Keliling Jualan dengan Sepeda ala Pak Jo

Pak Jo dan sepeda onthel andalannya

Pak Jo dan sepeda onthel andalannya

Pak Tukijo (68) atau akrab dipanggil Pak Jo oleh orang-orang yang mengenalnya. Sejak akhir tahun 90-an, setia dengan sepeda onthelnya menjajakan dagangan dari kampung ke kampung.

Saya mengenalnya sejak kecil. Suaranya sangat saya tunggu-tunggu. “Ketan bubuk..ketan bubuk,,” teriak Pak Jo yang kemudian diikuti suara, “toet, toet..toet” dari klakson yang selalu jadi ciri khasnya. Alat ini berbentuk terompet kecil dengan karet di bagian belakang yang jika ditekan akan mengeluarkan suara khas.

Saya bertamu ke rumah Pak Jo yang lokasinya tak jauh dari rumah saya. Rumahnya sederhana dengan pintu berwarna cokelat tua. Lantai rumahnya dari semen.

Setiap hari, mulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul satu siang, Pak Jo menghabiskan waktunya untuk pergi berjualan makanan. Berkeliling dari satu jalan menuju jalan lainnya, hingga seluruh perkampungan dan perumahan di Desa Sidoarum, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman dan beberapa desa di sekitarnya, ia datangi. Terkadang sepeda onthelny dinaiki, namun tak jarang juga sepeda itu hanya dituntun.

Namun, ketika ditanya sejak kapan memulai pekerjaan itu, ia mengaku lupa. Sedangkan anaknya mengatakan, sejak Pak Jo berusia tiga puluh tahun. Artinya ia berjualan sejak tahun 90-an. “Ditulis saja mulai tahun dua ribu mbak,” ujarnya.

Matanya masih menerawang. Katanya, saat itu masih belum banyak penjual makanan seperti dirinya. Bahkan yang menjual makanan sembari berkeliling baru Pak Jo saja. Tidak hanya makanan, ia juga membawa minuman, sayuran, dan buah-buahan.

Berjualan dengan cara keliling menggunakan sepeda onthel merupakan ide Pak Jo sendiri. Menurutnya, berjualan keliling menggunakan sepeda merupakan pekerjaan yang bebas dan dapat membuat hati menjadi senang. Sebelumnya, ia pernah menjadi pelayan toko, tukang laden, dan menukang. Namun, berjualan keliling yang akhirnya menjadi pilihannya karena hasilnya lebih menjanjikan. Terbukti, dengan berjualan keliling, Pak Jo bisa membiayai dua anaknya hingga lulus kuliah dan bekerja.

Dukungan dari keluarga terus dirasakannya. Bekerja sebagai pedagang keliling juga bentuk tanggung jawab Pak Jo sebagai kepala keluarga. Tinggal di rumah bersama anak dan cucunya, Pak Jo selalu punya rencana dalam melakukan sesuatu. Termasuk punya dua anak, itu juga ia rencanakan. “Dua anak saja sudah cukup, tergantung dengan kemampuannya, dan yang terpenting tidak menelantarkan anak,” kata kakek satu cucu yang berusia 5 tahun.

Alasan masih menggunakan sepeda onthel

Saat ini, disaat penjaja makanan lain memilih menggunakan sepeda motor. Pak Jo tetap bertahan menggunakan sepeda. Bukan karena tidak ada sepeda motor. Melainkan, ia percaya, ketika menjajakan dengan sepeda akan membutuhkan waktu yang lebih lama, sehingga lebih diperhatikan oleh pembeli. “Kalau sepeda motor itu kan jalannya cepat, takutnya yang mau beli tertinggal. Selain itu jika dituntun juga lebih berat,” jelasnya sembari menunjuk ke arah sepeda dan sepeda motornya berada.

Menurut Pak Jo, berjualan dengan sepeda itu menghemat biaya. Pasalnya, sepeda tidak memerlukan bahan bakar dan hanya butuh tenaga saja. “Berjualan dengan sepeda itu teknik, dan memang kita juga harus telaten,” tambahnya.

Sepeda yang biasa digunakan oleh Pak Jo untuk berkeliling itu belum pernah ganti. Di beli sejak dua puluh satu tahun yang lalu, sepeda itu masih setia menemaninya menawarkan dagangannya untuk menghidupi anak dan istrinya. “Dulu sepeda ini saya beli dari tetangga, harganya lima belas ribu rupiah saja, coba dibanding sekarang, harga dua belas ribu ya nggak mungkin dapat sepeda,” ucap Pak Jo sembari terkekeh.

