Kisah Mistis Watu Manten di JJLS Gunungkidul

Tak Mau Dilewati Pengantin Baru dan Menolak Dibongkar Petugas Proyek

Ada ragam cerita mistis saat pembangunan JJLS di Wonosari. Salah satunya adalah kisah Watu Manten. Batu keramat yang menolak untuk dipindahkan. Berikut ini kisah lengkapnya.

***

Sejak dibuka pada Desember 2021 lalu, Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) di Kabupaten Gunungkidul, mulai ramai dikunjungi. Tidak sedikit para wisatawan luar daerah yang singgah untuk melakukan swa foto di tempat ini. Banyaknya gunung-gunung yang dibelah dan panorama alam indah, ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung.

JJLS sendiri merupakan program Nasional yang melewati lima provinsi yang ada di Pulau Jawa, salah satunya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Yogyakarta. Pembangunan JJLS melewati tiga kabupaten, yakni Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunungkidul. Nantinya, jalan ini akan menjadi akses utama yang menghubungkan kawasan wisata pantai selatan.

Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) yang melintasi Wonosari baru saja dibuka. (Jevi Adhi Nugraha/Mojok.co)

Banyaknya foto yang beredar di media sosial mengenai pemandangan di JJLS, membuat saya penasaran untuk melintas di jalan yang konon menelan anggaran hingga ratusan miliar itu. Minggu (6 Maret 2022), saya berkesempatan untuk  menyusuri sepanjang JJLS di Kecamatan Rongkop, Gunungkidul. Jalan yang terletak sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Wonosari ini menghubungkan Kabupaten Gunungkidul dengan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Di sana, saya disambut kawula muda yang nongkrong di bahu JJLS. Tidak hanya bisa melihat gunung-gunung yang dibelah menjadi dua, di kawasan ini juga ada beberapa warung yang menjajakan berbagai makanan, mulai gorengan, siomay, pop es, dan aneka jajanan lainnya. Seolah kawasan ini telah menjadi destinasi wisata baru di Gunungkidul.

Di balik megahnya proyek JJLS di Gunungkidul, ada cerita mistis dari petugas proyek di ruas Jalan Rongkop-Girisubo, tepatnya di Dusun Semampir, Desa Semugih, Kecamatan Rongkop. Pada September 2019 lalu, petugas kesulitan saat ingin memecah sebongkah batu yang ada di kawasan jalan ini. Bahkan, alat berat yang digunakan untuk memecah batu tersebut dikabarkan mendadak mati.

Usut punya usut, ternyata batu yang susah dipecah itu merupakan petilasan atau batu keramat, yang oleh warga sekitar sering disebut Watu Manten. Kejadian ini menyedot perhatian masyarakat luas. Tidak sedikit warga luar daerah yang penasaran ingin melihat bentuk Watu Manten.

Untuk mengetahui tentang asal-usul Watu Manten, saya diantarkan oleh salah seorang warga ke rumah Mustorejo (76), sesepuh sekaligus juru kunci Watu Manten. Rumah Mbah Mustorejo sendiri tidak terlalu jauh dari lokasi Watu Manten, hanya sekitar 300 meter.

Tidak boleh dilewati pengantin baru

Saat ini, Watu Manten berada di samping bawah benteng jalan, tepatnya di pintu masuk Dusun Semampir, tak jauh dari lokasi sebelumnya. Dulunya, Watu Manten memiliki ketinggian sekitar tiga meter. Namun, setelah dipecah dan dipindah, kini batu keramat itu hanya menyisakan bagian atasnya saja, yang berukuran kurang lebih satu meter.

Di samping Watu Manten ada rumah kecil berukuran sekitar 1×1 meter. Rumah kecil yang memiliki atap berwarna merah itu dibangun untuk tempat tinggal sepasang ayam, jantan dan betina. Sepasang ayam ini pada 2019 lalu, dilepas oleh pihak keraton saat upacara ritual pemindahan Watu Manten. Saat ini, ayam tersebut sudah beranak-pinak dan masih suka berkeliaran di kawasan JJLS Rongkop-Girisubo.

