Kuliah di luar negeri adalah cita-cita Wulida Wahidatul Masruria (26) sejak remaja. Alumnus Universitas Negeri Surabaya (UNESA) itu pun tak menyangka bisa menyelesaikan kuliah S2-nya di Boston University, Amerika Serikat. Setelah melewati berbagai tantangan di negera Paman Sam tersebut, Wulida akhirnya berhasil meraih gelar magisternya pada tahun 2024.
***
2024 lalu adalah tahun membahagiakan sekaligus menyedihkan bagi Wulida. Di akhir semester masa kuliahnya, ia harus mendengar kabar bahwa ayahnya meninggal. Saat itu, Wulida hanya bisa melihat rekaman ketika jenazah ayahnya dibawa oleh ambulans.
“Ayah meninggal di hari yang sangat istimewa, hari Jumat bulan Januari,” cerita Wulida kepada Mojok, Kamis (8/2/2025), “bahkan hari Jumat waktu Indonesia dan jumat waktu Amerika, aku bahkan iri dengan ayah,” lanjutnya.
Di tengah kesedihannya, Wulida tetap harus berjuang menyelesaikan tesisnya. Hingga Mei 2024, Wulida berhasil menyelesaikan kuliah S2 Program Teaching English to Speakers of Other Languages (TESOS) di Boston University, Amerika Serikat.
Tentu untuk meraih gelar tersebut tidaklah mudah. Selain harus menerima kehilangan orang tercinta, ia juga mengaku kaget dengan budaya di Amerika Serikat. Sebagai seorang muslim yang sebelumnya tinggal di Indonesia, ia harus bisa beradaptasi mulai dari cuaca, makanan, hingga perbedaan budaya.
Aktif berorganisasi di Universitas Negeri Surabaya (UNESA)
Wulida bukan berasal dari keluarga yang berada, tapi mimpinya berkuliah di luar negeri begitu nyata. Perempuan asal Sorong, Papua Barat itu ingin menjadi guru sejak diterima di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris tahun 2017. Mengingat, kedua orangtuanya adalah guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Bagi Wulida, ayah, ibunya adalah role model sekaligus penyemangatnya kuliah ke luar negeri. Meskipun ekonomi keluarganya pas-pasan, kedua orang tua Wulida selalu mengupayakan agar Wulida tak mengubur mimpinya hanya karena masalah ekonomi.

Oleh karena itu, sejak semester 1 kuliah di UNESA Wulida sudah membuat perencanaan tentang strategi memperoleh beasiswa. Ia pun mulai aktif berorganisasi untuk membangun curriculum vitae (CV) serta portofolionya.
Selain itu, ia juga sering mengikuti kegiatan yang diadakan oleh alumni kampusnya, termasuk alumni yang telah bergabung di ikatan penerima beasiswa seperti Mata Garuda. Organisasi tersebut merupakan wadah bagi para penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Kementerian Keuangan untuk berjejaring dan berkontribusi.
“Aku ikut kegiatan mereka di tiap daerah, jadi dari situ aku kenal banyak kakak-kakak yang sudah awarde jadi mereka bisa sharing gitu ilmunya ke aku,” ujar Wulida.
Ikut tes LPDP setelah lulus dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA)
Sebetulnya, Wulida tak hanya melirik beasiswa LPDP, tapi ia juga mencari beasiswa yang sesuai dengan perencanaan studi S2-nya. Ia sempat tertarik dengan beasiswa seperti Fullbright. Ia juga sempat mempertimbangkan untuk kuliah di Australia. Sebuah negara dengan mutu pendidikan yang sudah diakui oleh dunia internasional.
Namun, dengan banyaknya pertimbangan, Wulida akhirnya memutuskan kuliah di Amerika Serikat, tepatnya di Boston University. Setelah lulus dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA), ia pun mendaftar beasiswa LPDP tahun 2021 gelombang ke dua. Beruntung bagi Wulida, karena sekali mendaftar ia langsung diterima. Sebab, ada pendaftar lain yang harus mengulang sampai beberapa kali.
Tentu pencapaian Wulida tersebut bukan tanpa usaha, karena ia sudah mempersiapkannya dengan matang sejak kuliah semester awal. Apalagi, orang tua Wulida sangat mendukung. Ia ingat betul upaya ayahnya semasa Wulida mempersiapkan diri untuk mengikuti tes LPDP.