Di kursi yang terbuat dari anyaman bambu ini, memori saya kembali terlempar ke masa kecil. ”Pak, kalau belnya yang toet-toet itu masih?” tanya saya mencari-cari. Pak Jo pun mengajak saya mendekat ke sepedanya. Ia menunjukkan sebuah corong besi yang dibelakangnya terdapat bulatan hitam. Pak Jo kemudian menyuruh saya menekan bulatan hitam. “Toet,” benar itu bel yang saya cari. Bukan tanpa makna, bel itu rupanya digunakan Pak Jo agar menjadi ciri khasnya selama berjualan keliling.

Saya pun mencoba mengamati sepeda Pak Jo. Tidak ada yang berubah sejak saya kecil hingga sekarang ini. Hanya saja, kotak besi yang dahulu selalu dibawa berkeliling, berubah menjadi kotak plastik dengan tutup hijau. Kata Pak Jo, terlalu berat jika masih terus menggunakan kotak yang besi sehingga tidak dapat menghemat tenaga.

Pasalnya, dagangan yang dibawanya sudah tidak terlalu banyak. Selain itu, usia yang semakin tua membuat lututnya sering terasa sakit karena kelelahan. Itulah sebabnya, Pak Jo sering bergantian dengan istrinya untuk berjualan keliling.

Jeli mengamati minat pembeli

Setiap subuh, selepas salat, Pak Jo akan pergi ke Pasar Gamping bersama istrinya menggunakan sepeda motor. Tujuannya untuk berbelanja makanan, minuman, sayur, dan buah yang akan dijual. Biasanya, Pak Jo akan memilih dagangan yang tidak cepat basi. “Contohnya makanan plastikan ini, bisa bertahan dua sampai tiga hari,” ungkap Pak Jo menunjukkan beberapa makanan plastikan yang masih ada dalam kotak plastik di atas sepedanya.

Sepeda onthel yang selalu digunakan Pak Jo untuk jualan. Foto oleh Brigitta A/Mojok.co

Bukan hanya makanan plastikan yang ada di dalam kotak plastik itu, ada pula sayur dan buah sisa berjualan tadi pagi. “Tadi pagi bawa sayur bayem dan sawi hijau satu unting masih, pisang kepok satu lirang juga belum laku, susah kalau sekarang ini,” ungkap Bu Siti, istri Pak Jo yang kemudian duduk di sebelah saya.

Karena itulah, Pak Jo kerap hanya membawa sedikit barang dagangan sembari mengamati minat pembeli. Menurut Pak Jo, dagangan itu tidak harus tetap setiap harinya, bisa berganti-ganti, yang penting dapat laku terjual. Meskipun demikian, Pak Jo mengatakan dirinya tidak bisa memaksakan untuk semua dagangannya habis setiap hari. “Manusia hanya berusaha, Tuhan yang menentukan, jadi tidak apa-apa jika masih ada yang belum laku,” ungkap Pak Jo sembari tersenyum.

“Jeruk satu kilo hanya laku setengah kilo, nanas membawa satu juga belum laku, memang tidak tentu, tapi supaya lengkap,” tambah Bu Siti. Biasanya makanan yang tidak terjual bisa dimakan, sayur yang tidak laku akan di masak sendiri, jika memang masih memungkinkan akan diolah menjadi sayur matang dan kembali dibawa berkeliling. Kata Pak Jo, semua memang harus direncanakan agar tetap mendapatkan untung dari berjualan.

Pak Jo merasakan, semakin hari pendapatannya semakin menurun. “Sekarang ini banyak orang yang berdagang, persaingan ketat,” ungkap Pak Jo. Dahulu, ia dan istrinya membuka warung yang berjualan sayur di rumahnya. Namun, akhirnya tutup karena tidak laku. Menurut Pak Jo, untuk mempertahankan usaha di tengah persaingan yang ketat adalah hal yang sulit, ditambah dengan masa Pandemi Covid-19.

Jualan online menjadi tantangan berat bagi Pak Jo. Namun, harus bagaimana lagi, usia yang sudah semakin tua membuatnya tidak terlalu menguasai teknologi. “Kalau sekarang biasanya hanya menawarkan ke pembeli mau titip apa, misalnya titip ayam potong, nanti dicarikan kemudian diantarkan,” ungkap Pak Jo sembari menoleh pada istrinya. Pak Jo dan keluarganya memiliki sediaan ayam hidup jika sewaktu-waktu ada tetaangganya yang beli.