Penampakan Watu Manten. (Jevi Adhi Nugraha/Mojok.co)

Sementara, di atas batu, ada dua pohon jati yang tumbuh dengan tinggi sekitar 4 meter. Kedua pohon itu diikat dengan sebuah tali berwarna hitam, yang mana di bawahnya terdapat sebuah kendil berisi air, minyak wangi, dupa, dan beberapa gelas kaca. Menurut sesepuh dan juru kunci Watu Manten, Mustorejo (76), kedua pohon jati tersebut sudah ada sejak beliau masih kecil.

Kawit kula cilik, ukuran wit jati kalih niku nggih namung semonten, mboten gelem gede ning nggih mboten mati (Sejak kecil, ukuran dua pohon jati itu tetap segitu, tidak mau tumbuh besar, tetapi juga tidak mati),” tutur Mustorejo

Pria yang akrab disapa Mbah Mus itu kemudian menceritakan tentang asal-usul Watu Manten. Konon, dulunya ada sepasang pengantin baru yang usia pernikahannya belum genap lima hari singgah di pinggir jalan. Tiba-tiba terjadi longsor yang membuat pasangan pengantin baru itu tertimpa batu berukuran besar. Mereka masuk ke dalam batu dan tidak bisa diselamatkan.

Menurut cerita Mbah Mus, pengantin baru zaman dulu memang tidak boleh keluar rumah sebelum usia pernikahan genap sepasar (lima hari). Pengantin baru yang belum genap lima hari, tetapi sudah pergi dari rumah dianggap pemali. Hal ini yang kemudian membuat pasangan tersebut mengalami musibah dengan cara tertimpa batu.

Tidak ada yang tahu siapa nama pengantin baru yang tertimpa batu itu. Yang pasti, cerita mengenai Watu Manten di Desa Semugih, sudah beredar luas di kalangan masyarakat Gunungkidul. Bahkan, bagi warga Semugih, batu itu sudah disakralkan sejak dahulu. Mbah Mus sendiri mengaku mendengar kisah Watu Manten dari ayahnya, yang sebelumnya juga pernah menjadi juru kunci Watu Manten.

Mustorejo atau Mbah Mus saat ditemui Mojok di kediamannya. (Jevi Adhi Nugroho/Mojok.co)

Sak derenge kula, juru kunci Watu Manten niku lak bapak kula, Jo Karso, lajeng diturunke teng kula. Gek dereng dangu niki, pun kula pasrahke teng adik ponakan kula, Jakiman (Sebelum saya, juru kunci Watu Manten itu ayah saya, Jo Karso, terus saya diiminta untuk meneruskan. Belum lama ini, saya juga sudah menurunkannya ke adik ponakan saya, Jakiman),” ujar Mbah Mus.

Sampai saat ini, pasangan yang usia perkawinannya belum genap lima hari tidak boleh melintas di sekitar Watu Manten. Konon, jika ada pengantin baru yang nekat melewati jalan di kawasan jalan ini, akan mendapat malapetaka dan usia pernikahannya tidak langgeng. Untuk itu, biasanya masyarakat, khususnya warga Rongkop akan mencari jalan alternatif lain.

Bagi masyarakat luar wilayah yang terpaksa harus melewati jalan itu, biasanya akan memberi beberapa sesaji di dekat Watu Manten. Adapun beberapa sesaji atau barang yang biasa ditaruh di dekat batu itu, antara lain minyak wangi, gelas kaca atau cangkir, telur, uang recehan, kembang, dan jenis sesaji lainnya.

Kisah mistis Watu Manten

Salah satu hal unik terkait Watu Manten adalah adanya dua pohon jati yang tumbuh di dekitarnya, tetapi sejak dahulu ukurannya tidak berubah. Masyarakat percaya, dua pohon jati itu merupakan perwujudan sepasang pengantin tersebut.

Di samping itu, tidak sedikit kejadian mistis yang dialami petugas proyek saat pemindahan Watu Manten. Salah seorang warga yang melihat kejadian tersebut, Sugiyanto (60), menceritakan bahwa para petugas proyek mengalami kesulitan saat ingin memecah batu berukuran sekitar tiga meter itu. Saat hendak digunakan untuk memecah Watu Manten, berulang kali alat berat mati mendadak.

