Mahasiswa Double Degree di UGM dan Kampus Swasta, Tetap Bertahan Meski Asam Lambung Menyerang

Kuliah di UGM dan UAD. MOJOK.CO

Ilustrasi kuliah di UGM dan UAD sekaligus. (Mojok.co)

Menjalani kuliah S1 double degree di dua kampus sekaligus cukup berat. Mahasiswa UGM yang nyambi kuliah di UAD dan UII punya alasan bertahan meski tekanan hingga asam lambung menyerang.

***

“Dulu aku pernah ngedrop dua minggu masuk rumah sakit. Ada masalah di lambung yang muncul karena capek dan kebanyakan pikiran,” curhat Zidna, mahasiswa semester sembilan di Jurusan Hubungan Internasional UGM.

Di UGM, saat ini ia sedang berjuang menuntaskan skripsi. Namun, di saat bersamaan ia merupakan mahasiswa semester tiga di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jurusan Sastra Arab.

Sore ketika kami berbincang, ia baru saja menyelesaikan salah satu sesi kelas di UAD. Mlipir ke sebuah kafe supaya bisa berbincang lewat sambungan telepon bersama saya dengan tenang. Selain itu, ia memang ingin mencari tempat nyaman sebab harus segera mengerjakan setumpuk tugas seusai kelas.

Zidna mengakui, masuk dan menjalani kuliah di HI UGM saja butuh perjuangan yang cukup keras. Ia masuk lewat jalur mandiri pada 2019 silam. Jurusan itu merupakan rekomendasi dari orang tuanya.

“Orang tua pengin anaknya ada yang kerja yang nyambung dengan dunia internasional,” kata anak bungsu tiga bersaudara ini.

Tantangan tidak berhenti setelah lolos seleksi. Begitu menjalani kuliah, cewek berkacamata ini harus segera melakukan banyak penyesuaian. Pertama soal bahasa, di jurusan HI, semua literaturnya berbahasa asing.

Belum lagi tugas-tugas juga menuntutnya untuk terus membaca. Setiap pekan, ia dicecari deretan tugas mengulas jurnal ilmiah hingga esai berbahasa Inggris.

Sebagai salah satu jurusan dengan passing grade tertinggi di UGM, HI punya kultur akademik yang menurut Zidna lumayan kuat. Ia merasakan tekanan belajar yang cukup tinggi.

“Ya beberapa semester awal itu harapanku sederhana. IP nggak di bawah tiga,” kelakarnya.

Kuliah sambil berorganisasi

Meski kuliahnya cukup padat, perempuan asal Sleman ini mengaku tertantang untuk ikut banyak organisasi. Baik di kampus maupun luar kampus. Sebenarnya, ia sudah terbiasa aktif di organisasi sejak masih duduk di bangku SMA.

“Bahkan sampai semester lima itu aku lebih ambisius di organisasi ketimbang cari prestasi akademik,” kenangnya.

Di kampus saja ia pernah ikut lebih dari tiga organisasi. Di luar itu ia aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), organisasi yang menyita sebagian besar waktunya kala itu. Temannya sampai berkelakar kalau hidup Zidna itu habis di organisasi pelajar dan mahasiswa Islam tersebut.

Namun, ia mengaku tetap menikmati rutinitasnya di organisasi. Meski, sedikit mengalihkannya dari prestasi-prestasi akademik.

Sampai pada momen, Zidna terdorong untuk mulai mengejar prestasi akademik. Lewat lima semester kuliah di UGM, akhirnya ia mencoba peruntungan mengikuti beberapa lomba. Ia pernah mendapat peringkat ketiga pada ajang National Scientific Paper Competition.

“Itu momentum aku pengin membuktikan bahwa bisa berprestasi akademik,” paparnya.

Ilustrasi kesibukan mahasiswa di perguruan tinggi (Marvin Mayer/Unsplash)

Soal kuliah double degree, sebenarnya sudah jadi hal yang ia dambakan sejak awal kuliah. Namun, saat itu ia terkendala biaya. Pada masa yang sama, bapaknya yang berprofesi sebagai dosen sedang keluar uang banyak untuk studi S3.

“Kakakku juga sedang S2 saat itu,” cetusnya.

Akhirnya, ia pun mulai sedikit mengendurkan gairah organisasi meski tidak berhenti sepenuhnya. Menyeriusi kuliah sambil mencari beberapa pekerjaan sampingan untuk menyiapkan membiayai kuliah di tempat lain. Hal itu akhirnya terealisasi saat ia menginjak semester ketujuh di UGM.

Kesibukan di UGM dan UAD sempat bikin drop

Menginjak semester ketujuh, Zidna akhirnya memberanikan diri mendaftar ke UAD pada jurusan Sastra Arab. Pilihan ini bukan tanpa alasan.

Zidna mengaku setelah berkuliah HI punya ketertarikan pada isu Timur Tengah. Selain itu, menurutnya kawasan itu punya potensi jika ia ingin berkarir di dunia diplomasi. Salah satu bekal untuk mendalami dunia Timur Tengah adalah penguasaan bahasa Arab.

