PKL Teras Malioboro menjalani masa-masa menentukan jelang relokasi kedua mereka. Ada ketakukan tentang lokasi baru sampai potensi pedagang baru atau ‘pedagang siluman’.
***
Di lapak kecil berukuran 120 x 120 centimeter, seorang PKL Teras Malioboro 2, Afifudin (43) sedang bernegosiasi dengan sepasang suami istri yang membawa cucu kecil mereka. Sang cucu, menginginkan mainan mobil-mobilan yang Afif jual.
“Rp30 ribu nggih Pak?” tawar pembeli.
Sambil tetap tersenyum, Afif mencoba menawarkan jalan tengah. Ia menurunkan menjadi Rp35 ribu dari harga awal Rp40 ribu. Akhirnya mereka bersepakat.
Sejak awal 2022 Afif agak merombak dagangannya. Dulu saat masih jadi PKL di trotoar Jalan Malioboro ia lebih banyak menjual pernak-pernik aksesoris untuk wisatawan. Setelah relokasi ke Teras Malioboro 2, ia lebih banyak menjajakan mainan anak-anak.
“Ya aksesoris masih ada tapi di sini kurang laku. Saya akhirnya banyakin mainannya,” kata Afif saat saya temui Rabu (30/8/2023) malam.
Letak lapaknya memang tersembunyi di tengah Teras Malioboro 2. Berdekatan dengan wahana bermain mandi bola. Sehingga menjual barang kesukaan anak-anak jadi salah satu pilihan yang logis.
Afif adalah orang yang sudah lama hidup dari perputaran uang di Jalan Malioboro. Ia mulai berdagang di jalan tersebut sejak 2000 silam.
Lewat lapaknya, Afif bisa menyekolahkan kedua anaknya. Anak pertamanya kini sudah masuk kuliah. Tabungan hidupnya banyak terkumpul saat masih berjualan di sepanjang trotoar.
Sejak pindah ia mengaku mengalami penurunan omzet drastis. Terutama di fase-fase awal relokasi. Beberapa bulan belakangan, menurutnya sirkulasi pembeli perlahan mulai mengalami peningkatan meski belum stabil.
“Tapi di sini (Teras Malioboro 2) kan hanya sementara. Bakalan relokasi lagi dan perlu penyesuaian lagi,” keluhnya.
Tidak mudah untuk mengembalikan omzet penjualan seperti semula. Kepindahan tempat berjualan sejalan dengan penyesuaian baru. Baik untuk PKL Teras Malioboro 2 hingga pengunjung yang datang.
Kekhawatiran pedagang tentang lokasi baru
“Saat ini kami ini ibaratnya baru mulai menata kembali. Pelan-pelan baru mulai hidup kembali dan bernapas,” kata Afif.
Afif mengaku mendukung kebijakan Pemda DIY untuk melakukan penataan. Namun, ia berharap setidaknya nantinya ada jaring pengaman sosial saat mereka baru mulai pindah. Sebab, masa awal kepindahan adalah fase yang berat.
Sejauh ini Pemda DIY telah menyiapkan dua lokasi relokasi pedagang Teras Malioboro 2. Keduanya terletak di Ketandan dengan luas sekitar 3.000 meter persegi dan samping Teras Malioboro 1 seluas 2.000 meter persegi.
Pembangunan tempat relokasi rencananya bakal mulai 2024 mendatang. Targetnya, para pedagang bisa menempati lapak baru mereka sekitar akhir 2024 atau 2025.
Namun, ada kekhawatiran yang berkembang di kalangan pedagang mengenai tempat yang akan mereka tempati. Afif misalnya, ia khawatir karena calon tempat relokasi tergolong tersembunyi. Tidak terlihat dari ruas Jalan Malioboro.
“Lokasinya semakin ndelik. Di sini saja sekarang sudah kerasa pengurangannya,” ujarnya.
Pedagang lain, Nining bercerita kalau ia sudah melakukan survei ke calon tempat relokasi. Ia menaruh perhatian pada lokasi di Ketandan yang selain kecil juga aksesnya masih tertutup dari Jalan Malioboro.
