Derita Salah Jurusan Kuliah, Menjalani 14 Semester di ITS dengan Mimpi Buruk dan Penyesalan

Ilustrasi Salah Jurusan Kuliah Bikin Mahasiswa Menjalani 14 Semester di PTN Terbaik dengan Mimpi Buruk dan Penyesalan. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Jangan sepelekan persoalan salah jurusan kuliah. Meski tetap berhasil masuk di salah satu kampus terbaik di Indonesia, nyatanya mahasiswa ini merasakan penyesalan sekaligus hari-hari yang menderita.

***

“September ini ada enam temanku yang diwisuda. Setelah itu hanya tinggal empat orang tersisa dari sekitar 150 mahasiswa di jurusanku yang masih terkatung-katung. Salah satunya aku,” ujar Mabrur (25).

Saat ini ia sedang mengejar ketertinggalannya mengerjakan tugas akhir. Hampir mustahil ia bisa wisuda semester ini, semester ketiga belas yang ia lewati di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Praktis, ia harus mengerahkan semua daya upaya agar bisa wisuda semester empat belas awal tahun depan. Jika tidak, ia harus keluar dan merelakan gelar sarjananya.

Mabrur sebenarnya jauh dari kata bodoh. Saat SMA, ia langganan mendapat peringkat teratas di kelas. Namun, salah jurusan kuliah membuatnya keluar dari jalur lurus dalam menjalani studi lanjut.

Saya berbincang dengannya lewat sambungan telepon, Rabu (13/9/2023). Siang itu, ia sedang berusaha menemui dosen pembimbing tugas akhirnya. Dosen itu tak kunjung muncul, akhirnya ia memutuskan keluar ruangan dan menghubungi saya yang berusaha membuat janji wawancara sejak beberapa hari sebelumnya.

Dua tahun terakhir memang jadi masa yang berat buatnya. Saat teman-teman seangkatannya sudah mengunggah aktivitas bekerja dan cerita menata masa depan di media sosial, ia hanya bisa  menyimak dengan lemas sambil rebahan di kamar.

Angan-angan tentang kuliah Impian

Mabrur studi di Jurusan Teknik Informatika ITS. Jurusan yang sebenarnya jadi dambaan banyak calon mahasiswa. Salah satu jurusan dengan selektivitas tertinggi di ITS. Selain itu, ITS masuk 10 kampus terbaik di Indonesia berdasarkan sejumlah riset.

Namun, pemuda ini dulunya mendambakan untuk masuk ke PTN lain yakni Institut Pertanian Bogor (IPB). Alasan sederhananya, ia punya saudara yang juga menempuh studi di sana. Banyak cerita menarik tentang dunia perkuliahan di Bogor yang ia dapat.

Selain itu, Mabrur mengaku suka berkegiatan alam. Setidaknya saat masa SMA dulu. Kala itu ia sering mendaki gunung. Dalam bayangannya, jika bisa masuk ke jurusan yang berbau ilmu kehutanan akan terasa seru.

“Aku pengin masuk ke Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata di Fakultas Kehutanan,” kenangnya.

Ia pernah membaca brosur jurusan itu dan mendapat informasi bahwa tahun ketiga kuliah ada kegiatan praktik di hutan selama enam bulan. Hal itu semakin membulatkan tekadnya.

“Kalau nggak jurusan itu, pokoknya apa saja di Fakultas Kehutanan,” ujarnya.

Lelaki berambut gondrong ini dulunya menempuh pendidikan di sebuah sekolah berasrama di Jogja. Sedangkan ia berasal dari Temanggung.

Semasa di asrama, selain mempersiapkan untuk tes seleksi bersama, ia juga mencari informasi tentang beasiswa. Hitung-hitung untuk meringankan beban kedua orang tuanya.

Beruntungnya, ia mendapat kesempatan beasiswa dari Kementerian Agama. Beasiswa ini hanya membuka peluang untuk beberapa jurusan di sejumlah PTN. Hal yang membuat Faisal lega, ada jurusan di Fakultas Kehutanan IPB.

“Bukan jurusan yang paling aku mau. Pilihannya cuma di Jurusan Silvikultur. Tapi aku tetap berminat,” kenangnya.

