Suasana di bawah jembatan layang Janti kini sepi. Padahal dulunya kawasan ini merupakan sentra kuliner kaki lima yang ramai penunjung. Mengapa bisa terjadi?
***
Sore itu, Sabtu (26/02/2022), matahari belum sepenuhnya tenggelam saat para pedagang bersiap mengadu nasib di bawah jembatan layang Janti. Mereka mengeluarkan gerobak dari lahan kosong, 100 meter di pinggir rel kereta api. Para pedagang berbagi jalan dengan karyawan yang baru saja pulang kerja dan warga yang kembali ke rumah untuk berkumpul bersama keluarga.
Di trotoar, tikar sudah tertata rapi. Ketika langit mulai gelap, para pedagang mengeluarkan peralatan memasak. Kawasan bawah Jembatan Layang Janti berubah menjadi bilik-bilik warung terpisah kain. Beberapa Kendaraan mulai menepi. Tawa muda-mudi mulai terdengar bersahutan. Beberapa memadu kasih, beberapa datang sendiri. Di bawah lampu-lampu kecil temaram, suara klakson kereta api mengaung memecah malam. Inilah, sepenggal kehidupan malam di bawah jembatan layang Janti.
Sentra kuliner kaki lima
Pecel Lele Indra Rasa, begitu sebutnya. Warung itu mulai berjualan sejak tahun 1990. Indra (50), si pemilik, menikah dan memboyong istrinya merantau ke Yogya setelah tamat SMA. Janti adalah lokasi ketiga setelah 2 kali berpindah tempat.
Bersamaan dengan itu, sekitar tahun 2001, dibangun jembatan layang pertama di Yogya yang menghubungkan Jalan Yogya-Solo dengan Jalan Lingkar Selatan. Setelah pembangunan selesai, muncul wacana pembuatan taman kota di lahan kosong bawah jembatan. Alih-alih disetujui, rencana itu ditentang warga karena takut menjadi sarana tindak asusila dan kriminal. Maka, sebagai jalan tengah, diputuskanlah menjadi sentra kuliner pada tahun 2005.
Indra turut mengalami proses itu. Pecel Lele beratap terpal oranye itu sudah ada jauh sebelum diputuskan menjadi sentra kuliner. Dalam ingatannya, sentra kuliner diprioritaskan bagi warga asli Janti. “Saya pendatang dari Lamongan, Jawa Timur,” ungkapnya. Ia lalu menghadap kepala dukuh dan meminta izin untuk ikut berjualan. Karena merupakan penjual pertama, Indra dan seorang teman sesama pedagang pecel lele boleh bergabung lalu mendapat lapak di samping pilar.
Saat masa awal buka, makanan yang dijual di sentra kuliner beragam. Ada bakso, nasi goreng, dan bakmi. Mereka pun memiliki kesepakatan untuk tidak menjual makanan yang sama dengan pedagang lain. Namun, hal itu batal lantaran pembeli lebih suka pecel lele. Satu per satu pedagang meminta izin ikut berjualan pecel lele. Belakangan, sentra kuliner ini pun tampak lebih layak disebut sebagai sentra pecel lele.
Pandangan Indra menerawang. Tiga puluh tahun hidup di Yogya, tak sekalipun terbersit untuk menetap sampai tua. “Saya membeli aset di desa berupa rumah dan sawah,” ungkap ayah dua anak ini. Setelah anaknya tamat perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang layak, ia akan kembali ke desa, memulai hidup baru, dan mengakhiri perjalanannya berjualan pecel lele. Ia tak ingin terus mengumpulkan harta, ia sudah rindu ketenangan hati.
Berbicara soal pedagang pecel lele di bawah jembatan layang Janti, hampir seluruhnya berasal dari Desa Primpen di Lamongan, Jawa Timur. Bahkan, beberapa masih memiliki ikatan saudara. “Yang sebelah rel itu adik kandung saya. Kalau yang di puteran dekat rel, tetangga depan rumah. Lalu di samping kiri keponakan. Dan paling utara sana juga adik kandung,” ungkap Indra sembari menunjuk lapak yang dimaksud.
