Selama ini, orang dengan penyandang disabilitas masih mendapat stigma buruk dari masyarakat. Mereka dianggap bodoh, tidak bisa apa-apa, dan kurang mandiri. Namun, tiga orang autism ini berhasil membuktikan dirinya dengan kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogja.
Tiga mahasiswa penyandang autisme itu adalah Riani Wulan Sujarrivani, Siham Hamda Zaula Mumtaa, dan Muhammad Rhaka Katresna. Mereka berasal dari jurusan dan angkatan yang berbeda.
Dianggap bodoh dan tidak mandiri
Riani Wulan Sujarrivani atau yang akrab dipanggil Riani adalah mahasiswa prodi S1 Ilmu Tanah angkatan 2024. Sebelum mendaftar ke Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogja Riani telah didiagnosis Autism Spectrum Disorder (ASD).
Sebagai penyandang disabilitas, ia sempat tidak percaya diri karena orang-orang di sekitar menganggapnya bodoh. Mereka sempat meragukan kemandirian Riani karena perbedaan yang ia miliki.
Untungnya, Riani tak patah arang. Berkat dukungan keluarga dan guru-gurunya, ia bisa menepis anggapan tersebut dan perlahan mulai berubah. Ia tak ingin omongan orang menjadi kenyataan, sehingga ia punya mimpi kuliah di UGM. Salah satu kampus terbaik di Indonesia.
“Orang tua bahkan sempat berhenti bekerja karena melihat perkembangan saya yang berbeda dan ingin mendampingi saya lebih dekat,” ujarnya di acara ULD UGM dalam rangka Memperingati Hari Kesadaran Autisme Sedunia, pada Jumat (11/4/2025).
“Ketika sekolah, saya juga mendapatkan dukungan moral dari para guru untuk belajar mandiri dalam kehidupan sehari-hari,” lanjutnya.
Perjalanan Riani meraih impiannya bukan tanpa hambatan. Ia sempat gagal saat proses seleksi masuk UGM, Jogja pada tahun pertama. Baik itu jalur undangan, tes UTBK, maupun mandiri.
Namun, Riani tidak menyerah. Ia memilih gap year sambil mengasah kemampuannya. Hingga akhirnya, ia diterima pada tahun kedua melalui jalur Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT).

Hidup memang tak lepas dari masalah. Selama berkuliah, Riani banyak menjumpai tantangan yang menjadi pelajaran hidupnya. Misalnya, ia harus menyelesaikan tugas tepat waktu, serta harus membiasakan diri dengan laboratorium karena belum terbiasa dengan instrumen yang ada.
Oleh karena itu, Riani mengajukan permohonan layanan pendukung ke layanan disabilitas UGM agar mendapat perpanjangan waktu pengerjaan tugas. Meski sempat mengalami kendala di awal studinya, pihak universitas dan fakultas akhirnya mendukung dan menyepakati permohonan tersebut.
Dukungan layanan pendidikan disabilitas dari UGM
Lain Riani, lain pula cerita Siham Hamda Zaula Mumtaa. Mahasiswa prodi S1 Ilmu dan Industri Peternakan UGM itu sudah didiagnosis Autism Spectrum Disorder sejak sekolah dasar.
Waktu kecil, orang tuanya bahkan sempat menyangkal. Siham diwajibkan menjalani berbagai terapi sejak usia dini, hingga orang tuanya akhirnya menerima kondisi tersebut.
“Orang tua saya, terutama ayah, menolak status Autism Spectrum Disorder saya. Dibilang, saya ini adalah orang normal, tidak ada kekurangan,” ujarnya dikutip dari laman resmi UGM, Senin (14/4/2025).
Agar mendapatkan dukungan yang sesuai untuk Siham selama proses perkuliahan, ULD UGM memberitahukan kondisi tersebut ke dosen pengampu dan asisten praktikum. Siham juga mengaku mendapatkan pendampingan khusus selama kuliah, sehingga mempermudah proses belajarnya.
Menurut dia, adanya asesmen berkelanjutan penting untuk dipantau dan ditindaklanjuti agar pendampingan dan penyesuaian selama perkuliahan tetap relevan dan efektif, serta kepastian akan layanan yang inklusif bagi mahasiswa dengan kebutuhan khusus seperti dirinya.
Didiagnosis autisme saat usia dewasa
Sementara itu, Muhammad Rhaka Katresna berujar, autisme bukanlah sekadar kondisi kesehatan mental. Rhaka yang juga mahasiswa dari prodi Magister Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM menyatakan, autisme adalah disabilitas perkembangan.
Sejak kecil hingga dewasa, ia mengalami perbedaan perkembangan yang tidak diidentifikasi secara tepat oleh sistem layanan kesehatan. Ia memperoleh diagnosis autisme saat usianya dewasa.
Seperti tersambar geledek di siang bolong, Rhaka mengaku diagnosis autisme di usia dewasa bukanlah perkara mudah, apalagi di Indonesia. Selama 27 tahun hidupnya, ia menghadapi berbagai tantangan, termasuk penolakan keluarga dan ketidakpastian dari layanan kesehatan.
“Diagnosis autisme pada anak-anak saat ini cenderung lebih mudah karena banyak tenaga ahli yang fokus di sana. Tapi untuk usia dewasa, justru jauh lebih sulit,” ujar Rhaka.
Memilih S2 UGM di bidang jurusan yang jarang diakui
Setelah lulus S1 Psikologi, ia akhirnya memilih untuk melanjutkan S2 di Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya di UGM, Jogja. Sebab saat itu, prodi S2 tersebut merupakan program terbuka untuk mahasiswa autistik.
Rhaka menegaskan orang autis cenderung memiliki minat khusus. Setiap individu memiliki ketertarikan mendalam yang berbeda-beda. Dalam kasusnya, ia tertarik pada penelitian berbasis pengalaman autistik, bidang yang masih jarang diakui di Indonesia.
Di prodi Studi Agama dan Lintas Budaya selalu mendukung minat risetnya, termasuk dalam membangun epistemologi studi yang berasal dari perspektif orang autistik.
“Di prodi ini, saya bisa mendapat ruang untuk mengkritisi konstruksi ilmu tersebut,” katanya.
Ia menekankan bahwa diskriminasi yang didapatkannya menjadi alasan mengapa orang autistik harus mulai mengambil ruang, membangun cara sendiri untuk bersuara, agar dapat hidup sesuai dengan kebutuhan mereka. Bukan ekspektasi dari pihak lain.
“Saya punya diagnosis ganda, autisme dan ADHD. Tapi saya bangga. Jadi saya mengajak teman-teman semua untuk bangga. Kita mesti bangga menjadi diri sendiri, sebagaimana adanya,” ujar mahasiswa UGM tersebut.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pernah Pamit ke Rektor Unesa buat Kuliah di Unair, Kini Jadi Wisudawan S2 Tunanetra Pertama dan Jadi PNS di Jakarta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.