Selain itu, yang dicari oleh pembeli adalah getuk, makanan ringan dengan bahan utama ketela atau singkong. Harga dagangan yang dijual Pak Jo cukup merakyat. Seperti getuk, tiwul, dan ketan bubuk dijual dengan harga dua ribu per biji. Sedangkan tempe bungkus dijual lima ratus perak per biji.

Tak peduli cuaca, Pak Jo tetap jualan

Berjualan keliling tidak seperti bekerja di kantor yang memiliki gaji tetap setiap bulannya. Kata Pak Jo, pendapatan dari berjualan keliling tidak tentu jumlahnya. “Kadang laku, kadang enggak, tapi ya tetap dapat meskipun sedikit, harus dapat,” jelas Pak Jo.

Bagi Pak Jo, tidak ada duka yang saat berjualan keliling. Bahkan ia selalu bersyukur karena masih terus diberikan kesehatan. Tak peduli cuaca hujan, Pak Jo tetap berkeliling dengan sepedanya untuk menjajakan dagangan. Panas tak pernah dihiraukan. “Jualan adalah tugas, saya jaga agar tidak sampai bolong, agar tetap ada pemasukan.”

Ketika berjualan keliling, biasanya ada beberapa anak yang menirukan ucapan Pak Jo, seperti ikut berteriak, “ketan bubuk, ketan bubuk,” sembari keluar dari dalam rumah masing-masing. Namun, hal itu dianggapnya sebagai ucapan semangat. Kata Pak Jo, ada pula suara orang dewasa yang teriak, “Makan sendiri, makan sendiri,” namun hal itu juga tidak pernah diambil hati oleh Pak Jo.

Pandangan Pak Jo kembali menerawang. Ia kemudian bercerita bahwa dahulu, beberapa warga di sekitarnya yang biasa membuat kue dan makanan ringan, sering titip untuk dijualkan. Sayang, semakin hari, titipan-titipan itu semakin sulit terjual. Pasalnya, meski rasanya enak, namun beberapa makanan kurang cocok di lidah pembeli. Karena tidak habis terjual, warga yang biasanya menitip kemudian enggan untuk menitip lagi. Alhasil, sudah lima tahun lebih, Pak Jo tidak menerima titipan untuk dijualkan lagi. Ia lebih banyak membeli makanan dari pasar.

Salah satu warga yang menitipkan makanan ke Pak Jo adalah Bu Dewi. Saat saya bertemu, Bu Dewi sedang berada di teras rumahnya sembari menata tanaman keladi. Bu Dewi adalah pembuat kue bolu kukus.

“Dulu mulai titip sekitar tahun 1998,” ucap Bu Dewi. Rupanya, Bu Dewi mengungkapkan Pak Jo sudah mulai berjualan sebelum tahun dua ribu, namun ia juga sudah lupa tepatnya. Selain kue bolu kukus, Bu Dewi juga menitipkan agar-agar cup dan kue bolu pelangi. Makanan-makanan itu dititipkan bergantian, sekitar sepuluh sampai dua puluh biji sekali titip.

Menurut Bu Dewi, titip di Pak Jo menguntungkan, karena ia sering kali mendapatkan pesanan melalui Pak Jo. Bu Dewi akhirnya berhenti titip pada tahun 2010. Bu Dewi memilih untuk menerima pesanan langsung di rumahnya saja.

Di Masa Pandemi Covid-19, Pak Jo selalu memperhatikan protokol kesehatan saat berjualan. Ia selalu menggunakan masker dan membersihkan tubuh setelah pulang dari berjualan keliling. Sayangnya, sampai saat saya datang, ia mengakui belum mendapatkan jatah vaksin dari pemerintah. “Tidak apa-apa Mbak, yang terpenting saya tetap mendukung usaha dari pemerintah dengan menggunakan protokol kesehatan.”

Pak Jo masih terus berkeliling setiap pagi. Bahkan di bulan Ramadan ini, ia juga memilih untuk berjualan di pagi hari. Udara pagi hari lebih sejuk dan tenaganya juga masih segar. Berbeda dengan berjualan keliling di sore hari yang tentu juga banyak penjaja takjil lain dan sudah terlalu lelah dengan aktivitas pagi hari.

BACA JUGA  Jasa Info Kos, Merepotkan atau Memudahkan? dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version