Di antara tugas-tugas kuliah, KKN menjadi tugas paling berkesan bagi narasumber Mojok. Sebab, di momen itu, dia merasakan betul bagaimana rasanya jadi seorang mahasiswa yang bisa berguna bagi masyarakat desa. Lebih-lebih mendapat penerimaan begitu baik dari warga desa.
Akan tetapi, sepulangnya, perasaan sedih justru menyelimuti. Sebab, meski bisa berguna dan diterima dengan sangat baik di desa orang lain, tapi justru seperti tidak berguna dan tidak diterima di desa sendiri.
Kesan mahasiswa KKN di desa orang: hal sepele diapresiasi
Fahreza (27) mengakui, ada beberapa program KKN yang terkesan template dan mainstream di kalangan mahasiswa. Misalnya program bimbingan belajar ke anak-anak desa atau pernak-pernik menyambut 17 Agustusan.
Di tempat Fehreza KKN—sebuah desa di Madiun, Jawa Timur—pada 2018 silam, hal-hal semacam itu sebenarnya sudah bisa jalan bahkan tanpa kehadiran mahasiswa KKN.
Akan tetapi, Fahreza melihat bagaimana warga desa menyambut dengan antusias keberadaan mahasiswa KKN. Terutama anak-anak.
Orang-orang desa pun malah merasa senang dengan keberadaan Fehreza dan kawan-kawan. Sebab, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk sekadar main-main atau bimbingan belajar kepada kakak-kakak mahasiswa.
“Bagi orangtua, itu lebih baik ketimbang misalnya mereka kelayapan. Malah orangtua berharap ilmunya nular, jadi kelak anak-anak mereka bisa kuliah juga,” ungkap Fahreza, Senin (14/7/2025).
“Misalnya juga soal lomba 17 Agustusan, sebenarnya teman-teman karang taruna setempat sudah biasa bikin acara. Tapi kalau ada mahasiswa KKN, kata mereka, mereka merasa lebih terbantu. Baik dari segi tenaga maupun ide-ide kreatif,” sambung Fahreza.
Termasuk juga misalnya menggelar acara nonton bareng (nobar) di posko. Pada dasarnya anak-anak desa sudah punya akses tontonan di televisi. Namun, nyatanya anak-anak sangat antusias mengikuti agenda yang mahasiswa KKN buat.
Hanya sedikit program tapi bikin warga senang
Dalam kasus Fahreza, kelompoknya memang tidak membuat banyak program selama KKN. Karena rata-rata di kelompok Fahreza adalah mahasiswa jurusan Ekonomi (termasuk Fahreza sendiri), program prioritas mereka adalah mengenai edukasi—khususnya terhadap anak muda—terkait bisnis.
Jadi ada workshop berjenjang perihal bisnis, dari bisnis konvensional (UMKM) hingga bisnis online. Tak disangka, peminatnya cukup banyak, terdiri dari anak-anak SMA dan pemuda-pemuda desa yang selama ini masih kerja serabutan atau bahkan masih nganggur.
“Di antara kami ada juga mahasiswa yang paham dunia digital. Bikin workshop content creator ke anak-anak muda,” ujar Fahreza.
Selain itu, kelompok KKN Fahreza juga membuat workshop perihal pentingnya pendidikan, agar anak-anak desa setempat tidak membatasi pikiran mereka bahwa sekolah hanya cukup sampai SMP atau SMA. Lalu setelah lulus langsung kerja atau langsung menikah.
Memang tidak banyak. Namun, kata Fahreza, warga setempat tampak begitu senang. Bahkan ada saja warga yang request bikin program-program lain. Misalnya, workshop tentang budidaya tanaman tertentu. Namun, karena kemampuan mahasiswa KKN kelompok Fahreza terbatas, jadi tidak semua usulan warga bisa direalisasi.
“Tapi prinsipnya mereka senang dengan kehadiran kami. Toh kami juga nggak ekslusif dan menggurui. Tapi berbaur. Itu kuncinya,” kata Fahreza.