Kesempatan itu semakin memompa semangatnya. Belajar lebih giat dari sebelumnya. Sebelum akhirnya, sebuah tragedi akibat keteledoran mengubah garis hidup lelaki ini.

Malapetaka salah jurusan kuliah karena salah klik

Semuanya berjalan seperti yang Mabrur rencanakan sampai sebuah kejadian nahas menimpanya. Saat masa pemberkasan beasiswa, kegiatan sekolah sudah selesai. Mabrur pun kembali ke Temanggung. Rumahnya kebetulan berada di kawasan yang terpencil dengan jaringan internet sulit.

salah jurusan kuliah MOJOK.CO
Ilustrasi salah jurusan kuliah. (Photo by Philippe Bout on Unsplash/Mojok.co)

Masih lekat dalam ingatan, Mabrur sempat harus menunggu lama untuk mendapatkan surat rekomendasi dari sekolah untuk kebutuhan adminsitrasi beasiwa. Sambil menunggu, ia mengisi beberapa bagian dari formulir online yang bisa ia lengkapi terlebih dahulu.

Termasuk mengisi jurusan pilihan. Saat itu, ia yakin betul sudah memilih IPB sebagai destinasi studi. Namun, setelah itu ia penasaran dengan pilihan-pilihan lain yang ada di drop menu.

“Aku coba lihat-lihat pilihan lain jurusan. Sempat aku klik beberapa jurusan itu tapi akhirnya aku ubah lagi jadi di IPB,” ujarnya.

Setelah itu ia langsung memencet tombol simpan. Formulir itu memang punya mekanisme autosave sehingga progress penyisian bisa diteruskan pada kesempatan lain.

Beberapa waktu berselang, surat rekomendasi yang Mabrur tunggu baru tiba di hari terakhir pendaftaran beasiswa. Tak pelak, ia harus segera mencari sinyal internet.

“Waktu sudah mepet, akhirnya malam-malam aku pergi ke warnet untuk mengunggah berkas,” terangnya.

Baca halaman selanjutnya…

Pilih beasiswa daripada pilih jurusan kesukaan meski akhirnya merana

Pilih beasiswa meski akhirnya merana di ITS

Di tengah kondisi terdesak, ia segera mengunggah berkas surat rekomendasi lalu melakukan finalisasi data tanpa mengecek kembali keseluruhan formulir. Ia mengira semuanya sudah terisi secara benar.

“Baru sadar beberapa hari berselang saat aku print formulir pendaftaran untuk tes. Ternyata kok pilihanku bukan IPB melainkan ITS,” tuturnya.

Meski merasa kesal, ia tetap mengikuti proses ujian. Di momen yang sama ia akhirnya mendaftarkan diri di IPB dengan jalur mandiri untuk jaga-jaga.

Tak lama kemudian, Mabrur dinyatakan lolos beasiswa. Tenggat menuju daftar ulang yang mepet membuatnya memutuskan untuk mengambil kesempatan kuliah di ITS. Selain kuliah gratis ia juga bisa mendapat uang bulanan yang bisa memenuhi kebutuhan hidup. Sayang untuk ia lewatkan.

“Seminggu setelah daftar ulang, pengumuman ujian mandiri IPB baru muncul. Aku lolos, tapi semuanya sudah terlanjur,” kenangnya.

Mimpi buruk dan penyesalan 14 semester

Mabrur menjalani masa-masa awal kuliah dengan setengah hati. Tentu ia senang mendapat beasiswa penuh, tapi pikirannya masih melayang ke Bogor.

Ia mengakui, kuliah teknik informatika cukup sulit. Namun, sejatinya ia masih bisa memahami. Asalkan mau sedikit berupaya.

“Cuma karena aku nggak suka akhirnya ya usahanya kurang,” curhatnya.

Berlanjut, ia jadi mencari kesenangan selain kuliah. Lebih sering nongkrong dan mencari teman yang sama-sama malas datang ke kelas. Presensinya pun banyak yang bolong. Hal itu berlangsung sampai dua semester perkuliahannya.

