Kopi Lain Boleh Mahal, Maringopi Tetap Bayar Seikhlasnya

Maringopi bayar seikhlasnya

Jogja dan kopi, layaknya mimi lan mintuna. Layaknya serikat buruh dan UMR humble. Benar-benar akrab dan tak terpisahkan. Bahkan muncul cibiran, “tanah kosong dikit, jadi coffee shop.” Yah ada benarnya juga, apalagi bicara kultur kopi Jogja yang selalu berkembang. Mulai dari sebelum 2015 kopi berharga murah, sampai hari ini segelas kopi bisa sampai 30 ribuan rupiah hingga ada yang bayar seikhlasnya.

Perubahan budaya kopi yang tidak dibarengi peningkatan UMR ini menimbulkan polemik dan cibiran baru. “Orang Jogja sudah tidak boleh ngopi,” tulis salah satu netizen yang beberapa waktu lalu sempat viral.

Tapi apa benar warga Jogja sudah tidak boleh ngopi? Apa benar setiap jengkal tanah Jogja berevolusi jadi coffee shop? Untuk menjawab itu, saya menemui Mas Akrom sang owner Maringopi: The Independent Coffe. Kedai kopi ini berada di Jl. Ngadisuryan No. 12, Patehan, Kecamatan Kraton.

Lahir dari stan bazaar dan pensi

Mas Akrom Dimyati (35) memang selayaknya mas-mas seusianya. Rambut acak-acakan dengan kaos oblong dan celana pendek yang mungkin pantas disebut “sakanane”. Tapi dari tangan Mas Akrom, lahirlah salah satu kedai kopi yang unik dan punya ciri khas yang lain dari yang lain: kopi seikhlasnya.

“Dulu aku kerja di Jalan Kaliurang. Di K.Ko jadi barista dulu di tahun 2008. Kalau jabatan terakhirku ya Manajer SDM area DIY,” ungkap Mas Akrom sambil mengisap rokoknya. Sayang sekali, narasumber kali ini terlalu wingit untuk saya mintai rokok.

“Lha kapan Maringopi berdiri mas?” Tanya saya penasaran sambil meratapi rokok yang tingga tiga batang saja.

“Kalau Maringopi itu mulai 2012, pas aku keluar dari kerjaan. Tapi Maringopi belum seperti ini lho,” jawab Mas Akrom. Blio menambahkan, “Maringopi diawali dari tennant. Aku dulu ider ke berbagai bazaar sama pensi. Yah sabet sana-sini. Dulu juga pernah jadi stan di FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) 25 dan 26.”

“Lha mulai di sini sejak kapan mas,” tanya saya.

“Nek di Ngadisuryan sini mulai 2014. Ya sejak pertama buka kedai sampai sekarang,” jawab Mas Akrom. “Lha ada rencana pindah po mas,” tanya saya sambil memberanikan menyulut rokok yang jumlahnya terbatas ini. Mas Akrom hanya menjawab “hamboh” sambil tertawa.

“Pindah atau tidak kan tergantung yang punya tempat. Tapi nek pindah yo kasian kamu,” jawab Mas Akrom. Memang, Maringopi sangat dekat dengan rumah saya.

Berapapun harga kopi di luar, Maringopi tetap bayar seikhlasnya

Untuk menambah syahdu wawancara ini, saya memesan kopi single origin dengan metode V60. Prosedurnya sederhana: saya datang ke bar, memilih biji kopi Gayo favorit saya, pesanan diterima Mas Wicak si barista, dan memasukkan uang ke kotak yang tertulis “hanya kamu dan Tuhan yg tau”.

Besaran uangnya tergantung si konsumen alias seikhlasnya. Dan saya tidak bisa bicara berapa besaran uang saya.

“Mas, kopi bayar seikhlasnya ini sejak kapan?” Tanya saya penasaran.

“Kalau kopi bayar seikhlasnya ini sejak 2014. Itu sejak awal buka sudah ada kopi single origin yang seikhlasnya,” jawab Mas Akrom. Saya pun memastikan, “lha bukan promo po mas?”

Mas Akrom menjawab dengan tegas, “yo ora lah! Lha sekarang kamu bisa beli tho? Ini itu bukan promo. Dasarnya itu simpel. Biar semua orang bisa ngopi tanpa mikir biaya. Selama ini kan orang ngopi kan mikir-mikir kalau minum yang single origin seperti ini.”

