Komunitas pecinta kereta api muncul karena kecintaan anggotanya terhadap moda transportasi kereta. Tak hanya meromantisisasi, mereka tumbuh mengedukasi terkait seluk beluk perkeretaapian.
***
“Saya akan menunggu Bapak di Stasiun Tugu. Kereta api berangkat jam sebelas menuju Purwokerto.”
Kalimat di atas menjadi ikonik sekaligus sentimentil bagi para pecinta kereta api. Kalimat itu merupakan cuplikan dari novel berjudul Kereta Api Terakhir ke Jogjakarta: Roman Revolusi ’45 karangan Pandir Kelana. Novel yang bercerita tentang gagalnya Perjanjian Linggarjati yang berimbas kepada Markas Besar Tentara yang memutuskan menarik kereta ke Yogyakarta.
Di dalamnya bukan hanya kisah perjuangan belaka. Tentu saja roman terselip, narasi romantis perihal suasana di dalam gerbong kereta pun bertaburan dalam halaman demi halaman. Novel yang terbit pada tahun 1981 itu kemudian dibuat film pada tahun yang sama oleh Mochtar Soemodimedjo. Bisa dibilang, novel dan film ini merupakan cikal bakal romantisasi perihal kereta yang berhamburan di jagad media belakangan ini.
Awalnya bisa saja kita berpikir, bagaimana bisa sebuah transportasi menghadirkan suasana romantis. Sesekali, bisa saja tanyakan kepada Adhitia Sofyan, mungkin saja ia bakalan menjawab begini, “Hey cantik, coba kau catat keretaku tiba pukul empat sore.”
Berbicara kecintaan manusia kepada kereta, sejarah tak hanya berhenti mencatat kepada lirik-lirik indah sebuah lagu, juga cerita memikat dalam sebuah novel dan film roman belaka. Di tangan orang-orang dalam Komunitas Edan Sepur dan Semboyan Satoe Community, wujud cinta dan kasih kepada kereta bisa menghadirkan sesuatu yang bermanfaat bagi lingkungan dan juga rasa peduli kepada sesama manusia, tak sekedar romantisisasi.
Komunitas Edan Sepur, bukan sekedar komunitas
Sore itu (4/12/2021) perlintasan kereta Stasiun Kiaracondong, Babakansari, Bandung tidak seperti sore yang biasanya. Beberapa pengendara motor bersitegang dengan relawan Komunitas Edan Sepur yang sedang melakukan kegiatan “Disiplin Perlintasan”. Kegiatan ini rutin dilakukan untuk sosialisasi mematuhi rambu dan palang kereta.
Pengendara tersebut tidak mau dimbau oleh relawan yang bertugas, mereka menerobos traffic cone. Tidak hanya sampai sana, pengendara ini sempat bolak-balik di lokasi dan membawa beberapa kawannya. Kemudian Dishub datang dan mencoba menenangkan, namun pengendara tersebut kian menantang.
Dari yang awalnya satu pengendara, berubah menjadi sekelompok pengendara. Bahkan cekcok dengan Komunitas Edan Sepur itu berakhir adu pukul antara sekeompok pengendara tadi dengan Dishub yang tengah bertugas. Salah seorang petugas Dishub, bahkan sampai dikeroyok oleh sekelompok pengendara tadi.
Dishub yang dikeroyok itu bernama Abdullah Putra Gandhara (25). “Padahal saya pakai seragam. Kami sudah melakukan imbauan secara persuasif,” katanya ketika bercerita kepada Mojok.co tentang kejadian Desember yang lalu. Bandung yang katanya Pidi Baiq banyak melibatkan perasaan, sore itu memang melibatkan banyak perasaan. Bukan perasaan cinta seperti seorang Dilan kepada Milea, melainkan perasaan kaget dan takut karena adu pukul berlangsung cukup lama.