Ilustrasi alat berat saat pembangunan JJLS. (Jevi Adhi Nugraha/Mojok.co)

“Saya denger sendiri dari petugas proyek, katanya pas mau bongkar ada suara tangis di dekat Watu Manten. Saya juga melihat mesin bego (alat berat back hoe) itu, tiba-tiba mati dan tidak bisa memecah batu,” tutur Sugiyanto.

Lantaran tidak bisa dipecah, akhirnya proyek itu sempat terhenti beberapa hari. Kemudian pada 11 September 2019, pemerintah desa dan petugas proyek mendatangkan pihak Keraton Yogyakarta untuk memimpin ritual agar proses pemindahan berjalan lancar. “Orang-orang keraton datang ke sini berpakaian manten kayak pesta pernikahan dan membawa sesaji,” lanjut Sugiyanto.

Pria yang akrab disapa Pak Yanto itu juga melihat sejumlah sesaji yang dihidangkan saat ritual pemindahan Watu Manten. Beberapa sesaji, seperti sepasang ayam kampung, kendil berisi air, sepasang ikan lele, ingkung nasi tumpeng, hingga sepasang baju pengantin dihadirkan saat upacara kenduri berlangsung.

Setelah upacara kenduri dilakukan, akhirnya batu itu berhasil dipecah dan dipindahkan. Pak Yanto sendiri percaya bahwa kendala yang terjadi di kawasan JJLS di kawasan Kecamatan Rongkop ini, ada kaitannya dengan Watu Manten yang sejak dahulu memang dikeramatkan oleh warga sekitar.

Selain Watu Manten, ada beberapa petilasan keramat lainnya yang ada di sekitar jalan ini, yaitu Watu Dukun dan Gua Tritis. Mengenai Watu Dukun sendiri, konon dulunya ada salah seorang dukun yang singgah di tempat ini, lalu tertimpa sebongkah batu dan meninggal dunia. Sayangnya, batu tersebut sekarang sudah tidak ada, karena berhasil dipecah menjadi beberapa bagian saat pembangunan JJLS.

Sementara, Gua Tritis yang berada sekitar 10 meter dari Watu Manten itu merupakan gua yang di dalamnya pernah ditemukan tulang manusia purba. Banyaknya petilasan keramat di kawasan JJLS di Dusun Semampir, membuat sepanjang jalan ini sejak dahulu sudah dikenal angker dan rawan kecelakaan.

Batu keramat Watu Manten di JJLS Wonosari. (Jevi Adhi Nugroho/Mojok.co)

Mbah Mus juga menceritakan bahwa ada warga yang sering melihat penampakan di sekitar Watu Manten. Adapun penampakan yang sering dilihat warga, yaitu sosok bertubuh besar di atas batu dan kuda putih.

Nek kula piambak men mboten nate diweruhi napa-napa, ning nggih katah tiyang sing diweruhi sak klebatan teng mriku. Turene wonten tiyang wadon kalih jaran putih kemrincing (Kalau saya sendiri belum pernah melihat penampakan di batu tersebut, tetapi banyak juga warga yang melihat penampakan di situ (kawasan Watu Manten). Katanya, ada perempuan dan kuda putih,” tutur Mbah Mus.

Biasanya, ketika ada salah seorang warga yang diganggu “penunggu” di sekitar Watu Manten, Mbah Mus diminta untuk njawab (mendoakan) orang tersebut, dengan memberikan beberapa sesaji. Selain itu, tidak sedikit juga warga yang berinisiatif sendiri menabur bunga, beras, telur, dan jenis sesaji lainnya, di dekat batu itu.

Di balik pemindahan Watu Manten

Mbah Mus mengaku senang dengan adanya proyek pelebaran jalan di kampung halamannya. Selain kondisi jalan semakin mulus, tidak sedikit juga warga yang kemudian mendirikan warung makan di sekitar JJLS. Namun, saat saya meminta tanggapannya mengenai pemindahan Watu Manten, tiba-tiba beliau terdiam dan raut wajahnya tampak berubah.

