Ngotot skripsi hingga 300 halaman demi cumlaude, mahasiswa kampus Surabaya malah terancam DO karena skripsi tak rampung-rampung. Setelah lulus malah mentok jadi guru honorer.
Cerita tersebut saya dapat dari Anto* (25), bukan nama asli, salah seorang sarjana dari salah satu kampus Surabaya. Saat ini sehari-hari ia berprofesi sebagai seorang guru honorer di Kota Pahlawan.
Anto merasa terpancing untuk bercerita perihal kesialannya karena mendapati banyak adik-adik kelasnya yang kelewat ambis soal skripsi. Mengerjakan skripsi harus seperfek mungkin. Berusaha mencari topik yang sulit demi beda dari mahasiswa-mahasiswa lain.
“Apakah salah? Nggak juga. Tapi kalau semester udah mepet-mepet, kan mending kerjakan sebisanya. Asal dosbing oke kan aman aja,” tutur Anto, Senin (1/7/2024) malam WIB.
Sebab, Anto sendiri sudah pernah mengalami kesialan saat menjadi mahasiswa kampus Surabaya yang ambis dalam proses skripsi. Keambisan yang tak terbayar dengan hasil memuaskan. Malah sebaliknya.
Ingin saingi skripsi teman di kampus Surabaya
Selama kuliah di salah satu kampus Surabaya, Anto mengaku terkenal sebagai mahasiswa pintar. Di kelas aktif berdiskusi, sering menghabiskan waktu untuk baca buku dan jurnal ilmiah, pokoknya soal intelektual tak bisa diragukan lah. Dapat nilai C pun tak pernah.
Cuma memang, ada salah satu mahasiswa satu jurusannya yang tak kalah pintar dari Anto. Mahasiswa dengan gaya yang cenderung lebih santai, tak se-sepaneng Anto.
“Nah, kalau kebetulan aku satu kelas dengannya dalam satu matkul, pokoknya aku nggak mau kalah sama mahasiswa itu. Padahal kayaknya ia nggak punya pikiran yang sama sepertiku, pengin bersaing,” ungkap Anto. Rasa kompetitif tersebut ternyata terbawa sampai si mahasiswa kampus Surabaya tersebut menjalani proses skripsi.
Karena situasi pandemi pada 2020 lalu, Anto memang tak cukup tahu perkembangan teman-temannya sejurusan secara lebih luas. Apakah ada yang sudah proses skripsi atau belum.
Si mahasiswa saingan Anto tersebut diam-diam ternyata mengerjakan skirpsi. Ia tiba-tiba mengunggah momen setelah sidang skripsi begitu saja. Saingan Anto menuntaskan kuliah dalam waktu 3,5 semester.
“Aku tanya-tanya, ternyata skripsinya 150-an halaman. Malah aku dengar sebenarnya hampir 200 halaman, tapi dipangkas. Terus pas yudisium juga dapat predikat cumlaude,” ucap Anto.
Alhasil, Anto pun tertantang untuk menggarap skripsi dengan halaman lebih banyak dari teman seangkatannya di kampus Surabaya itu. Anto mungkin tidak lulus 3,5 semester, tapi ia bisa menyuguhkan skripsi yang lebih tebal. Begitulah target Anto.
Mendapat teguran dari dosen pembimbing
“Aku masih ingat, intinya dosbingku bilang nggak usah ngoyo-ngoyo. Pokoknya yang penting selesai. Kalau ada waktu jangan cuma buat skripsi, tapi kerjakan hal produktif lain,” terang Anto.
Hanya saja, Anto menegaskan pada dosennya bahwa ia menikmati proses skripsi tersebut. Mahasiswa kampus Surabaya itu juga menyebut kalau topik yang ia angkat memang harus ia urai panjang lebar. Si dosen pembimbing pun hanya manut saja.
Target Anto saat itu sebenarnya ingin menyentuh 300 halaman. Alhasil ia harus menambah semester. Dari semester 8 hingga semester 11.
Sampai akhirnya di semester 12, Anto sadar bahwa tinggal dua semester lagi ia akan DO jika skripsinya tak lekas rampung. Oleh karena itu, ia memutuskan berhenti di angka 250 halaman saja.
“Saat sidang pun aku masih dapat teguran dari dosbing dan dosen-dosen penguji. Intinya nggak seharusya aku sengoyo itu bikin sampai 200 halaman. Karena prinsipnya kan yang penting lulus dulu, kasihan orang tua,” kata sarjana dari kampus Surabaya itu setengah tertawa.
Kalau mengingat momen itu, Anto akhirnya jadi malu sendiri. Mengingat, hingga semester 12 itu ia kuliah masih mengandalkan biaya dari orang tuanya yang berprofesi sebagai guru.
Apalagi ketika ia mencetak skripsinya tersebut, tentu ia harus mengeluarkan uang cukup banyak. Pengeluaran yang tidak begitu produktif.
Baca halaman selanjutnya…
Lulus dari kampus Surabaya jadi guru honorer bergaji kecil
“Sialnya adalah, dari awalnya ngincer cumlaude, gara-gara molor sampai semester 12 akhirnya ya nggak dapat apa-apa. Sebelumnya pas sidang pun dosen-dosen juga nggak ada yang apresiasi, malah mengeluhkan,” ucap Anto getir.
Karena kelewat malu, Anto pun menyambut momen pasca sidangnya tersebut dengan biasa saja. Ia bahkan merasa risih kalau ada teman-temannya mahasiswa Surabaya yang menyinggung soal skripsi 200 halamannya tersebut.
Sebab, menurutnya, teman-temannya itu sebenarnya sedang meledek. Bukan sedang mengapresiasi.
Setelah lulus, Anto sebenarnya mencoba mendaftar beasiswa untuk lanjut S2 di salah satu kampus ternama Surabaya. Karena pada dasarnya ia sendiri memiliki cita-cita menjadi dosen. Sayangnya ia tak lolos.
Sementara kalau harus biaya reguler, orang tua Anto mengaku tak cukup sanggup untuk membiayai. Alhasil, Anto pun memutuskan untuk mencari kerja terlebih dulu: mengumpulkan modal.
“Tapi ya nggak semulus yang kubayangkan. Ijazah kayak susah banget buat cari kerja. Akhirnya pas ada lowongan jadi guru (honorer), ya sudah masuk aja (sampai sekarang),” tandasnya.
Menjadi guru honorer pun membuatnya merasa makin nelangsa. Sebab, gaji guru honorer… ya tahu sendiri lah.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News