Drama Korea The Glory menamatkan cerita 16 episodenya bulan lalu, disambut hangat oleh para penonton yang merasa senasib dengan cerita balas dendam korban bullying, Moon Dong Eun. Dari seliweran kerennya akting para pemain dan jalan cerita yang apik, tak sedikit orang-orang yang ikut bercerita kisah kelamnya menjadi korban perundungan.
Mojok mewawancarai tiga orang yang telah kami samarkan namanya, korban bullying yang mengaku hidupnya tak sama lagi. Ada yang menjadi korban perundungan saat menempuh sekolah dasar (SD), SMP, bahkan TK.
Bentuk perundungannya macam-macam. Mereka mengaku dirundung secara verbal selama bertahun-tahun. Pelaku bullying pernah mengunci di kamar mandi, mengunci di kelas, menampar hingga gigi tanggal, mencubit, menuduh korban mencuri hingga mengucilkan. Meminta paksa buku untuk menyontek, bahkan mendapat pelecehan seksual.
Trigger Warning: Liputan mengandung narasi kekerasan fisik dan seksual serta dapat memicu trauma penyintas perundungan/bullying
Dibully oleh teman sebangku yang iri hati
Lily (29) baru saja pindah sekolah saat mimpi buruk itu terjadi dalam hidupnya. Ia masih kelas 3 SD dan tak mengerti kalau perlakuan yang ia terima adalah perundungan. Di mata orang-orang, ia dan teman sebangkunya bagaikan soulmate. Kenyataannya justru temannya itu yang menjadi pelaku bully hingga Lily kelas 1 SMP.
Sebuah foto Lily kirimkannya melalui obrolan WhatsApp sebagai bukti bullying yang ia terima waktu kecil. Tampak bekas luka dari kuku di kulit dekat jari jempol tangan. Dulu temannya itu suka nyubit sampai luka.
Suatu ketika Lily sedang duduk anteng di bangkunya. Tiba-tiba temannya datang nggak ada angin nggak ada hujan, mencubit paha Lily. Ia pernah menghitung, ada tujuh titik memar akibat cubitan di paha.
Saat itu temannya sedang emosi berat, Lily tak boleh pulang bersama dengan teman-teman yang lain. Harus pulang sendiri. Padahal sekolah Lily letaknya masih di perkampungan asri yang melewati jalan sepi dan hutan. Alhasil dengan luka-luka di paha, ia pun harus menanggung sepinya pulang sekolah seorang diri di tengah hutan.
“Memang kayak di film-film, Teh. Kalau cerita ke orang pasti mikirnya film padahal ini asli,” kata Lily yang kental logat Sunda.
Sebagai peringkat 1, teman Lily sering tak terima kalau nilainya lebih rendah. Jadi, kalau PR Lily dapat nilai bagus, ia langsung rungsing.
“Yuk ke belakang sekolah, katanya. Di situ dia menonjok, mepukul,” terang Lily.
Gigi copot karena sering ditampar
Sudah jadi makanan sehari-hari Lily mendapat perlakuan kasar. Temannya itu sering membawanya ke kamar mandi lalu ditampar berulang kali. Satu gigi di bagian kiri rahangnya tanggal. Sayangnya Lily tak punya keberanian mengadu kepada orang tua maupun guru.
“Kalau dilihat benar-benar, sih, ada bekas memarnya (karena sering dipukul),” ujar perempuan dua anak tersebut. Namun, orang di sekitar Lily tak memerhatikan dengan saksama.
Hubungan Lily dengan teman sebangkunya terdengar seperti love-hate. Temannya itu pernah mengajak ke rumahnya saat kelas 6 SD. Di sana ia melihat dengan mata kepala sendiri si tukang bully yang sehari-harinya punya relasi kuasa di hadapan Lily, diam tak berkutik kala mendapat pemukulan dari ayahnya. Sehingga Lily menduga, perilaku kasar temannya karena pengaruh lingkungan rumah.
Dituduh mencuri uang sekelas sampai tak sekolah berbulan-bulan
Saat kelas 1 SMP, Lily dan teman sebangkunya sama-sama memegang bendahara kelas. Lily punya tugas memegang uang tabungan sekelas dan temannya bertugas pegang catatan. Suatu ketika temannya meminta uang ke Lily dengan alasan akan dibagikan. Namun, oleh temannya malah digunakan untuk kepentingan pribadi tanpa sisa sedikitpun.