“Ayah sampai izin nggak masuk sekolah. Beliau sampai ngomong ke tetangga untuk jangan putar musik keras-keras, adikku sampai disuruh main di luar supaya nggak ramai. Semua ayah lakukan supaya tes ku berjalan lancar,” ucap Wulida mengingat dukungan dari almarhum ayahnya.
Culture shock di Boston University
Culture shock saat kuliah di Boston University, Amerika Serikat
Wulida akhirnya berangkat ke Amerika Serikat (AS) pada tahun 2023. Ia mulai kuliah S2 di Boston University. Saat itu, negara Paman Sam masih memasuki musim semi. Bunga-bunga merekah dengan cantik. Namun, tantangan dimulai ketika AS memasuki musim dingin.
Sebagai warga Indonesia yang sempat berkuliah di Univesitas Negeri Surabaya (UNESA), Wulida sudah terbiasa dan tahan dengan panasnya Kota Pahlawan. Hanya saja, tubuhnya kaget dengan perubahan cuaca di negara yang punya empat musim seperti AS.
“Aku sampai mimisan, telinga sakit, karena sangking dinginnya, tapi setelah dua sampai tiga minggu alhamdulillah aku sudah bisa beradaptasi,” ucap Wulida.
Tak hanya cuaca, Wulida juga harus menghadapi kenyataan soal perbedaan bahasa. Meskipun ia mendapat beasiswa LPDP dengan sertifikat kemampuan Bahasa Inggris yang mumpuni, tak memungkiri jika teori kadang-kadang tak semudah praktik.
Wulida bercerita jika profesor atau dosen di Boston University memang menggunakan bahasa yang mudah dipahami saat mengajar, bahkan dengan tempo yang tak terlalu cepat sehingga memudahkan mahasiswa internasional. Namun, kondisi itu akan berbeda jika ia berinteraksi dengan masyarakat sekitar, seperti saat ia sedang belanja atau keluar asrama.
“Tapi lama-kelamaan aku jadi sadar dan memberanikan bertanya. Misalnya aku nggak ngerti, ya udah tanya aja. Mereka akan dengan mudah mengerti kalau kami international student,” tutur Wulida.
Selain itu, ia juga harus pandai mengatur keuangan. Apalagi, untuk membeli kebutuhan pokok seperti makanan. Selain karena harga makanan yang mahal jika dibandingkan dengan Indonesia, Wulida juga harus teliti melihat bahan makanan yang dijual di pasar atau supermarket. Salah-salah, dia bisa membeli makanan yang tak ada lebel halal.
Mengabdi untuk Indonesia
Selama tinggal di Amerika Serikat, Wulida juga menyadari kehidupannya berbanding terbalik 360 derajat sebagai muslim. Tak hanya mendapatkan tantangan di bidang pendidikan, ia juga diuji secara iman. Wulida harus lebih mandiri dengan mengingat waktu salat, puasa, atau merayakan idul fitri tanpa kehadiran keluarga.
“Di kampus aku biasanya minta izin ke profesor untuk salat. Biasanya 10-15 menit dan mereka akan memahami,” ucap alumnus Universitas Negeri Surabaya (UNESA) itu.
Oleh karena itu, selain berkuliah Wulida juga menambah jejaringan dengan mahasiswa luar negeri khususnya muslim. Sebab, pada dasarnya ia suka berorganisasi. Wulida pun mengikuti Boston Islamic Seminary, sebuah komunitas di Amerika yang membina generasi pemimpin muslim.
Setelah melalui proses dan tantangan yang cukup melelahkan, perjuangan Wulida akhirnya terbayarkan saat ia dinyatakan lulus pada Mei 2024 lalu. Kini, ia sedang menjalani academic training atau magang di Amerika Serikat. Beasiswa LPDP memberikannya kesempatan untuk mencari pengalaman dan menambah networking, maksimal dua tahun setelah masa studi.
“Insyaallah akan selesai di tahun 2025. Dari kesempatan berharga ini aku merasa sudah saatnya kembali ke Indonesia untuk mengabdi dan mengharumkan Indonesia. Aku pasti akan pulang,” kata Wulida.
“Juga untuk mengunjungi makam ayah,” lanjutnya.
BACA JUGA: Kisah Penerima Beasiswa S2 di Turki, Dari Orang Biasa hingga Memikat di Panggung Asia Tenggara atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.