Dari pengalaman Indra, berdagang pecel lele lebih menguntungkan dibanding menjadi petani. Setiap malam, ia bisa membawa pulang pundi rupiah. Tidak seperti petani yang menurutnya hanya mendapatkan uang di masa panen. Karena itu, ia sering menawarkan lapak di bawah Jembatan Layang Janti pada saudara dan tetangganya yang ingin berjualan pecel lele di Yogya.
Menurut Paguyuban Pedagang Kaki Lima Bawah Jembatan Layang Janti, tidak ada praktik jual beli lapak di sini. Ini juga diperkuat dengan peraturan dukuh yang menyebutkan warga bebas berjualan asal menjaga kebersihan. Jika ada yang tidak berjualan selama tiga bulan, maka boleh digantikan pedagang lainnya. Indra membenarkan hal itu. Selama berjualan di bawah jembatan layang Janti, ia tidak pernah dipungut biaya sewa. “Paling hanya dua ribu untuk kas saja,” ungkap pria yang menjabat sebagai bendahara paguyuban. Namun hal itu tidak terjadi pada 2 rekan Indra.
Madio (65), pemilik angkringan di utara rel kereta api mengatakan ketika mulai berjualan pada 2016, ia diwajibkan membayar sewa sebesar lima ratus ribu. Begitu pun dengan Thole (40), warga asli Janti yang turut meramaikan sentra kuliner bersama para pendatang. Pemilik Pecel Lele Pak Thole ini mulai berjualan tahun 2018. Saat itu, ia juga harus membayar sewa sebesar tiga juta kepada pemilik lapak sebelumnya.
Kehidupan jalanan
Sejak sebelum dibangun jembatan layang Janti, kawasan ini menjadi daerah hitam karena banyak kejahatan jalanan. Pun ketika menjadi sentra kuliner, tempat ini menyimpan kejadian yang tak sekedar pemuas rasa lapar. Indra dan Thole, kedua pedagang pecel lele ini pernah mengalami masa kelam di jalanan.
Kembali ke tahun 2000, Indra kerap didatangi laki-laki muda yang meminta uang dengan paksa. Selama dua tahun, uang hasil berjualan pun ludes. Bahkan, ia kerap diganggu remaja mabuk. Mau tak mau, Ia melakukan mediasi dan mengajak preman serta remaja mabuk itu berbincang. Tak disangka, mereka menjadi akrab dan pergi, tak pernah mengganggu lagi.
Hal berbeda disampaikan Thole, ketika awal berubah dagangan dari nasi goreng seafood menjadi pecel lele, ia pernah merasakan pengalaman pahit berjualan di wilayah ini. “Waktu itu ada anak rantau yang beli ayam goreng,” ungkapnya. Setelah dibuatkan dan dimakan, anak laki-laki dengan baju denim itu mengatakan akan membayar keesokan hari. Namun nyatanya, hilir mudik anak rantau itu di hadapan Thole menjajal pecel, namun tak pernah kembali untuk membayar.
Di mata seorang kakek bernama Suwarno (65) yang menjadi juru parkir sejak tahun 2005, bawah jembatan layang Janti menyimpan cerita. Laki-laki tua yang sering dikira preman itu tampak sedang menata kendaraan yang terparkir di depan deretan pecel lele. Suwarno tertawa hambar ketika mengingat pahit dan manisnya berada di jalanan.
Suatu kali, ia sedang duduk di trotoar, menunggu motor dan mobil yang terparkir. Tiba-tiba suara teriakan keras membuatnya beranjak. Banyak orang berlari menuju selatan. Rupanya, seorang pejalan kaki tertabrak kereta. Bahkan setelahnya, beberapa kali ia menyaksikan potongan-potongan tubuh yang berserakan akibat bunuh diri di rel kereta api.
Ada pula tragedi berdarah. Tahun 2017, mahasiswi penjual angkringan dibunuh di tempat ia biasa berjualan. Menurut mantan kernet bus ternama ini, penyebabnya laki-laki muda yang gelap mata karena tidak boleh pinjam uang pada si penjual angkringan.
Selain itu, dinamika juga terjadi di ranah persaingan usaha. Mulai dari persaingan masuk akal hingga persaingan berbau mistis. Thole misalnya, pedagang yang paling terakhir menjual pecel lele ini mengakui beberapa warung merasa saingan usahanya memasang jimat-jimat tertentu. Ia juga pernah mendengar kecurigaan warung lain yang selalu sepi dan menuduh ada orang memasang mahkluk gaib di sana.