Apesnya, Lily dituduh mengambil uang. Di dalam kebingungan, ia terpaksa mencuri uang orang tua buat mengganti.
Kejadian itu membuat Lily tak mau sekolah seminggu. Namun, karena sudah tak tahan menanggung semuanya sendiri, ia akhirnya bercerita kepada orang tua soal perundungan dan tuduhan mencuri. Sang ibu langsung mendatangi sekolah.
Sayangnya, pihak sekolah tak menggubris ini sebagai hal serius. Lily menyayangkan tak ada satu guru pun yang datang padanya untuk sekadar bertanya kondisi. Keadaan yang diharapkan Lily tak pernah datang, semakin terpuruk, ia tak mau sekolah hampir empat bulan lamanya.
“Sempat drop, Teh. Berbulan-bulan aku nggak mau sekolah,” katanya. Akhirnya Lily memutuskan pindah sekolah ke Bogor, tempat yang jauh dari rumahnya di Bandung Barat.
Beberapa tahun berlalu, Lily hanya pernah bertemu sekali dengan perundungnya. Secara kebetulan mereka bertemu di angkot saat Lily masih kuliah. Ia minta maaf pada Lily dan mengatakan perbuatannya itu karena ketidakdewasaan di masa lalu.
Jadi korban bullying sejak TK
Bagi sebagian orang, tak terpikir bagaimana anak-anak Taman Kanak-kanak melakukan bullying. Namun, itulah yang terjadi pada Dahlia (20). Ia ingat betul bagaimana kemudian bertumbuh menjadi orang yang gampang rendah diri karena bertahun-tahun menerima perundungan verbal.
“Ih serem kayak monster,” Dahlia menirukan ejekan teman-teman TK-nya. Bekas luka akibat tersiram air panas yang jadi gara-gara. Umurnya masih satu tahun saat air panas itu meluncur membuat bekas luka di kaki, dada, dan tangan Dahlia. Karena luka-lukanya, Dahlia mendapat ejekan orang jelek dan seram.
Oleh ibu Dahlia, rok seragam diganti dengan celana panjang. Harapannya agar teman-teman Dahlia tak lagi salah fokus pada bekas luka. Namun, ada-ada saja akal buat mencari bahan ejekan. Lain waktu, temannya mengejek Dahlia dengan sebutan kuping gajah karena telinganya tampak lebih besar.
Memasuki sekolah dasar, ejekan soal bekas luka di kaki tak ada lagi. Dahlia masuk ke sekolah agama, sehingga harus mengenakan seragam panjang. Namun, tanpa sebab yang jelas, ia kembali jadi objek perundungan. Ia diejek gendut dan dilabeli ‘sapi’. Perundungny pernah mengunci di kamar mandi.
“Aku nggak ingat persis, tapi saat itu aku pernah dikunci di kamar mandi sama teman dan mereka kayak ketawa-ketawa,” kata Dahlia mengingat momen buruk lainnya. Dahlia hanya bisa teriak-teriak dari dalam tapi temannya malah ngguyu nggak karuan.
“Dia (yang ngunciin) nggak pernah minta maaf, ketemu sekarang pun slow aja, nggak ingat apa-apa. SD 6 tahun kayak di neraka,” keluhnya.
Orang tua Dahlia tak tinggal diam. Ibunya mendatangi sekolah dan menegur orang-orang yang merundung. Sayangnya, perundungan itu hanya berhenti 2-3 minggu sebab di sekolah guru Dahlia tak pernah melakukan aksi nyata yang berdampak. Paling cuma pemberitahuan supaya jangan merundung teman sendiri.
Memasuki SMP, temannya masih megejek gapuak alias gendut. Namun, saat SMA Dahlia sudah bertekad merawat diri dan ia mulai melakukan diet.
Korban bullying fisik dan mental
Amarilis (25) barangkali Moon Dong Eun di dunia nyata. Bedanya ia tak merencanakan aksi balas dendam dramatis seperti Dong Eun di The Glory. Kesamaannya dengan Dong Eun, Amarilis juga seorang guru dan bullying yang ia terima sudah sampai di tahap pelecehan seksual.