KKN boleh berakhir, tapi kapan saja silakan mampir
Perpisahan antara mahasiswa KKN kelompok Fahreza dengan warga desa tersebut berlangsung penuh haru. Saat seremoni perpisahan, banyak anak muda dan perwakilan warga yang mengucapkan terima kasih banyak. Sebab, bagaimanapun kehadiran mereka memberi dampak positif.
Bahkan, sebelum benar-benar meninggalkan desa, warga yang rumahnya menjadi posko berpesan, masa KKN Fahreza memang sudah berakhir. Tapi harapannya, Fahreza dan kawan-kawan tetap berkenan mampir jika suatu saat main lagi ke desa tersebut.
“Aku belum sempet mampir lagi. Tapi aku beberapa kali dapat laporan dari Pak Lurah, ada kok satu-dua anak muda yang akhirnya mempraktikkan ilmu yang didapat dari kami. Misalnya jualan online,” ucap Fahreza.
Kabar itu tentu saja membuat dada Fahreza terasa plong sekali. Bahkan juga menumbuhkan optimisme, bahwa setelah lulus kuliah Fahreza akan pulang ke desanya, lalu memberi kontribusi positif bagi warga desanya sendiri.
Sedih tidak bisa berguna di desa sendiri
Tapi optimisme tak selalu berhasil sepadan. Sebab, usai lulus kuliah dan memutuskan pulang ke desa, yang terjadi Fahreza justru merasa tidak bisa berguna.
Pertama, Fahreza menjadi petarung tunggal. Beda seperti di tempat KKN yang bareng-bareng bersama mahasiswa lain, yang juga berasal dari beragam latar belakang pendidikan.
Dengan begitu, upaya membuat program yang berdampak relatif lebih ringan dan tepat sasaran. Kalau sendirian, Fahreza mengaku berat harus memulai dari mana.
“Aku baru mau mulai saja, tipis-tipis lewat orang-orang terdekat, itu saja sudah bikin down. Karena aku masih dianggap sarjana anyaran yang sok pengin mengubah keadaan,” ungkap Fahreza.
Kedua, bisa jadi situasi tersebut berangkat dari kondisi Fahreza yang sebelumnya memang tidak begitu membaur dengan warga desanya sendiri. Sehingga agak sulit untuk membuka jalan berkontribusi di desa.
Pada akhirnya memilih tak peduli
Fahreza sempat membuat workshop soal bisnis secara gratis. Dia membuat pamflet yang disebar di beberapa titik desa. Namun, tidak lebih dari tiga anak muda yang datang ke rumahnya untuk belajar.
“Wong perangkat desa saja ada yang ngomong, nagapain to, Mas, pakai repot-repot membuat pelatihan segala. Sampean sendiri kan belum jadi apa-apa.” Makdeg!
Oke. Fahreza lalu memutuskan untuk memberi pembuktian. Dia mencoba merintis bisnis online dengan berbekal teori-teori bisnis yang dia pelajari selama kuliah.
Tapi inilah kesalahan Fahreza yang akhirnya dia sadari. Dulu saat kuliah dia memang sudah mulai menjajal merintis bisnis online. Tapi hanya sebagai coba-coba, bukan prioritas.
Sementara saat pulang ke desanya itu, dia harus menjadikannya sebagai prioritas untuk membuktikkan teori yang dia pelajari bisa menjadikannya sebagai pebisnis ulung.
Akan tetapi nyatanya tidak. Singkat cerita Fahreza kepayahan. Bisnisnya tidak memberi profit blas. Di titik itu pula dia baru sadar, selama ini dia hanya menerima laporan perihal anak-anak muda di desa tempatnya KKN yang mencoba-coba bisnis. Tapi dia tidak pernah bisa memastikan, apakah bisnis mereka sustain atau tidak.
“Akhirnya aku merantau lagi, kerja ikut orang. Bukan jadi perintis,” ungkap Fahreza.
Seiring itu, Fahreza juga memilih tidak terlalu peduli perihal “kontribusi untuk desa sendiri”. Dia lupakan bayangan itu. Memilih tidak peduli dengan kondisi di desanya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Warga Desa Sebenarnya Kasihan dengan Mahasiswa KKN: Duit Tipis, Hidup Susah, tapi Dituntut untuk “Mengentaskan Kemiskinan” atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
