Pelukan erat penuh haru, lambaian tangan denga ucapan “selamat tinggal” nan tulus, hingga anak-anak desa menangis tersedu sambil mengejar mobil rombongan. Barangkalai situasi seperti itulah yang diharapkan oleh mahasiswa KKN PTN usai momen perpisahan dengan warga.
Memang banyak momen perpisahan mahasiswa KKN di suatu desa berlangsung begitu. Cari saja di media sosial, stoknya cukup banyak.
Ada beberapa kemungkinan kenapa situasi tersebut bisa terjadi. Pertama, mahasiswa KKN membuat program yang berdampak nyata bagi desa. Kedua, mahasiswa memberi kesan baik selama tinggal di suatu desa. Ketiga, bisa jadi karena memang mayoritas warganya berkarakter ramah terhadap orang luar.
Akan tetapi, tidak setiap mahasiswa KKN beruntung pernah mengalami situasi tersebut. Ada juga yang, alih-alih penuh haru, perpisahan dengan warga desa justru menjadi momen paling menyebalkan karena sikap si warga desa sendiri.
Warga enggan-engganan saat perpisahan mahasiswa KKN
Pada suatu hari di tahun 2023, Gatra (22) dan teman-temannya mahasiswa KKN asal PTN di Jawa Tengah tengah mempersiapkan seremoni perpisahan bersama warga.
Awalnya, Gatra dan teman-temannya menyusun seremoni perpisahan dengan beragam rangkaian acara. Misalnya penampilan anak-anak untuk membaca puisi, masak besar bareng warga, dan lain-lain.
Namun, saat mencoba mengajukan ide tersebut kepada lurah setempat, Gatra justru menangkap keengganan. Pak Lurah mengimbau agar acaranya dibuat sederhana saja. “Toh hanya perpisahan,” begitu kata Pak Lurah. Seperti tak antusias sama sekali.
Apalagi saat tahu salah satu rangkaiannya adalah masak besar. Pak Lurah langsung menanyakan dananya dari mana?
Sebenarnya Gatra dan teman-temannya sudah menyiapkan dana untuk belanja keperluan masa-masak. Namun, Pak Lurah menilai, kegiatan masak besar yang melibatkan warga nantinya akan merepotkan.
Pasalnya, kalau kata Pak Lurah, warga juga punya kesibukan masing-masing. Jangan diajak repot-repot. Kalau mau ada masa-masak, ya mahasiswa saja yang masak-masak lalu nanti dibagikan di seremoni perpisahan. Begitu malah bisa membuat warga senang.
“Kalau anak-anak, karena mereka senang-senang saja dengan mahasiswa KKN, jadi semangat kalau perpisahan nanti ada penampilan-penampilan puisi,” ungkap Gatra, Kamis (14/8/2025) pagi. “Jadi hanya anak-anak yang antusias.”
Momen seremoni perpisahan mahasiswa KKN terasa anyep dan bikin kesal
Pada akhirnya, momen seremoni perpisahan mahasiswa KKN itu berlangsung sekadarnya pada suatu malam di balai desa. Hanya menampilkan anak-anak membaca puisi, lalu bagi-bagi snak ke warga.
Warga yang hadir pun hanya segelintir. Bahkan, Pak Lurah datang terlambat hampir satu jam dari acara. Suasananya benar-benar anyep. Tak ada meriah-meriahnya.
“Malah berujung kesal sendiri ketika ada pesan dan kesan dari mahasiswa dan warga,” ujar Gatra.
Saat Gatra dan teman-teman bergantian memberi kesan, mereka mengesankan bahwa sangat menyenangkan bisa diterima KKN di desa tersebut. Apalagi anak-anak desa juga sangat senang dengan kehadiran mahasiswa dari PTN di Jawa Tengah itu.
Puncaknya tentu Gatra menyampaikan terimakasih amat besar lantaran telah diterima sebaik-baiknya oleh warga. Sayangnya, kesan baik ternyata tidak juga dirasakan oleh warga setempat.
Baca halaman selanjutnya…
Ekspektasi warga terlalu berlebihan
Ekspektasi warga terlalu berlebihan
Saat tiba giliran Pak Lurah yang memberi pesan dan kesan di momen perpisahan mahasiswa KKN itu, suasana jadi serba kikuk. Gatra dan teman-temannya hanya bisa diam dan salah tingkah, sambil membatin kesal.
“Pak Lurah intinya menyayangkan, karena program-program kami nggak ada dampaknya. Seemntara Pak Lurah berharap, keberadaan mahasiswa KKN—sebagai kalangan terpelajar—bisa membantu menyelesaikan beragam persoalan di desa. Abot tenan (berat sekali),” ujar Gatra.
Panjang lebar Pak Lurah memaparkan keresahannya. Dia berharap agar mahasiswa—entah saat mau KKN atau saat ke desa—itu benar-benar punya tawaran solusi yang benar-benar baru. Sehingga keberadaan mahasiswa tidak hanya sekadar ngalor-ngidul, bikin acara remeh-remeh, tapi meninggalkan sesuatu yang berharga bagi warga.
“Dengan begitu, jasa mahasiswa KKN akan kami kenang selamanya,” ucap Pak Lurah yang ditirukan kembali oleh Gatra.
Sementara hanya bisa Gatra membatin, ya kalau mengatasi masalah desa ditanggungkan ke mahasiswa, lantas perangkat desa atau pejabat lebih tinggi ngapain?
Dana nggak ada…
Ngomongin problematika mahasiswa saat KKN memang beragam. Ada yang datang KKN hanya untuk sebatas formalitas. Ada juga yang bernasib seperti Gatra, ingin membuat banyak program tapi terbentur keterbatasan dana dari kampus.
“Jadi program yang bisa kami lakukan ya yang bisa dijangkau. Misalnya, bikin sosialisasi sama warga soal pentingnya pendidikan, soal bank sampah. Sisanya bikin program bimbingan belajar ke anak-anak hingga acara 17 Agustusan. Hanya sebatas itu yang kami bisa,” beber Gatra.
Pak Lurah punya keluh kesah banyak. Di antara yang paling vital menurutnya adalah susah air ketika musim kemarau. Tapi Gatra dan teman-temannya tidak bisa berbuat banyak untuk membantu mengatasi.
“Kami KKN di desa kan bukan untuk sepenuhnya memberi solusi bagi warga desa. Kami malah berniat belajar dari warga desa,” ungkap Gatra.
Tak ada yang mengantar pulang
Usai malam perpisahan tersebut, rombongan mahasiswa KKN pulang keesokan harinya bersiap pulang. Tidak ada yang spesial dari kepulangan tersebut.
Tak ada warga yang mengantar dan melepas dengan penuh haru. Tak ada anak-anak yang membuntuti.
Hanya ada Pak Lurah yang dipamiti dengan enggan. Juga tuan rumah yang menjadi posko Gatra dan kawan-kawan selama hampir tiga bulan.
Di atas kendaraan yang mengantar Gatra meninggalkan desa, para mahasiswa KKN itu hanya bisa saling menggerutu sebal atas malam perpisahan yang tidak mereka sangka bakal menjadi anyep dan penuh kekesalan.
“Sampai saat ini masih suka iri dengan mahasiswa-mahasiswa KKN yang waktu perpisahan dapat kesan mengharu biru,” tutur Gatra.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ironi Mahasiswa KKN: Merasa Berjasa Membangun Desa Orang tapi Tak Berguna di Desa Sendiri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