“Denger-denger nantinya akan ada gedung toko yang dibongkar untuk akses masuk dari Jalan Malioboro. Semoga begitu supaya pengunjung bisa mudah mengarah ke lokasi,” harap Nining.
Belum lagi, urusan penataan lokasi. Keterbatasan lahan membuat bangunan kemungkinan besar menggunakan sistem tingkat. Belajar dari situasi di Teras Malioboro 1 saat ini, dengan tiga lantai, keramaian hanya terpusat di lantai pertama.
“Di Teras Malioboro 1 kan yang lantai satu dan dua mati karena sepi,” keluh Nining.
Ketakutan adanya ‘pedagang siluman’ yang semula bukan PKL Teras Malioboro
Pada Juli lalu, PKL Teras Malioboro 2 sempat datang ke Kantor Dinas Kebudayaan DIY untuk meminta kejelasan kontraktual. Hal itu karena mereka menduga ada sejumlah nama yang semula bukan pedagang di lokasi namun terdaftar sebagai calon penerima lapak. Sementara itu, masih banyak pedagang asli yang belum terdaftar.
Saat itu, UPT Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya, Ekwanto sempat membatalkan kontraktual. Ia beranggapan saat itu ada miskomunikasi di kalangan pedagang. Kontraktual adalah upaya penertiban administrasi.
Kendati begitu, hal serupa tetap menjadi kekhawatiran Nining. Sebab, pada relokasi pertama ia menuturkan ada orang yang mendapat lapak padahal sebelumnya bukan PKL di Malioboro.
“Sudah jadi rahasia umum kalau di sini ada lapak tambahan (siluman) hasil dari oknum pengurus kami yang lama,” ujarnya. Ia berharap Pemda DIY dapat membantu memfasilitasi agar lapak dapat tersalurkan bagi mereka yang berhak.
Hal serupa juga jadi kekhawatiran Beni Triono (48). Lelaki ini sudah jadi PKL di Malioboro sejak 1998. Lebih dari dua puluh tahun ia menjual beragam barang bagi wisatawan.
“Pernah jual kaca mata, kerajinan, sampai terakhir ini setelah relokasi jualan daster,” ujarnya.
Beni beranggapan, masa relokasi menjadi krusial karena banyak orang yang memanfaatkan momentum itu untuk mendapat lapak. Ia berharap Pemda DIY harus turun tangan memastikan pembagian lapak sesuai dengan data asli pedagang.
Masuknya pedagang tambahan, menurutnya berdampak pada penataan lapak di lokasi. Satu lapak PKL Teras Malioboro 2 punya luas 120 x 120 cm. Padahal menurutnya, jarak patok bangunan satu dengan yang lain punya jarak 150 cm. Hal itu membuat banyak muka lapak yang tertutup tiang.
Harapan para pedagang
Kondisi itu tentu mengganggu bagi mereka yang berjualan. Beni tak ingin hal serupa terjadi kembali di tempat baru mereka nanti.
“Lokasinya sudah terbatas. Ketambahan orang baru lagi, lapak kami bisa jadi tambah kecil,” keluh Beni.
Beni mengaku pasrah dengan keputusan Pemda DIY. Ia mendukung keputusan jika harus relokasi. Namun, ia punya harapan supaya rencana itu didukung dengan pengaturan berkelanjutan agar tempat baru tetap ramai.
“Kami ditaruh di gang tikus pun nggak masalah asal nanti ada pengaturannya supaya jadi destinasi para wisatawan,” harapnya.
Seperti pedagang lainnya, ada ketakutan apabila jika pembuatan pasar bertingkat. Mereka berkaca dari sepinya lantai atas di Teras Malioboro 1.
“Kalau bertingkat, kami anggap yang atas itu ya neraka bagi penjual. Sepi. Jelas kami takut,” pungkas Beni.
Masa-masa penantian relokasi bagi pedagang adalah momentum krusial. Mereka perlu mempersiapkan tabungan karena kepindahan pasti membawa banyak perubahan. Sementara perubahan itu biasanya berawal dengan masa-masa penuh ketidakpastian.
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Tangis Pedagang Teras Malioboro 2 di Samping Dagangan yang Tak Laku
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News