Dengan nada terbata-bata, Mbah Mus menjelanjutkan ceritanya. Beliau merasakan bahwa sebenarnya Watu Manten sendiri tidak mau dipindah, bahkan ‘si perempuan’ konon sampai menangis. Beliau tak heran jika banyak petugas proyek yang merasa takut dan kesulitan saat ingin memindahnya.

Lokasi watu manten sebelum dipindah. (Jevi Adhi Nugraha/Mojok.co)

Mboten purun dipindah, niku sing setri ngantos nangis, Mas. Nanging, nggih tiyang tertentu kemawon sing saget ningali (Tidak mau dipindah, itu yang perempuan sampai menangis, Mas. Tetapi, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihatnya),” tutur Mbah Mus.

Mbah Mus juga menambahkan, setelah pemindahan Watu Manten tidak sedikit warga sekitar yang mendadak sakit. “Katah sanget tiyang sakit sakwise pemindahan watu niku, ning amergi watu niku nopo mboten, sejatine mboten ngerti. Kula mboten saget ngaturke (Banyak sekali orang sakit setelah pemindahan batu itu, tetapi gegara batu itu atau bukan, sejatinya saya tidak tahu),” ujarnya.

Saya pun terkejut saat diberi tahu Mbah Mus bahwa pihaknya sebelumnya tidak diberitahu terlebih dahulu terkait adanya pemindahan Watu Manten. Pria berusia 76 tahun itu hanya diberi kabar bahwa akan ada proyek pelebaran jalan, tetapi tidak tahu jika batu itu akan dipecah, kemudian dipindahkan.

Sejatine, kula lan warga Semampir mboten negrtos nek Watu Manten ajeng dipindah. Nek tiyang Kraton lak namung ngleksanani tugas, lha mestine lak onten sing nyuwun tulung to, nah niku sing kula mboten ngertos (Sejatinya, saya dan warga Semampir tidak diberitahu kalau akan ada pemindahan Watu Manten. Kalau pihak Kraton kan hanya melaksanakan tugas saja. Mungkin, ada orang yang meminta tolong, nah orang yang minta tolong itu yang saya tidak tahu siapa),” ujar Mbah Mus.

Sebagai sesepuh Dusun Semampir, sebenarnya Mbah Mus ingin agar Watu Manten tetap berada di tempat semula. Keinginan ini tidak lepas dari pesan orang tuanya dahulu agar menjaga dan merawat Watu Manten.

Lokasi Watu Manten setelah dipindahkan. (Jevi Adhi Nugraha/Mojok.co)

Nek umpami kula dijak rembakan bab niku, nggih kula pingin watu niku mboten dipindah, gek disisihi mawon. Nanging pripun malih, wong sampun kelampahan to, Mas (Seandainya saya diajak berdiskusi, saya minta Watu Manten tetap berada di situ (tempat semula), tetapi mau bagaimana lagi, sudah terlaksana kan, Mas),” tuturnya.

Meski begitu, Mbah Mus tidak ingin memperpanjang masalah. Beliau hanya bisa berdoa agar semua petugas proyek dan orang-orang yang terlibat pembangunan JJLS di tanah kelahirannya, semua baik-baik saja. Dengan adanya proyek pelebaran jalan ini, beliau juga berharap bisa meningkatkan ekonomi masyarakat.

Sak niki kula pun mboten nyuwun napa-napa, gejobo mung isa ndedonga sedanten sami sae, sing lewat dalan mriku muga-muga sageto teguh rahayu slamet, mboten onten alangan setunggal punapa (Sekarang saya tidak mengharapkan apa-apa, kecuali semua baik-baik saja, semua pengguna jalan di situ (Watu Manten) semoga selamat tanpa ada halangan apa pun),” pungkas Mbah Mus mengakhiri percakapan.

Reporter: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Masjid Tiban Gunungkidul: Masjid Mistis Peninggalan Murid Sunan Pandanaran dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version