Rasa-rasanya sudah menjadi rahasia umum, kakak tingkat (kating) alias senior kampus—terutama yang bergiat di organisasi mahasiswa—akan terkesan “cari muka” dan sok keren di hadapan mahasiswa baru (maba). Begitulah yang diungkapkan oleh dua narasumber Mojok.
Para kating itu akan gembar-gembor perihal pentingnya menjalin relasi. Utamanya relasi dengan para kating organisasi mahasiswa. Dari situ, para maba didoktrin agar aktif berjejaring dengan para kating sekalipun di level selemah-lemahnya iman: nongkrong (diskusi) di warung kopi.
Sebab, melalui jejaring dengan kating di kampus, itu akan membuat maba punya banyak keuntungan pragmatis. Paling kentara, tentu saja seperti punya “bekingan” senior di kampus. Kalau mau agak jauh kedepan: potensi mudah mencari kerja kelak kalau sudah lulus.
Kating di kampus: kumpulan mahasiswa haus validadi?
Akun Instagram @abdurrafiafif membagikan sebuah konten yang memancing “huru-hara” kecil di Instagram. Dimulai dari pertanyaan, “Apa penyesalanmu selama kuliah?”
Jawabannya: Menyesal karena ngikutin kata kating/senior kampus. Katanya, jika membangun relasi nanti akan membuka lebar peluang kerja.
Namun, nyatanya upaya membangun relasi itu justru tidak jauh-jauh dari nongkrong fafifu. Selain menghabiskan duit dan waktu, nongkrong itu juga tidak menghasilkan hal penting sama sekali.
Tongkrongan hanya menjadi ruang untuk orang-orang yang haus validasi. Obrolan kosong yang tidak berdampak apapun bagi skill seorang mahasiswa. Sementara jika lulus kelak, skill lah yang paling dibutuhkan di dunia kerja.
Konten tersebut hanya singkat belaka. Tapi menyulut beragam reaksi dari banyak pihak.
Tak nemu pengalaman konkret di organisasi mahasiswa
Sebagaimana kebanyakan mahasiswa baru (maba), Mizwar (25)—di awal semester pada 2018—merasa cukup terpukau dengan para senior kampus yang dia kenal sejak masa ospek.
Di mata Mizwar saat itu, mereka seperti sekumpulan “orang terpilih”. Dengan atribut sebagai kating—apalagi aktif juga di organisasi mahasiswa—mereka tampak seperti orang-orang berpengetahuan luas dan bermental baja.
Maka mudah saja bagi Mizwar untuk termakan omongan, “Harus bangun relasi dengan para kating/senior kampus.” Itu akan memperkaya pengalaman sekaligus memberi bekal jaringan selepas lulus.
“Tapi kalau pengalaman ya pengalaman apa gitu yang kudapat. Karena selama aku kenal mereka, kami lebih banyak ngopinya, diskusi tuhan, sosialisme, tapi nggak konkret,” ungkap Mizwar, Selasa (23/9/2025).
Mizwar pun mengikuti jejak kating tersebut di organisasi mahasiswa. Tapi organisasi mahasiswa sering kali hanya berfokus pada urusan event tahunan. Sehingga tidak ada kompetensi berbasis skill praktis yang Mizwar dapat.
Kating kampus cuma bisa ngasih nasihat kosong
Sialnya, Mizwar mengikuti gradak-gruduk katingnya tersebut hingga lulus kuliah. Mizwar tak segan menyebutnya sebagai kesialan karena hingga lulus pun dia merasa tidak mendapat satupun hal penting jika berjejaring dengan kating sebagaimana katingnya gembar-gemborkan.
Yang ada justru nasihat-nasihat kosong. Misalnya, Mizwar mengaku sering dinasihati soal skripsi. Bahwa bikin skripsi yang bagus itu harus berdampak pada society. Itulah kenapa tidak seharusnya cepet-cepetan dalam menggarap skripsi. Molor tak masalah, asal skripsinya nanti berdampak.
“Dalam kasusku, itu omong kosong. Skripsi yang bagus adalah skripsi yang selesai. Udah itu. Soal “berdampak dan mending molor” itu cuma dalih mereka atas ketidakmampuan akademis aja,” ujar pemuda asal Palu, Sulawesi Tengah itu.
Sebab, pada akhirnya saat mepet-mepet batas maksimal semester pengajuan skripsi, kating Mizwar nyatanya tidak mampu mengerjakan skripsi berdampak seperti yang dimaksud. Malah terkesan asal tuntas saja.
Sementara kalau soal berdampak pada masyatakat, seharusnya sejak kuliah punya kesadaran untuk mengakar. Nyatanya, organisasi yang diikuti Mizwar lebih sering terkungkung dalam tempurungnya sendiri. Tidak bersentuhan dengan realitas di akar rumput.
“Yang lucu ya pas aku udah kerja. Pas aku ketemu dengan katingku, eh dinasihati kalau kerja jangan sampai di perusahaan yang melanggengkan kapitalisme. Ngomong apa, sih. Orang dia aja nganggur,” ujar Mizwar.
“Kasih contoh dong kerja yang nggak melanggengkan kapitalisme itu bagaimana. Kalau dia bisa ngasih contoh sukses lewat dirinya sendiri, ya aku ikut,” sambungnya.
Ngopi-diskusi-relasi: lulus kuliah adu nasib susah kerja
Cerita nyaris serupa pernah diungkapkan oleh Amran (26). Sejak awal kuliah pada 2018 silam, dia juga mengaku termakan dengan gagasan “membangun relasi” oleh kating melalui organisasi mahasiswa.
Hasilnya, malam sampai subuh sering kali hanya dihabiskan dengan diskusi ngalor-ngidul. Sebenarnya tak masalah. Asal diimbangi oleh peningkatakan kapasitas.
Masalahnya tidak begitu. Organisasi mahasiswa seolah dibangun oleh para kating hanya untuk sekadar diskusi belaka. Alhasil, Amran lulus sebagai sarjana yang minim skill hingga kesulita mencari kerja.
Boro-boro mendapat jalur kerja lewat relasi para kating itu. Wong mereka saja belum pada lulus karena mengulang banyak mata kuliah saat Amran sudah lulus.
Di titik itulah Amran menganggap narasi “relasi bakal bantu cari kerja” adalah omong kosong belaka. Sejumlah senior dari organisasi mahasiswa yang dia ikuti—dan sudah lulus—memang sudah bekerja. Tapi, kebanyakan posisinya tidak strategis. Sehingga tidak membantu apapun saat Amran berkeluh kesah susah cari kerja.
“Malah berujung adu nasib,” ujar Amran disertai gelak tawa.
“Terus sisanya yang lain nggak lulus-lulus. Pada nggak kerja juga,” sambungnya.
Mirisnya, alih-alih lekas menuntaskan kuliah, Amran sering melihat beberapa senior kampus yang dia kenal masih sering menghabiskan malam-malam di warung kopi: diskusi, main game. Entah bagaimana urusan kuliahnya. Cerita Amran selengkapnya bisa dibaca di liputan, “Gabung Organisasi Mahasiswa demi Relasi agar Kelak Dibantu Cari Kerja, Relasinya (Para Senior) Malah Nggak Lulus-lulus karena Sibuk Ngopi”.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Apes Berteman sama Mahasiswa Manipulatif: Biaya Hidup Rp800 Ribu Perbulan malah Diporoti yang Sakunya Rp500 Ribu Harus Habis Seminggu atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