“Era pas kenceng-kencengnya, harganya bisa sampai 15 ribu ke atas. Kadang sampai 30 ribu tho,” ungkap Mas Akrom. Ungkapan ini mengingatkan pada segelas kopi single origin seharga 35 ribu rupiah di dekat UGM sana.

“Kalau semahal itu, gimana orang bisa ngopi tanpa mikir. Kalau seikhlasnya kan yang penting ngopi dulu, mikir bayarnya bisa belakangan,” imbuh Mas Akrom.

“Apa kopi seikhlasnya gini tidak diprotes kompetitor mas,” tanya saya sambil menyesap kopi Gayo. Sruput sekali langsung moshing lidah ini dalam kenikmatan.

“Wah, kalau dibajing-bajingke sudah biasa. Dihujat juga sering. Rapopo sakbahagiane. Tapi yang lucu itu turis luar negeri. Ada turis yang ga terima ketika diminta bayar seikhlasnya. Malah ngomong ‘are you crazy’,” ungkap Mas Akrom sambil menyesap rokoknya.

“Lha itu dibayar berapa sama turis,” tanya saya. Saya lupa, yang dibayar hanya konsumen dan Tuhan yang tahu.

“Ya pokoknya ada uang 20 dolar di dalam kotak. Pasti punya turisnya tho? Ada juga turis yang ngulungi 200 ribu rupiah juga. Yo seikhlasnya saja tho,” jawab Mas Akrom.

“Tapi dibayar ucapan terima kasih juga pernah. Ada yang mbayar pakai amplop kosong kaya kondangan itu. tapi paling banyak dibayar 3M,” jawab Mas Akrom terkekeh. Saya penasaran, dibayar 3M?

“Dibayar pakai kata-kata ‘makasih mas mantap’. Banyak tho bayarnya,” jawab Mas Akrom sambil tergelak. Beberapa pengunjung yang akrab dengan Mas Akrom ikut berkomentar sampai riuh.

“Mas, mas. Balik ngobrol sama aku mas,” ujar saya gemas. Menilik situasi rokok, saya harus segera menyelesaikan obrolan ini.

“Iya iya. Pokoke santai saja mau dibayar berapa. Rezeki itu kan sudah ada yang ngatur tho? Toh dengan seikhlasnya tetap bisa bertahan sampai hari ini,” jawab Mas Akrom sambil masih menanggapi konsumen lain. Yah tidak perlu cemburu sih, karena keakraban seperti ini yang membuat Maringopi tidak pernah sepi pengunjung.

Bertahan dengan konsep kedai, meskipun dikepung konsep coffee shop

Saya mencoba mengamati situasi kedai. Tampilannya seperti halaman samping rumah biasa. Bahkan dibilang gaya rustic juga tidak. Warna merah bata bersatu dengan ornamen kayu. Biasa banget tapi memang ngangeni.

“Mas, gamau ganti konsep seperti coffee shop lain,” tanya saya sambil menyulut rokok kedua. Time is running out.

“Hah, sing kepiye maksudmu,” tanya Mas Akrom yang berarti “Hah yang bagaimana maksudmu?”

“Ya model tembok warna putih, kacanya besar-besar. pokoke modern gitu mas seperti,” jawab saya sambil memberi contoh kedai kopi yang memang sedang hype.

“Wah Maringopi tetap seperti ini saja. Ga perlu ikut-ikutan arus. Yang dipegang itu idealis yang fleksibel. Yah idealis yang tidak egois. Idealisnya itu ciri khas, itu identitas. Tapi bukan berarti jalan di tempat. Maringopi tetap berkembang dan mengikuti zaman. Maka menu di sini kan tetap beragam dari yang basik sampai yang mengikuti kopi kekinian,” jawab Mas Akrom.

“Perkara perlengkapan, itu juga harus berkembang. Dulu masih pakai manual, pakai rockpresso. Sekarang sudah pakai espresso maker. Ya itulah idealis yang fleksibel,” imbuh Mas Akrom yang saya jawab dengan manggut-manggut.

