Perjalanan ke Bromo Nyaris bikin Kecewa karena Kabut Tebal, tapi Terselamatkan berkat Keramahan Warganya 

Kabut tebal yang menyelimuti Gunung Semeru dan anak Gunung Bromo. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Bromo. Gunung berapi aktif di Probolinggo, Jawa Timur ini memang layak mendapatkan penghargaan sebagai taman nasional terindah ketiga di dunia. Namun, untuk mendapatkan pemandangan eksotis yang maksimal, pengunjung harus menemukan waktu yang tepat.

Setidaknya saat musim kemarau atau cuaca cerah sehingga bisa melihat lanskap kaldera, laut pasir, hingga pemandangan matahari terbit yang menakjubkan. Sayangnya, saat kru Mojok datang ke sana untuk outing pada Senin (17/11/2025) subuh, pemandangan Bromo masih terhalang kabut.

“Harusnya sekitar pukul 05.00 WIB, mataharinya sudah muncul. Kelihatan gunungnya,” kata seorang fotografer yang mendampingi kru Mojok dalam perjalanan sejak pukul 03.00 WIB.

Sembari menunggu golden hour yang disarankan fotografer, kami menunggu di spot foto utama Bukit Kingkong. Beberapa jam kemudian, cahaya matahari sayup-sayup terlihat. Warna oranye dari sinar matahari terus menyebar, membentuk garis-garis bertumpuk bak membakar langit.

Namun, cahaya itu tak mampu melawan tebalnya kabut sehingga perlahan-lahan memudar. Bahkan, Gunung Semeru dan anak Gunung Bromo yang sempat terlihat pucuknya ikut menghilang dan hanya nongol sekitar 20 menit.

sunrise di Bromo, Probolinggo. MOJOK.CO
Semburat cahaya matahari pagi di Bromo, Probolinggo. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Pukul 06.30 WIB kami akhirnya turun dari Bukit Kingkong dan melanjutkan perjalanan menggunakan Jeep untuk sarapan. Masih di kawasan pasir Gunung Bromo, kami makan di area terbuka dengan konsep piknik lesehan.

Setelah menikmati sarapan dan asyik berfoto, kami menuju Pura Luhur Poten yang berada dekat dengan lereng kawah Gunung Bromo. Selain melihat Jeep yang terparkir di lautan pasir, beberapa warga juga terlihat menawarkan jasa kuda untuk dinaiki ke kawah. Ada pula lapak-lapak pedagang yang menjual bunga edelweis–bunga endemik yang dilindungi.

Terakhir, kami menuju Padang Savana Bromo atau yang dikenal dengan nama Lembah Jemplang. Lokasinya berada di hamparan rumput hijau sebelah selatan Gunung Bromo, dekat Bukit Teletubbies.

Berbeda dengan pemandangan lautan pasir sebelumnya, Padang Savana Bromo memberikan suasana sejuk dan asri berkat tanaman hijau yang tumbuh subur di sana. Namun, sepanjang kunjungan itu kabut masih terus mengiringi perjalanan kru Mojok hingga Hotel Bawangan.

Sarapan gorengan dan lopis

Esok harinya, Selasa (18/11/2025) pagi, cuaca di Bromo, Probolinggo akhirnya cerah. Kami pun memutuskan jalan-jalan pagi di sekitar permukiman warga. Setelah mencari destinasi di Google Maps, salah satu kru Mojok menemukan spot Gua Kelelawar atau Gua Batman yang dapat dikunjungi.

Dalam perjalanan yang menanjak, kru Mojok tak sengaja bertemu dengan seorang ibu yang membawa bungkusan kain di atas kepalanya. Saya pun mencoba menyapa dan bertanya.

“Ibu nggak capek kah Bu jalan ke atas?” ujar saya basa-basi.

“Oh saya sudah terbiasa Mbak dagang ke atas, jualan gorengan dan lopis. Mau?” tanyanya.

Pedagang lopis dan gorengan di Bromo. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Mendengar kata “gorengan”, telinga kami langsung terangkat bak menemukan harta karun di tengah jalan. Sebab sebelum perjalanan tadi, niat kami memang mencari gorengan untuk sarapan. Tidak tahunya, sang ibu malah menjual tahu isi bihun goreng dan lopis.

Tak terkecuali saya yang langsung tertarik dengan tahu isi bihun goreng, karena selama satu tahun di Jogja saya jarang menemukannya, kecuali tahu isi sayur, ayam, atau bakso. Harganya pun cukup murah yakni Rp1.500 per tahu.

Si ibu langsung memarkirkan bungkusannya di sekitar tembok batu agar ia bisa meracik lopis. Kami pun memesan sekitar 10 tahu isi dan 24 lopis yang seharga Rp1.500 per lopis. Melihat barang dagangannya diborong, si ibu tampak kebingungan menghitung jumlah yang harus dibayar pembeli.

Sampai kemudian kru kami membantu menghitungnya dengan kalkulator di gawai. Hasilnya sekitar Rp51 ribu. Kepala Suku Mojok pun membayarnya seharga Rp55 ribu untuk mentraktir kami semua.