Seperti Dong Eun juga, Amarilis anak yang pendiam. Ia menjadi objek kejahilan kakak kelas dan teman sekelas yang bukan jahil biasa. Pelalu bullying pernah menguncinya di kelas saat jam istirahat. Temannya sering menginjak belakang sepatunya, dan mereka juga mengejeknya cadel.
“Aku jadi nggak pede kalau ngomong depan orang atau depan kelas,” katanya.
Prestasi akademik Amarilis bagus, ia masuk 3 besar kelas. Meski pendiam, Amarilis menolak saat temannya yang anggota geng di kelas minta contekan. Tak terima karena kemauan tak menuruti permintaan temannya itu, mereka mengambil buku paket, LKS, dan catatan milik Amarilis kemudian merobeknya.
“Aku udah catat 10 bab dan harus dikumpul besoknya, jadi harus nyalin ulang catatan,” ujar Amarilis. Sedangkan buku LKS-nya ditemukan beberapa hari kemudian di kamar mandi sekolah dalam keadaan basah dan tak bisa ia pakai lagi.
Bentuk bullying lain yang Amarilis terima, tiba-tiba temannya mendorongnya hingga jatuh di sebuah bilah bambu dan mengenai bagian rusuk atasnya.
“Sembuhnya lama karena nyeri dan berbekas sampai sekarang,” terang Amarilis. Saat itu Amarilis kelewat polos mengartikan perlakuan temannya. Ia mengira temannya tak sengaja. Kini setelah ia pikir-pikir lagi, ada unsur kesengajaan.
Jadi korban pelecehan seksual
Parahnya Amarilis tak hanya mendapat perundungan verbal, dorongan, dan pengambilan buku secara paksa. Ia pun menjadi korban pelecehan seksual oleh teman laki-lakinya yang suka mencolek-colek bagian sensitif tubuhnya.
“Tapi nggak tau kenapa saat itu rasanya seperti membeku. Nggak tau mau bilang dan respon apa, nggak tau mengambil tindakan,” ujarnya. Amarilis tak melapor ke guru karena takut mereka tak membelanya. Baginya sama beratnya menghadapi stigma negatif dari orang tua dan guru yang masih merasa tabu membicarakan pelecehan seksual.
Amarilis tak tahu mengapa dulu ia tak menangis, yang jelas Amarilis tak ingin orang tua tahu kondisi yang ia hadapi. Amarilis hanya bertekad untuk lolos di SMA yang ia inginkan.
Kelak ia baru sadar bahwa apa yang ia alami selama ini merupakan bentuk perundungan dan pelecehan seksual. Juga baru menyadari bahwa ia butuh seseorang untuk mencari perlindungan maupun berkeluh kesah.
“Baru-baru ini sadar, setelah booming kasus perundungan dan booming psikologi,” ujarnya.
Orang-orang sekeliling yang diam dan hanya menonton bullying
Ketiga korban bullying yang saya wawancarai mengaku sulit keluar dari lingkaran setan bullying karena ketidakpekaan orang-orang di sekitarnya. Mereka terlanjur takut menghadapi dampak yang lebih parah apabila lapor kepada guru dan orang tua.
Lily misalnya, ia tak menyalahkan orang tuanya secara penuh. Sebab orang tua juga harus membagi perhatian kepada adiknya yang hanya berjarak dua tahun. Namun, tetap saja kealpaan orang tua untuk memerhatikan membuat ia harus merasakan perundungan intens 4,5 tahun lamanya.
Amarilis juga sama, ia mengaku tak dekat dengan orang tua. Pelecehan seksual yang ia alami memang bukan perkara sepele, tapi mengungkapkannya kepada mereka, Amarilis tak ada keberanian.
Di sekolah, di tempat yang harusnya aman untuk belajar. Para pendidik tak memerhatikan dengan betul-betul. Tak ada langkah yang pasti untuk menghentikan perundungan. Di kasus Lily, ia bahkan tak menanyakan mengapa tak mau sekolah meski sudah berbulan-bulan absen.
Kalau di kasus Dahlia dan Amarilis, perundung datang dari teman-teman sekitar. Sedangkan di kasus Lily, teman-temannya adalah penonton setia dari bullying yang dilakukan bertahun-tahun.
“Teman-teman kelas tau aku di-bully. Pernah ada satu yang nanya kenapa aku mau bukunya diambil. Tapi udah sampai situ aja, nggak ada langkah-langkah selanjutnya,” kata Lily.
