Kebanggaan ketika menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) sempat berubah menjadi kesombongan. Namun, kini kesombongan tersebut luruh, berubah menjadi rasa malu. Sebab, usai kuliah jauh-jauh, justru berakhir menjadi karyawan pabrik kabupaten bersama teman-teman se-SMA dulu untuk ukuran lulusan sebuah kampus ternama.
***
Pukul 17.00 WIB, satu persatu karyawan sebuah pabrik makanan beku di Jawa Tengah meninggalkan kawasan pabrik: pulang. Salah satunya adalah Anggrek (24), bukan nama asli, yang baru bekerja beberapa bulan belakangan.
Anggrek tak langsung pulang. Ia duduk-duduk di area luar sembari menunggu suasana berangsur sepi. Hingga tiba-tiba ada dua orang perempuan seusianya mendekat dan menyapa.
“Lama nggak ketemu sejak kamu di Bogor, malah ketemunya di sini.”
Anggrek mencoba menunjukkan raut antusias merespons sapaan itu. Walaupun ia sebenarnya merasa kikuk berat.
Dua perempuan itu adalah teman-teman semasa SMA Anggrek. Bedanya, Anggrek bisa kuliah di IPB, sementara dua temannya tersebut hanya berhenti di SMA.
“Sore itu kami sempat cerita singkat, mereka sempat berpindah-pindah tempat kerja, lalu baru belakangan masukin lamaran ke pabrik ini. Aku keterima lebih dulu, mereka baru belakangan,” ujar Anggrek, Sabtu (13/12/2025).
Usai saling sapa singkat dan penuh kekikukan bagi Anggrek itu, sepanjang mengendarai motor untuk pulang, tatapan Anggrek agak kosong. Ada perasaan nelangsa usai pertemuan tanpa disengaja itu.
Kesombongan saat menjadi mahasiswa IPB
Dulu ketika lolos SMPTN (SNBP) dan menjadi mahasiswa IPB, Anggrek mengaku sampat agak sombong. Sebab, hanya lima orang yang bisa tembus ke kampus top tersebut.
Bahkan ada beberapa kalimat Anggrek, yang baru ia sadari kemudian, sebenarnya menyakiti hati teman-temannya yang lain. Terutama teman-teman yang hanya berhenti di SMA (tidak lanjut kuliah).
“Dulu, baru perpisahan sekolah saja, pas foto-foto aku teriak-teriak, ‘Calon maba (mahasiswa baru) IPB sini foto bareng’,” ujarnya.
“Kalau ngejar pendidikan itu setinggi-tingginya, sampai ke Bogor jauh dari kampung halaman di Jawa Tengah nggak masalah. Karena semakin tinggi pendidikan, semakin besar peluang untuk sukses.”
Kalimat itu amat sering Anggrek ucapkan dalam sharing-sharing soal perguruan tinggi menjelang perpisahan sekolah. Tanpa ia pikirkan kalau kalimat itu bisa menyinggung teman-temannya yang tidak bisa lanjut kuliah.
Lulus dari IPB, sempat nganggur di kampung halaman
Lulus dari IPB, Anggrek sebenarnya ingin melanjutkan hidup di Jabodetabek. Namun, ia tak bisa melawan kehendak orang tuanya.
“Aku anak tunggal. Karena sudah berpisah selama aku menjadi mahasiswa IPB, pas lulus orang tua penginnya aku pulang saja. Nyari-nyari kerja sedapatnya di kampung halaman,” kata Anggrek.
Tidak ada pilihan selain nurut. Mengingat, dulu seluruh biaya kuliahnya ditanggung oleh orang tua. Anggrek pun terpaksa pulang.
Tinggal di sebuah kabupaten kecil membuat Anggrek merasa kesulitan menggunakan ijazah IPB-nya. Lowongan kerja minim. Sekali ada, kebanyakan lebih memilih merekrut lulusan SMA/SMK/sederajat. Alhasil, Anggrek sempat menganggur selama satu setengah tahun.
Lamaran kerja di Jabodetabek tak ada yang tembus hingga ‘terancam’ dinikahkan
Karena merasa tak tahan, Anggrek sempat mengirim beberapa lamaran pekerjaan ke beberapa loker di Jabodetabek. Tapi ternyata juga tak kunjung ada panggilan. Makin nelangsa ia di rumah.
“Aku sempat kesel ke orang tua, gara-gara pulang ke kampung halaman, sekarang jadinya susah cari kerja. Eh orang tuaku jawab, ‘Wong nyatanya lamaranmu di Jabodetabek juga nggak ada yang tembus. Sama-sama susah cari kerja begitu, mending di kampung halaman kumpul sama orang tua. Lagian, namanya perempuan, nanti juga bakal ditanggung suami’,” beber Anggrek.
Orang tua Anggrek tak mengkhawatirkan kondisi Anggrek sebagai lulusan IPB yang susah cari kerja. Karena kalau memang tidak bisa kerja, orang tua Anggrek sudah siap menikahkannya. Itu jauh lebih aman.
Tapi anggrek menolak. Maka, ia terus berupaya mencari lowongan kerja sampai akhirnya keterima di sebuah pabrik makanan beku di kabupatennya di Jawa Tengah.
Jadi karyawan pabrik bergaji UMR, gengsi tapi hanya itu yang tersedia
Ketika wawancara kerja, pihak HRD sempat kaget dengan CV Anggrek. Kok mau-maunya lulusan IPB mendaftar kerja di pabrik yang lebih banyak membuka lowongan untuk lulusan SMA.
Selain itu, sekalipun berlabel lulusan IPB, pihak pabrik menegaskan akan memberi gaji Anggrek sama dengan karyawan-karyawan lain yang hanya lulusan SMA. Gajinya UMR kabupaten, di angka Rp2 jutaan.
Dari lubuk hati terdalam, Anggrek sebenarnya gengsi belaka. Label prestisiusnya sebagai lulusan IPB hanya mentok bekerja sebagai karyawan pabrik.
Tapi daripada dinikahkan dan tak punya pemasukan sendiri, mending ia ambil saja pekerjaan tersebut. Mumpung ada yang menerima. Anggrek kemudian ditempatkan di bagian pengecekan.
Bekerja bareng teman-teman se-SMA, merasa terhina
Setelah mengetahui fakta kalau ia bekerja dengan teman se-SMA-nya dulu, Anggrek harus menekan dalam-dalam gengsi dan egonya. Walaupun sebenarnya ia malu bukan main. Teringat ucapannya dulu soal “Pendidikan tinggi memperbesar jalan sukses”.
Sebab, nyatanya ia bekerja di tempat yang sama dengan teman-temannya yang hanya lulusan SMA. Gajinya pun sama.
Tidak hanya dua teman SMA, Anggrek lalu tahu kalau ternyata ada beberapa teman SMA lain yang bekerja di pabrik tersebut. Kalau bertemu, giliran Anggrek yang hanya bisa terdiam sembari menyimpan rasa kesal.
“Sesimpel ada temen tanya, ‘Loh kamu kan lulusan IPB, harusnya bisa kerja di Jakarta saja/kerja di perusahaan besar/jadi PNS’, itu rasanya kayak menghina banget,” tutur Anggrek.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