Persaingan semakin rumit ketika para pedagang di sini menjual jenis makanan yang sama. Ini, kata Thole, mudah memunculkan sikap iri ketika melihat warung rekannya ramai atau saat warungnya menjadi yang paling ramai. Karena itu, dibuatlah kebijakan Paguyuban Pedagang Kaki Lima Bawah Jembatan Layang Janti tentang standar harga makanan.
Beberapa kisah manis juga diceritakan Suwarno, ketika ia diajak makan bersama oleh beberapa pembeli dan juga pedagang. Ataupun ketika mendapatkan uang lebih dari menjaga motor dan mobil di bahu jalan. Dari bawah Jembatan Layang Janti, Suwarno menggantungkan hidupnya. Setelah dipotong pajak dua puluh persen, ia mendapatkan uang sebesar 11.000-50.000 per hari untuk menyambung hidup tanpa perlu merepotkan tiga anaknya.
Penutupan perlintasan kereta
Akhir tahun 2017, perlintasan kereta api di bawah jembatan layang Janti ditutup. Saat itu, Suwarno kira hanya untuk uji coba. Nyatanya, tidak pernah dibuka lagi sampai sekarang.
Akibat penutupan perlintasan kereta, hanya tersisa satu warung pecel lele di sebelah selatan rel. Dulu, sisi selatan ramai, namun kini semua gulung tikar dan menyisakan kolong gelap tanpa penghuni. Menurut Suwarno, alasan lain sebelah utara masih ada pembeli dikarenakan akses dari lampu merah Jalan Yogya-Solo yang cenderung ramai.
Kakek asal Gunung Kidul itu menambahkan bahwa di bawah jembatan layang Janti sudah seperti jalan mati. Yang melintas hanya yang tidak tahu jika perlintasan kereta api sudah ditutup. Misalnya saja pada 2020, ketika anak muda bertengkar dan kejar-kejaran masuk di bawah jembatan sisi utara. Anak muda itu tidak tahu bahwa perlintasan kereta api sudah ditutup. Alhasil mereka tawuran di pinggir rel kereta api.
Hal itu ditegaskan oleh seorang wanita bernama Resti (34), pemilik Pecel Lele Roso Sejati yang berjualan sejak 2012. Menurutnya, dahulu pembeli sentra kuliner ini adalah mereka yang sedang melintas, misalnya saja ke mau ke Blok O atau ke Jalan Wonosari. “Tapi kalau sekarang harus nglegakke,” ungkapnya.
Pasalnya, akses jalan menuju Banguntapan, Bantul, sekarang hanya bisa ditempuh melalui atas jembatan layang Janti. Pelanggan dari luar kota, seperti Solo, Magelang, dan Klaten pun menjadi malas jika harus menempuh akses yang sulit untuk menikmati pecel lele. Para pedagang sentra kuliner akhirnya kelimpungan karena pembeli yang berkurang mengakibatkan menurunnya pendapatan mereka.
Saat ini, pembeli pecel lele didominasi oleh mahasiswa karena letaknya dekat kampus-kampus besar. Meski demikian, Resti mengungkapkan pendapatan pedagang menurun lima puluh persen. Ditambah pada tahun 2020, Pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia dan diberlakukannya jam malam. “Kuncinya tinggal telaten,” ungkap Resti sendu.
Jika dahulu di bawah Jembatan Layang Janti penuh oleh warung, kini hanya tersisa 22 warung saja. Itu pun tidak setiap malam semuanya aktif berjualan. Terkadang hanya menyisakan lapak kosong dengan kain memanjang dan tikar yang lupa digulung. Masih teringat di benak Resti, sulitnya untuk masuk menjadi pedagang di bawah jembatan layang Janti. Kini hanya sedikit pedagang dan pembeli yang bisa dihitung dengan jari.
Tak terasa jam sudah menunjukkan tepat pukul dua belas malam. Para pedagang membersihkan lapaknya. Mereka kembali ke rumah setelah tujuh jam berjualan. Begitu pula dengan akhir perjalanan saya menyusuri bawah jembatan layang Janti, penghubung dua kabupaten, Sleman dan Bantul, sekaligus kawasan kuliner yang dulu ramai.
Reporter: Brigitta Adelia
Editor: Purnawan Setyo Adi