“Ya jadi memang ambil kuliah dobel itu harus ada tujuan yang jelas,” tuturnya.

Sebenarnya, pada semester tujuh ini ia tinggal hanya menyelesaikan skripsi di UGM. Namun, ada satu mata kuliah yang harus ia ulang supaya mendapat nilai maksimal.

Mulai senggangnya aktivitas di UGM membuatnya bisa meluangkan waktu untuk mendalami pembelajaran di UAD. Namun, Zidna ini memang orang yang cukup ambisius.

Ada luang sedikit, ia langsung mengisinya dengan beragam kegiatan. Salah satunya dengan banyak mengikuti lomba. Di sisi lain, ia juga masih ada aktivitas organisasi meski tidak sesibuk sebelumnya.

“Jadi pas Agustus 2023 lalu. Habis presentasi tiba-tiba badan saya drop. Masuk rumah sakit gara-gara asam lambung,” kenangnya. Memang, asam lambung kerap menyerang mereka yang stres dan banyak pikiran.

Ia mengaku dorongan untuk berkegiatan di berbagai tempat melebihi ketahanan fisiknya. Sehingga, ketika sudah benar-benar menumpuk ia jatuh sakit sampai perlu perawatan medis. Namun, baginya hal itu adalah konsekuensi dari jalan yang ia tempuh.

Baca halaman selanjutnya…

Kisah lain, hampir menyerah karena kuliah di UGM dan UII sekaligus

Ketika kuliah di dua tempat berbeda mulai bersamaan

Zidna mungkin menjalani double degree, namun ada sedikit perbedaan lini masa saat masuk UGM dan UAD. Narasumber saya lainnya, Sheila (23), benar-benar masuk di dua kampus yang berbeda pada waktu bersamaan.

Pada 2018 silam, ia diterima di Manajemen Internasional UII sekaligus Sastra Prancis UGM. Dua-duanya ia ambil karena beberapa pertimbangan tertentu.

Bagi Sheila, Sastra Prancis adalah bidang yang ia sukai dan mewakili minatnya. Sementara manajemen, menurutnya cocok dengan kemampuannya.

“Jadi saat SMA aku terhitung bagus di ekonomi dan matematika,” katanya.

Jadi, mulanya ia terlebih dahulu diterima di Manajemen Internasional UII. Sebelum akhirnya, muncul pengumuman SBMPTN di UGM.

“Kakakku memberi syarat. Aku boleh ambil dua-duanya asal IPK konsisten di atas 3,5,” katanya.

Sheila pun tertantang untuk menjalaninya. Jalan yang sebenarnya tidak mudah karena pasti banyak jadwal kuliah yang bertabrakan di masa-masa awal.

“Apalagi, baik di UII maupun UGM itu aku masuk di jurusan dengan mahasiswa sedikit. Cuma satu kelas. Artinya tidak banyak pilihan jadwal lain,” terangnya.

Sejak awal, Sheila mengaku langsung menyampaikan ke dosen-dosen tentang statusnya sebagai mahasiswa di dua kampus pada masa yang sama. Beruntung, dosennya memahami. Jadi, sesekali ia meminta izin telat masuk di salah satu kelas yang jadwalnya bertabrakan.

“Misal di UGM kelas jam 10.00-12.30 sedangkan di UII kelas mulai jam 12.00. Kebetulan karena aku sudah komunikasi dengan para dosen sejak awal, mereka memberi izin untuk telat,” katanya.

Pada semester awal saat sistem masih paket SKS, ia mengaku bisa bolak-balik UGM ke FE UII sampai tiga kali. Hampir menyerah, tapi ia mencoba untuk terus bertahan sesuai komitmen awal pada keluarganya.

Memang, salah satu konsekuensi terberat menjalani double degree adalah tersitanya waktu untuk melakukan kegiatan lain di luar perkuliahan. Salah satunya adalah waktu untuk mencari hiburan.

“Capek itu sudah pasti,” katanya.

Kunci menjalani kuliah double degree

Bagi Sheila, menjalani double degree memang perlu niat dan mental yang kuat. Belum lama ini, ia baru saja menamatkan studinya di UII dengan IPK 3,54. Sementara di UGM, ia masih proses menyelesaikan studi karena sempat mengambil cuti dua semester.

“Dulu aku sempat ada program belajar di luar negeri dari UII. Jadi saat itu yang UGM cuti dulu,” paparnya.

Selain urusan mental, biaya juga perlu persiapan matang. Double degree pada S1 hanya bisa antara PTN dan PTS. Sehingga, pasti perlu biaya lebih.

Zidna juga punya pendapat serupa. Double degree perlu punya tujuan yang jelas dan tidak sekadar ingin coba-coba atau gaya-gayaan semata.

“Kuliah di dua tempat sekaligus tujuannya apa nanti? Itu yang harus dipikirkan,” pungkasnya.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Kisah Mahasiswa UNY Bertahan Hidup di Jogja Bermodalkan Rp250 Ribu per Bulan

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version