“Nek idealis saja, ra madhang boss,” imbuh Mas Akrom kembali sambil tertawa.

“Tapi secara profit aman mas,” tanya saya penasaran. Siapa tahu saya bisa tahu berapa omzet dari Maringopi.

“Yo aman lah. Kalau nggak aman Maringopi sudah kukut dari kemarin,” jawab Mas Akrom yang belum cukup menjawab penasaran saya.

“Coffee shop kan mulai invasi di tahun 2018. Tapi Maringopi tetap bertahan. Warnanya masih kayak gini. Konsepnya masih kayak gini. Aku gamau ngrubah konsep. Memang sih kepikiran membuka cabang yang konsepnya coffee shop modern,” jawab Mas Akrom. “Tapi Maringopi sudah punya cabang juga, tapi konsepnya itu ruang kelas seperti sekolah,” imbuh Mas Akrom lagi.

Saya penasaran tanggapan pengunjung dengan konsep Maringopi. Salah satunya Mas Apoy (23). Menurut Mas Apoy, konsep Maringopi yang khas kedai malah membuat nyaman. “Bebas mas, ga usah jaim apalagi mikir pakai sepatu apa,” ujar Mas Apoy.

Mbak Han (27) yang baru pertama kali ke Maringopi juga mengamini. “Suasananya santai mas. Akrab banget sama semua orang di sini. Kalau di coffee shop kan ansos gitu. Rasanya hidup sendiri-sendiri,” ungkap Mbak Han.

Kotak di Maringopi tempat konsumen bayar seiklasnya di Maringopi.
Kotak di Maringopi tempat konsumen bayar seiklasnya di Maringopi.

Mas Akrom menanggapi, “itulah kenapa di sini nggak ada wifi. Kalau ada, nanti semua yang ada disini ansos. Kalau seperti ini, kamu mau ngobrol sama siapapun bisa nyaman dan bisa akrab dengan siapapun. Kamu bisa ngopi tanpa hpnya miring buat ngegame atau Youtube-an”

Mas Akrom menjawab “orang Jogja tidak boleh ngopi.”

“Mas, kata orang kopi di Jogja sekarang mahal,” tanya saya

“Jare sopo (kata siapa),” tanya Mas Akrom sambil mengernyitkan alis.

“Wah banyak mas. Kan sekarang banyak kopi yang 30 ribuan lebih. Rata-rata saja 18 ribuan,” jawab saya.

“Ah itu kan kata orang. Kopi masih banyak yang murah. Tapi memang yang viral itu yang harga segitu. Lha buktine di sini juga masih jauh dibawah harga tadi,” jawab Mas Akrom.

“Berarti orang Jogja sudah tidak boleh ngopi,” tanya saya. Mas Akrom sepertinya paham, saya sedikit menyindir UMR Jogja yang kelewat humble itu.

“Lho kan itu bebas. Aku rasa itu juga positif kok. Toh itu warungnya sendiri. Si pemilik bebas menjual kopi berapapun harganya. Kalau laku ya syukur, nek enggak ya gimana lagi,” jawab Mas Akrom sembari menyesap cappucino yang sepertinya dibuat sendiri tadi sebelum duduk di depan saya.

“Kita tidak tahu berapa biaya yang dikeluarkan. Kita juga ga tahu berapa modal yang dikeuarkan kedai kopi yang kamu bilang mahal itu. Berapa biaya operasionalnya, berapa bahan bakunya, berapa gaji baristanya. Apalagi kalau baristanya good looking,” jawab Mas Akrom lagi.

“Lha barista good looking juga punya pengaruh jhe. Efeknya ke konsumen akan beda kalau baristanya cantik, enak dipandang, ramah, dan lain-lain,” imbuh Mas Akrom.

“Berarti masalah kopi Jogja itu mahal tadi salah ya,” tanya saya.

“Yo enggak. Ada nilai positifnya. Positifnya, kita bisa tahu kalau dunia kopi di Jogja itu berkembang. Toh dari dulu sudah ada kopi mahal, kok baru sekarang mulai koar-koar,” jawab Mas Akrom merujuk ke salah satu coffee shop bertaraf internasional yang terkenal dengan menu Frappuchino.

“Tapi apakah harga yang mahal banget dan murah banget ini merusak harga dan berdampak ke persaingan,” tanya saya.