Ketika teman-temannya itu mulai menyeriusi kuliah. Ia kemudian mencari kesibukan baru dengan bergabung kepanitiaan dan organisasi kampus. Di dua kesibukan itu, ia banyak menghabiskan waktu untuk menghindari perkuliahan.

“Padahal kalau mau bagi waktu pasti bisa. Temanku banyak yang aktif organisasi tapi kuliahnya jalan,” katanya.

Kondisi itu terus berlanjut sampai Mabrur menyadari bahwa ia sudah semester akhir. Teman-teman yang dulu sama-sama bolos kuliah kini sudah wisuda. Ia merasa sendiri dan akhirnya tergerak untuk segera menyelesaikan skripsi.

Di tengah kesendirian itu, ia mengaku merasakan banyak tekanan. Beasiswanya hanya menutup delapan semester perkuliahan. Setelah itu ia mengandalkan biaya dari orang tuanya.

“Sempat ada masa di mana aku kepikiran kalau nggak salah klik, pasti akademikku lebih baik. Itu jadi mimpi buruk yang membayangi,” curhatnya.

“Kalau sekarang, aku mulai bisa Ikhlas. Membayangkannya dengan ketawa sendiri,” imbuhnya.

Ia sedang menjalani masa krusial jelang batas masa studi. Berkejaran dengan waktu mengerjakan tugas akhir saat teman yang lain sudah meniti karir. Sesekali, orang tuanya juga mendesak untuk segera lulus.

“Pernah dibilang malu-maluin sama bapak karena nggak lulus-lulus,” ujarnya.

Beruntung yang bisa pindah kuliah

Mabrur bisa dibilang mengalami situasi yang unik sekaligus pelik perkara. Salah jurusan kuliah karena perkara yang tak terbayang buat banyak orang. Variabel beasiswa juga yang membuatnya sulit untuk mengambil keputusan pindah.

Salah jurusan kuliah membuat malas untuk menyelesaikan perkuliahan. (Photo by Windows on Unsplash/Mojok.co)

Sayang, ia juga mengakui kurang bertekad untuk menjalani apa yang terlanjur terjadi secara sungguh-sungguh. Saya juga sempat ngobrol dengan Atalarik (24), mahasiswa lain yang sempat salah jurusan kuliah.

Atalarik justru sempat tersesat di IPB, kampus yang Mabrur dambakan. Mulanya Atalarik punya mimpi untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi. Namun, di saat awal lulus SMA, ia masih gengsi sehingga hanya ingin masuk PTN.

“Setelah gagal seleksi bersama dan mandiri Jurusan Ilmu Komunikasi di berbagai kampus, akhirnya aku memutuskan daftar mandiri di Jurusan Proteksi Tanaman IPB,” ujarnya.

Bapaknya juga dulu lulusan Jurusan Proteksi Tanaman. Punya karir yang cukup baik di bidang yang sama. Hal itu jadi salah satu alasan Atalarik menyebrang dari keinginan awalnya.

“Tapi selain itu, aku pengen punya pegangan di awal lulus. Dan saat itu karena gengsi pengennya di kampus negeri,” tuturnya.

Alhasil, karena setengah hati ia tidak kerasan di IPB. Ia hanya bisa bertahan satu semester. Biaya memang tidak jadi pertimbangan pentingnya saat kuliah lantaran orang tuanya cukup mampu. Sehingga ia memutuskan mencari kampus baru.

Sempat mencoba peruntungan mendaftar PTN, tapi tetap gagal. Akhirnya Atalarik berlabuh di Jurusan Ilmu Komunikasi di sebuah PTS. Ia lulus setelah studi selama sepuluh semester.

Perkara salah jurusan kuliah memang membawa dampak yang berbeda-beda bagi mahasiswa yang menjalaninya. Ada yang bisa bertahan, bisa pindah, hingga terpaksa melanjutkannya dengan akhir menyenangkan maupun tidak. Satu hal yang jelas, lebih baik tidak salah jurusan kuliah sejak awal.

Penulis : Hammam Izzuddin
Editor  : Agung Purwandono

BACA JUGA Kesan Pertama Maba Saat Kuliah di Jogja: Makanan Nggak Terlalu Murah, Macetnya Parah

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version