Laki-laki yang akrab disapa Aga ini bukan hanya Operator ATCS Dishub Kota Bandung saja, ia juga merupakan Humas Wilayah 2 Kota Bandung untuk Komunitas Edan Sepur. Perbincangan yang penuh dengan gelisah seputar persoalan pengendara yang bentrok dengan relawan Komunitas Edan Sepur, berakhir dengan bincang hangat seputar komunitas ini.
Komunitas yang berdiri pada 5 Juli 2009 ini awalnya bernama Tim Penelusur Rel Mati. Guna merangkul lebih luas dan melibatkan banyak kalangan, maka namanya berubah menjadi Edan Sepur yang memiliki arti penggila kereta.
Pengeroyokan di perlintasan Stasiun Kiaracondong itu merupakan salah satu risiko dari banyaknya agenda yang dilakukan oleh komunitas ini. Tidak hanya Disiplin Perlitasan, bahkan para relawan sering membantu para pengguna jalan dengan tajuk Jaga Lintas Bersama. Di Bandung sendiri, ada lima titik yang sering dilaksanakan kegiatan, yakni Cimindi, perlintasan Andir, Cikudapateuh, Jalan Laswi, dan Kiaracondong.
Tiap Lebaran dan Nataru, Komunitas Edan Sepur melakukan kegiatan Posko Informasi Angkutan Kereta Api. Menurut Aga, kegiatan ini dilakukan secara rutin. Tidak hanya memberikan informasi perihal jadwal keberangkatan dan kedatangan, komunitas ini mencoba memberikan edukasi perihal mengantre, mendahulukan penumpang yang turun, dan juga aspek keamanan dan ketertiban lainnya.
Bandung dan kereta merupakan kombinasi yang saling melengkapi. Bandung sudah indah, kereta yang hilir mudik dari dan ke dalam Bandung menambah keindahan itu. Aga berpendapat: “Kereta merupakan transportasi massal yang memiliki prioritas utama di Bandung.” Sebab itu lah laki-laki yang kini bertugas di DAOP 2 ini mencintai kereta api.
Ketika hendak menonton Kereta Api Terakhir, film yang diadaptasi dari novel Kereta Api Terakhir ke Jogjakarta: Roman Revolusi ’45, pada bagian awal muncul sebuah tulisan, “Arsip pustaka Komunitas Edan Sepur Indonesia”. Lantas, apa hubungan antara film yang banyak bersetting di dalam kereta dengan Komunitas Edan Sepur?
Aga menjawab rasa penasaran saya. Film buatan tahun 1981 itu sempat direstorasi karena kualitas gambar dan audio sudah banyak yang rusak. “Salah satu yang merestorasi film adalah Kang Egief. Salah satu pendiri komunitas ini,” kata Aga. Menurutnya, film tersebut merupakan bagian dari sejarah perkeretaapian di Indonesia.
Komunitas yang dibentuk di Jatinegara, Jakarta Timur ini kini sudah memiliki 587 anggota yang tersebar di Jabodetabek, Purwakarta, Bandung Raya, dan juga di Cirebon.
Aksi nyata Semboyan Satoe Community
“Untuk saat ini agenda sosialisasi kita undur dulu, Mas,” begitu isi pesan Indrayana, Humas Semboyan Satoe Community. Isi pesan yang tentu saja mengecewakan lantaran saya kadung antusias hendak mengikuti kegiatan Semboyan Satoe Community seharian. Diundurnya kegiatan tersebut alasannya sudah jelas, apalagi jika bukan karena PPKM.
Kegiatan Semboyan Satoe yang ingin saya ikuti adalah sosialisasi pintu perlintasan dan juga bersih-bersih Stasiun Maguwo. Saya sudah membayangkan bertemu dengan para pecinta kereta yang tidak hanya berhenti dalam sebuah imaji belaka, namun sudah melakukan pergerakan dan aksi yang nyata. Namun semua sirna begitu saja. Namun obrolan kami tidak akan pernah sirna.