“Ah kalau merusak harga yo ora. Namanya usaha itu pasti punya target pasar. Toh ini jadi bagus buat konsumen. Konsumen jadi punya pilihan untuk menikmati kopi. Toh konsumen sekarang nggak goblok-goblok banget,” jawab Mas Akrom.

“Lha kalau Maringopi, sasarannya siapa mas,” tanya saya.

“Siapapun. Maringopi tidak memandang bulu. Tidak memandang gaji juga. Pokoknya silahkan untuk semua golongan bisa ngopi di Maringopi,” jawab Mas Akrom.

Sering dicontoh coffee shop lain dan banyak yang gagal

“Tapi konsep Maringopi  yang bayar seikhlasnya ini pernah ditiru coffee shop lain belum mas,” tanya saya penasaran. Sejauh perjalanan hidup saya, memang baru menemukan kopi bayar seikhlasnya di Maringopi.

“Wah yo banyak. Banyak yang meniru konsep kopi seikhlasnya, meskipun tidak reguler. Ya kalau kuat ya syukur. Kalau tidak kuat monggo lambaikan tangan. Tapi Maringopi akan tetap seperti ini selamanya,” jawab Mas Akrom

“Maringopi sih kuat karena sudah riset sebelum buka. Tapi yang penting konsisten. Kemarin Maringopi sempat tutup dua bulan karena pandemi. Tapi buka lagi dan tetap bertahan. Menu kopi seikhlasnya juga tetap ada. Karena Maringopi berusaha konsisten. Toh sekarang yang penting tetap berusaha dan menjaga prokes,” imbuh Mas Akrom. Membuat tempat ngopi bertahan, memang tidak mudah, ada seninya.

“Ibarat mancing sidat. Harus kuat mental. Karena kemungkinan ketemu dua hal. Kalau bukan ular, ya dhemit,” ungkap Mas Akrom yang memang hobi mancing.

“Mas, fokus ke kopi,” tukas saya mengingatkan. Mas Akrom hanya menanggapi dengan tertawa.

“Meskipun dunia kopi besok anyep, orang tidak doyan nongkrong dan ngopi, Maringopi tetap bayar seikhlasnya. Meskipun sepi, tetap seikhlasnya,” ungkap Mas Akrom dengan tatapan serius. Ungkapan yang membuat saya teringat Omah Noto Plankton yang saya kunjungi beberapa waktu silam.

Tanggapan akhir Mas Akrom terhadap dunia kopi Jogja

“Lha mas, ada tanggapan atau pesan buat yang kemarin nge-blow up kopi Jogja itu mahal,” tanya saya.

Wes tho, sini ngopi sama aku! Tak ceritakan kisah nabi-nabi. Menurutku dia itu Cuma cari panggung. Toh aku lihat follower-nya tambah setelah viral. Yo anggep wae hiburan. Kopi Jogja butuh pancingan seperti itu, biar semua orang tahu dan mikir dengan situasinya. Ra gayeng kalau mainan kopi tapi ga kisruh,” jawab Mas Akrom.

“Kalau untuk yang jaim ketika nongkrong di coffee shop, atau yang jadi barista necis gitu mas,” tanya saya kembali.

“Maksudmu yang kemana-mana pakai flannel dan sepatu canvas? Yang pakai apron kulit? Yo bagus. Penjual parfum, pomade, dan sepatu jadi laku. Aku nonton saja di sini, karena kalau warung kopi seperti Maringopi kan biasa saja. Yang penting, kalau barista itu boleh necis tapi kerjanya tepat. Harus mau bersih-bersih, cuci gelas, dan lain-lain. Jangan Cuma pintar menggambar kopi thok. Baju bagus juga harus punya mental bagus,” jawab Mas Akrom sambil beranjak pergi.

Mas Akrom melanjutkan ngobrol dengan konsumen lain. Saya kembali menyesap kopi dan menghabiskan rokok yang tinggal sebatang ini. Tapi, obrolan saya dengan Mas Akrom ini telah memberi jawaban. Setidaknya, orang Jogja tetap bisa dan boleh ngopi

BACA JUGA Warung Kopi Tanpa WiFi dan Seorang Pakde yang Mau Mendengar Ceritamu menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version