“Terima kasih nggih,” ujar si ibu sembari melanjutkan berjualan di gang-gang kampung Bromo, Probolinggo.

Nggih Bu, atos-atos.” Kata kami.

Bertemu dengan suku Tengger Bromo

Setelah si ibu pergi, kami berhenti sejenak di pinggir jalan untuk memutuskan siapa yang mau balik ke hotel dan siapa yang ingin lanjut. Sebagian dari kami pun memutuskan untuk lanjut menuju Gua Batman.

Namun, salah satu kru kami yang bertugas sebagai penunjuk arah sedikit kebingungan, hingga akhirnya kami bertemu dengan salah satu warga yang baru saja memetik sayur di kebun. Saat kami berpapasan dan bertanya soal arah, ibu itu menjelaskannya dengan ramah.

Warga Suku Tengger (kanan) membawa sayuran dan menunjukkan arah Gua Batman. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Ia pun menyuruh kami melewati gang-gang rumah yang ternyata searah dengan tempat tinggalnya. Sembari berjalan kaki, ia menunjuk rumahnya yang berwarna kuning. Lalu bercerita soal latar belakang keluarganya. 

“Saya asli sini, Suku Tengger Bromo. Kebanyakan rumah-rumah di atas ini sudah beragama Hindu. Nah, batasnya sekolah tadi, itu sudah banyak yang Islam. Nah samping kanan-kiri rumah saya ini punya saudara saya,” cerita dia.

“Boleh kalau mau mampir, ayok! Kita besok ada persiapan galungan di atas Rabu (19/11/2025),” lanjutnya.

Namun, karena waktu yang terbatas, saya pun tak bisa menerima ajakannya. Saya hanya bisa berterima kasih karena ia mau menunjukkan arah dan menawarkan mampir ke rumahnya. Kami pun hanya berpamitan ketika dia masuk ke rumah.

Mendadak beralih jadi tukang ojek di bukit

Sekitar 20 menit kemudian, kami akhirnya tiba kurang dari 150 meter di Gua Batman. Di titik itu, jalan setapak semakin curam. Nyaris tak ada pembeda dengan kebun warga. Sekitar 50 meter dari Gua Batman, kami pun mengalami kendala saat turun. 

Beberapa kru Mojok yang sudah berada tepat di mulut gua menyarankan kami yang berada di atas agar tidak turun karena jalan terlalu curam dan dekat sekali dengan jurang. Dari atas saja, kelelawar-kelelawar sudah terlihat. Batang bambu yang membentang juga tampak dilewati oleh beberapa monyet. 

Akhirnya, kami memutuskan kembali ke hotel. Saat berada di titik papan bertuliskan 150 meter tadi, kami tak sengaja bertemu dengan sepasang suami istri yang baru saja ngarit rumput untuk pakan ternaknya.

Sida (30) menawarkan jasa ojek di bukit. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Mendengar keluh kesah kami, mereka pun menawarkan jasa ojek sehingga kami tak terlalu kepayahan menuju atas. Lima orang dari kami pun tertarik, tapi hanya empat orang yang bisa naik sebab hanya ada dua motor.

Setelah berunding, saya dan satu orang kru perempuan lainnya naik ke motor Honda milik Sida (30). Sementara dua orang laki-laki lainnya naik motor suami Sida. Kami harus menunggu beberapa menit saat Sida dan suaminya menurunkan rumput-rumput yang sudah mereka ikat di atas motor.

“Saya sebetulnya tadi cuman ngarit buat pakan sapi dan kambing. Kalau suami saya biasa jualan bunga edelweis di Bromo,” cerita Sida di perjalanan.

Melihat kami yang kesusahan, ia pun melihat peluang dengan menawarkan jasa ojek seharga Rp50 ribu untuk dua orang penumpang. Toh, perjalanan dari Gua Batman ke Hotel Bawangan sebenarnya dekat kalau menggunakan sepeda motor.

“Motor (Honda modifikasi) saya ini sudah lama sekali, turun-temurun. Orang-orang sini nggak berani pakai matic,” jawab Sida saat saya bertanya soal larangan menggunakan motor matic yang saya lihat di banner jalan, “takut mogok.” Jelas warga Bromo, Probolinggo tersebut.

Tak lama kemudian, kami akhirnya tiba di hotel dan membayar uang Rp50 ribu sebagai ongkos mengantar. Untuk kenang-kenangan, saya meminta izin memfoto Sida. Dengan senang hati, ia pun berpose bersama motornya lalu kembali mengambil rumput di atas.

Selama satu hari itu, saya tak menyangka bisa bertemu dengan orang-orang baik di Bromo, Probolinggo. Bahkan di sepanjang perjalanan tadi, kami tak henti-hentinya menyambut sapaan dari warga sekitar yang sekadar nongkrong atau menyapu di teras rumah.

Pinarak-pinarak, (mampir, mampir),” kata salah satu warga Bromo, Probolinggo.

Nggih, monggo. Matur nawun, (mari, terima kasih),” ucap kami.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Sedihnya Gagal Ikut Study Tour karena Orang Tua Tak Sanggup Bayar Iuran: Gagal ke Jogja, WBL, hingga Bromo Terkenang sampai Dewasa atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan 

Exit mobile version