Efek perundungan bertahan dalam waktu yang lama. Lily, misalnya, akan gemetaran hebat jika ada yang bicara dengan suara keras. Ia pun sulit mendebat bahkan untuk sekadar membela diri dan lebih banyak diam saat berhadapan dengan situasi tegang. Kalau Dahlia mengaku kerap insecure, sedangkan Amarilis jadi nggak pede kalau bicara di depan orang dan cenderung sulit percaya orang lain.
Belum lagi bekas luka di bagian tubuh tertentu akibat perundungan fisik. Sehingga mau tak mau para korban ini harus belajar menerima kisah kelam di masa lalu tiap kali melihat bekasnya.
Balas dendam untuk jadi orang baik
Pascapindah sekolah ke Bogor, Lily merasa angin kebebasan berembus di hidupnya. Meski harus mengulang kelas 1 SMP dari awal, ia tak ambil pusing. Lily memberanikan diri untuk aktif mengikuti lomba dan organisasi.
“Ini titik baru aku, sampai sekarang merasa bebas, nggak ada rasa takut. Nilai pelajaran aku naik, terus sering ikut ini itu,” kata Lily.
Lily mendapat kepercayaan jadi ketua OSIS di sekolah yang baru. Hingga kuliah dia terus aktif mengikuti perlombaan mulai dari debat antar-sekolah, pemilihan duta, sampai jadi finalis Sunsilk Hijab Hunt mewakili Bandung. Saking seringnya ikut lomba, Lily dapat label ‘aktivis lomba’.
Sekarang Lily punya usaha make up artist (MUA) dan dekorasi yang sudah berjalan empat tahun. Team MUA berjumlah 12 orang dan team dekorasi berjumlah 10 orang. Usaha ini merupakan pembuktiannya setelah jadi korban bullying yang tentu saja menyisakan dampak secara fisik dan psikis berkepanjangan. Sebelum sukses di usahanya yang sekarang, Lily pernah jadi guru BK di salah satu sekolah saat ia masih di bangku kuliah.
Di sisi lain, Dahlia kini jadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Jawa Timur. Aktif mengikuti organisasi. Walaupun sesekali dampak psikis seperti mudah insecure datang, ia terus memberi kesadaran pada diri sendiri untuk pelan-pelan keluar dari traumanya.
“Aku berharap bully ini nggak ada lagi. Berharap anak seusiaku nggak pernah merasakan hal yang sama seperti aku. Dampaknya langgeng banget sampai gede,” ujar Dahlia.
Amarilis yang kini jadi guru mengambil nilai baik dari pengalaman di masa lalu. Ia ingin menempatkan dirinya jadi guru yang diharapkan sebagai pengajar dan pendidik.
“Aku lebih terbuka dengan anak-anak, ngajak mereka bicara, tidak langsung menghakimi, dan belajar mendengarkan masalah murid,” pungkasnya.
Pesan khusus dari para korban bullying
“Aku pengen kasih pesan ke semua orang bahwa kepekaan itu penting. Bukan cuma ngomong di media sosial ‘aku peduli’, jangan cuma bilang kasihan. Harusnya samperin mereka, kalau ada yang murung, tanyain. Harus direalisasikan dengan tanya orangnya langsung,” kata Lily.
Ia juga berharap agar para orang tua punya hubungan yang dekat dengan anak. Jadi anak bisa terbuka buat menceritakan yang anaknya alami.
Kalau Amarilis berpesan supaya anak-anak punya kepercayaan diri sekaligus mendapat edukasi agar tidak disakiti apalagi dilecehkan oleh orang lain.
“Jangan mengasingkan diri supaya bisa cerita sama orang lain, cerita aja walaupun pahit dan ceritanya ke tempat yang tepat karena nggak semua orang bisa dipercaya,” ujarnya.
Mereka yang pernah merasakan pahitnya perundungan berharap agar kejadian ini tak terulang pada diri orang lain. Orang tua dan guru yang seharusnya jadi tempat perlindungan harapannya mampu lebih peka dan waspada buat melihat gelagat aneh dari anak-anaknya. Sehingga sekolah tidak lagi jadi momok menakutkan karena suburnya perundungan.
Reporter: Ussy Sara Salim
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Bully yang Dialami Adik Saya dan Surat Cinta Terbuka Untuknya dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.