY juga punya reputasi mentereng di bidang lain. Seperti, jurusan musiknya menghasilkan banyak nama beken, jurusan olahraganya yang terkenal, plus fasilitasnya yang keren.

Namun, ada juga yang menyuarakan hal lain selama kuliah di UNY. Seperti yang disampaikan Ipank dalam wawancara dengan saya di awal April 2024.

Tepat tengah malam,  hape saya bergetar hebat. Ipank mengabari kalau dia sudah bisa ditelepon dan siap untuk wawancara. Saya bergegas ke luar rumah, duduk di pembatas jalan, dekat pohon pisang agar suara percakapan kami tidak mengganggu putri saya yang masih tidur.

Sembari menghalau nyamuk, saya memulai percakapan dan langsung menembak pertanyaan demi pertanyaan ke Ipank. Ipank (bukan nama sebenarnya), adalah alumni salah satu jurusan bahasa di UNY angkatan 2011. Ia baru lulus tahun 2018 dan melanjutkan studinya di Magister UGM. Oleh karena pengalamannya menempuh S2 di UGM inilah, dia tahu betul apa masalah yang ada di UNY. Minimal, yang ia rasakan sendiri.

Menurut Ipank, kenapa kuliah di UNY kesannya bikin “sial”, terutama di dunia kerja, karena kampus ini tidak mengikuti dunia industri sama sekali.

“Kita ambil contoh UNY yang keliatan mata dan kita berdua alami lah. Kalau prodi bahasa cuman ngomongin kompetensi yang itu-itu doang, nggak bakal bisa melebar. Padahal ilmu harusnya bisa bersilang, bisa cross market. Tapi kan yang diomongin itu-itu doang. Giliran dikasih soft skill, soft skill-nya yang berkaitan dengan jurusan yang ngasih pelatihan tersebut. Ya harusnya nggak begitu. Soft skill-nya ya berkaitan dengan industri lain, yang menunjang.”

Kuliah di UNY bisa jadi spesialis, tapi…

“Itu jelas tanda tidak mengikuti dunia industri. Semua mahasiswa dipukul rata dipaksa jadi spesialis. Padahal dunia kerja sekarang tidak mencari spesialis. Lihat saja, dalam dunia manajemen, ada yang namanya enrichment. Karyawan tidak dibiarkan dalam satu bidang terlalu lama, muter. Makanya ada pengembangan SDM dan segala macem.

“Lihat saja, pengembangan SDM adalah salah satu bidang dengan bujet yang besar. Tapi kalau mahasiswa mentalnya dididik untuk spesifik atau khusus, ya opo sih. Start-nya jelas sudah kalah dengan calon pekerja yang punya kemampuan yang banyak.”

“Jadi ya, kuliah di UNY, abis itu lulus pada bingung. Lha wong loker spesialis jumlahnya dikit. Kelihatan banget kampus, prodi, dosen tidak memetakan industri. Makanya advertising kampus ya gitu-gitu aja: lulusan bahasa bisa jadi dubes, dosen, dsb. Lha, cara mainnya nggak gitu. Bukan bisa jadi apa, tapi industri mana yang (harusnya) butuh jasa kalian.”

“Ada sih softskill, kayak kewirausahaan, tapi yang ngampu dosen jurusan yang sama. Praktisinya mana? Sumpah, kampus harusnya butuh praktisi, agar bisa berbagi ilmu.”

Baca halaman selanjutnya

Mindset yang keliru

Kuliahh di UNY bertemu mindset yang keliru

Ipank menyatakan banyak hal keliru yang muncul dari sistem yang keliru. Sebagai anak bahasa, dia benar-benar menyayangkan kenapa lulusan bahasa hanya diarahkan ke jenis-jenis pekerjaan yang itu-itu saja. Padahal bahasa benar-benar ilmu yang bisa masuk di tiap industri.

“Contoh bidang UX, tak jarang diiisi orang marketing. Lha, harusnya anak bahasa lah.”

Mindset dosen dan kampus yang ada kata Ipank juga berpengaruh. Dosen dan kampus yang tidak mau upgrade menghasilkan mahasiswa yang gitu-gitu saja. Ipank juga menekankan, inovasi hampir tak ada di kampus-kampus, tak hanya UNY.

“Coba ingat berapa kali kamu ngulang mata kuliah yang sama. Materinya sama persis nggak? Iya kan? Ya harusnya nggak. Tiap tahun harusnya ada penyesuaian. Tapi nyatanya nggak, dosennya udah pada males duluan. Alasannya silabus. Padahal silabus kan harusnya dilihat dari output, caranya mah bisa improve. Nggak harus sama kek kemarin.”

“Cuman kopas, dan nggak adaptasi. Terus mau punya ekspektasi kek mana?”

Penyebab dekadensi

“Faktor ekonomi. Kui wis utama dan paling pertama.”

Ipank dengan tegas menyatakan bahwa inilah yang bikin orang-orang di sistem kampus tidak berinovasi. Mau mikir market dan sebagainya gimana kalau mereka sudah sibuk kiri-kanan mencari uang. Yang penting mahasiswanya dikasih materi. Kelar.

Tapi dia juga bilang, harusnya dosen yang ikut penelitian kiri-kanan bisa bawa ilmunya ke UNY. Biar mahasiswa yang kuliah di UNY bisa merasakan manfaatnya.