Dari cerita Indrayana yang berkata bahwa Semboyan Satoe Community pernah bersih-bersih lokomotif di Depo Lokomotif Yogyakarta, jelas membuat saya makin ngumpluk. Semboyan Satoe Community atau akrab disingkat SSC ini juga punya banyak agenda menyenangkan seperti rekreasi. Mulai dari joyride peresmian KA Joglosemarkerto, joyride KA Jaladara, sampai joyride kereta uap di PG. Tasik Madu. Indrayana menambahkan, kegiatan mereka diharap bukan hanya bermanfaat, tapi juga menyenangkan.
Kegiatan Semboyan Satoe Community juga membahas isu-isu sosial. Maraknya aksi pelecehan di dalam kereta juga mengundang Semboyan Satoe Community untuk bersuara. Pada tahun 2021 silam di Stasiun Solobalapan, relawan Semboyan Satoe Community membentangkan banner dan membagikan stiker guna mencegah aksi pelecehan seksual di dalam kereta.
Rush hour yang terjadi di antara Jogja–Solo, memaksa Kereta Prambanan Ekspres atau Prameks (yang kini rute Jogja-Solo sudah digantikan oleh rangkaian KRL) bekerja ekstra. Penumpang yang berdiri dan berdesakkan, membuat rawan terjadi aksi kejahatan seksual di dalam kereta. “Kami juga dibantu kawan-kawan dari Pramekers (pengguna setia Kereta Api Prameks),” jelas Indrayana.
Semboyan Satoe Community bahkan tenaganya dibutuhkan oleh pihak PT. KAI. Dilansir dari HarianJogja, Manajer Humas PT KAI Daop 6 Eko Budiyanto mengatakan, “Kami menggandeng Semboyan Satoe untuk menyampaikan hal ini karena penting untuk dipahami masyarakat.” Permintaan tersebut berkaitan dengan masih adanya kecelakaan di perlintasan.
Dalam obrolan yang menyenangkan bersama Indrayana, hal senada dengan Eko Budiyanto pun keluar dari mulutnya. Menurutnya, sebagian besar perlintasan sebidang di Jogja sudah memenuhi keamanan. “Namun ada beberapa titik yang belum (memenuhi keamanan),” katanya menyayangkan. Indrayana mencontohkan di PJL 734 HOS. Cokroaminoto yang palang pintunya hanya separuh jalan. Lantas di Prambanan dan Kalasan beberapa tanpa palang dan sirine otomatis.
Semboyan Satoe Community lahir di Yogyakarta pada 9 September 2009 dan dibentuk oleh tiga orang, yakni Teguh Imam, Gandung G., dan Nindya. Komunitas ini sudah berbadan hukum pada 2016 silam. Bertempat di Jalan Mataram no. 11, komunitas ini memiliki tujuan sebagai tempat berkumpulnya teman-teman pecinta kereta, khusunya DAOP 6 Yogyakarta dan Solo.
Dalam beberapa karya, kereta adalah pencatat riwayat panjang kesedihan manusia. Entah sudah berapa jumlahnya keturunan Adam dan Hawa yang menitihkan air mata dalam gerbong yang silih datang dan pergi dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Namun, di hadapan Komunitas Edan Sepur dan Semboyan Satoe Community, kereta bukan hanya objek cengeng belaka.
Lebih dari itu, kereta menurut dua komunitas ini adalah transportasi yang mengantarkan manusia. Peduli dengan kereta, berarti peduli juga dengan apa saja yang sudah dilintasi oleh kereta tersebut. Seperti apa yang dikatakan Indrayana dalam obrolan singkat bersama Mojok.co, “Kereta membangun komunikasi dengan lembaga pemerintahan, operator, dan lembaga kemasyarakatan lainnya.”
Reporter: Gusti Aditya
Editor: Purnawan Setyo Adi