“Sistem dan mindset yang keliru ini akhirnya bikin kuliah di UNY itu yang penting 4 tahun kelar dan IPK-nya 3.6. Udah, gitu aja. Mahasiswanya mentok. Nggak dapet apa-apa. Dan ya mau kerja macam apa kalau kampus nggak ngasih bekal?”

Tak sepakat UNY nggak beri bekal

Dindadari (30), tidak sepakat sepenuhnya dengan apa yang Ipank sampaikan. Ia merupakan mahasiswa Sastra Inggris UNY tahun 2009 yang lulus tahun 2013. Ia merasa di kampus ia sudah mendapatkan bekal kerja yang cukup. “Mungkin karena bidang kerjaku mengajar di lembaga bahasa, pernah juga di tempat kursus, jadi materi selama perkuliahan itu sangat relate dengan pekerjaanku,” kata Dinda. 

Menurut Dinda, menjadi persoalan ketika lulusan jurusan bahasa kerja bukan di bidang kuliahnya. Misalnya, di bidang perbank-an. Di zamannya memang ada mata kuliah yang bisa menjadi bekal mahasiswa di dunia kerja, misalnya mata kuliah kewirausahaan, jurnalistik, dan creative writing. 

“Tapi, memang antara kuliah di zamanku dengan sekarang sangat beda, dulu itu hanya ada mata kuliah itu sama KKN, sekarang mahasiswa punya banyak keleluasaan untuk siap punya bekal masuk ke dunia kerja,” kata Dinda yang baru tahun 2023 ini diterima sebagai dosen Jurusan Sastra Inggris UNY.

Ada MBKM yang membekali mahasiswa siap di dunia kerja

Menurutnya, situasi saat dirinya atau Ipank kuliah dulu tidak seperti sekarang ini, bahkan jauh berbeda sejak kebijakam Kampus Merdeka diberlakukan pada tahun 2020. 

Menurut Dinda, sekarang di jurusannya mahasiswa dapat kesempatan untuk mendapatkan bekal siap di dunia kerja. Itu setelah ada program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Mahasiswa di satu prodi, bisa mengambil mata kuliah di prodi lain yang menurut mereka dibutuhkan. Ini bisa mahasiswa manfaatkan untuk menyesuaikan keinginannya atau sesuai dengan tuntutan dunia kerja yang mereka inginkan. 

“Bahkan ada program magang sebanyak 20 SKS di luar kampus, misalnya ada mahasiswa yang ingin magang sesuai dengan bidang yang ia inginkan di tempat kerja, dia bisa melakukannya. Jadi sekarang kampus seperti UNY sudah memberikan bekal dan kesempatan agar mahasiswa siap kerja di dunia industri,” jelasnya. 

Perlu lebih banyak praktik

Dafi (26) alumni UNY Jurusan Teknologi Pendidikan angkatan 2016 memberikan pendapatnya tentang apakah UNY sudah memberi bekal bagi mahasiswanya untuk siap di dunia kerja atau tidak. Menurutnya, yang ia rasakan adalah bekal dari kampus yang ia dapatkan lebih banyak teorinya. 

“Waktu itu saya merasa kalau bekal dari kampus lebih banyak teorinya. Untuk praktik jarang, mungkin karena saat itu dosen-dosenku sudah sepuh-sepuh, jadi lebih pada instruksi,” kata Dafi. 

Menurutnya mungkin berbeda dengan situasi terkini dimana di kampus ada MBKM yang bisa mahasiswa manfaatkan untuk bisa menyesuaikan dengan dunia kerja.

Di jurusannya, banyak mata kuliah yang bersingunggan dengan teknologi terkini, khususnya multimedia karena memang terkait dengan teknologi pembelajaran. “Untungnya aku dulu SMK Multimedia, jadi relatif nggak jadi masalah, aku sudah punya bekal,” kata Dafi. 

UNY pertemukan mahasiswa dengan dunia industri lewat Graduation Day

Saat zamannya dulu kuliah, penting memang untuk pengajar di UNY perlu selalu update kekinian, apalagi yang berhubungan dengan teknologi dan multimedia. “Kalau dulu, paling ya kurang praktinya saja sih menurutku. Semoga saja sekarang situasinya berbeda,” kata Dafi yang kini bekerja sebagai bagian dari tim multimedia di sebuah kampus swasta di Jogja. Selain itu ia juga membuka usaha jasa multimedia di rumahnya di Bantul. 

Dalamdi UNY Graduation Career Day 2024 yang berlangsung bulan Februari lalu, Ketua Pelaksana Supriyono M.Or mengatakan bahwa pelaksanaan Graduation Career Day bertujuan untuk menjembatani antara alumni dan mitra.
“Mitra itu bisa berupa lembaga pendidikan, dunia industry, dan perusahaan.dan juga ada memotivasi calon wisuda untuk semangat memasuki dunia kerja setelah belajar di UNY dengan trik-trik seperti personal branding dan beberapa materi lain,” katanya seperti dikutip dari website UNY. 

Lewat kegiatan ini juga terkait dengan liga perguruan tinggi nasional yang dikenal dengan indikator kinerja utama, IKU1 yang mensyaratkan lulusan perguruan tinggi serapannya sampai 80%. Artinya lulusan 2023 harus terserap dan memenuhi 3 komponen, yaitu memasuki dunia kerja, memasuki dunia usaha, dan study lanjut mencapai 80%. 

Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Kisah Mahasiswa UNY Kena DO, Pindah Kampus Hampir DO Lagi, tapi Bisa Bangkit dan Berhasil Sarjana

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version