Kuliah Kerja Nyata (KKN) dirancang agar mahasiswa belajar menubuh dengan masyarakat akar rumput. Jadi bukan semata mahasiswa datang ke pelosok desa, lalu membuat program yang berdampak pada warga setempat (kendati beberapa warga merasa sebenarnya tidak ada dampak yang mereka rasakan dari kehadiran mahasiswa KKN).
Maka, di sinilah pentingnya mahasiswa berbaur dan lebih interaktif alias napak tanah. Bukan malah—tanpa sadar—membangun pagar ekslusivitas. Sebab, pagar itulah yang kemudian membuat mahasiswa tidak benar-benar tahu apa sebenarnya aspirasi warga terhadap program-program KKN. Alhasil, program tersebut tidak berdampak sama sekali.
Mahasiswa kaya enggan KKN di pelosok desa sampai nangis-nangis
Pada 2023 lalu, Faruq (24) bersama beberapa temannya mahasiswa asal kampus Surabaya berangkat ke pelosok Nganjuk, Jawa Timur untuk menjalankan KKN. Saat itu Faruq ditunjuk sebagai ketua kelompok.
Sejak awal, Faruq sebenarnya sudah berfirasat buruk pada kelompoknya. Sebab, rata-rata adalah mahasiswa kaya, baik yang cowok maupun cewek.
Ketika tahu mereka akan dikirim ke sebuah desa pelosok, banyak dari mereka sudah mengeluh dan ngedumel. Misalnya, di Nganjuk berharap apa, Cok? Bisa nggak kalau mengajukan pindah ke Mojokerto atau bahkan Banyuwangi?
“Karena memang kalau ke Mojokerto, Lumajang, atau Banyuwangi, sudah kebayang ada banyak spot wisata untuk healing,” kata Faruq, Minggu (6/7/2025) sore WIB.
Bahkan, kata Faruq, ada satu teman perempuannya yang sampai nangis-nangis ke ibunya, karena harus menjalani KKN di pelosok desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota dan wisata.
“Dari situ saja tujuan KKN-nya sudah keliru. Mereka menerjemahkan KKN sebagai momen healing dan bersenang-senang, bukan pengabdian,” sambung Faruq.
Si teman perempuannya tersebut sempat mengajukan pindah lokasi kepada pihak dosen. Tentu bisa, asal ada satu mahasiswa dari kelompok lain yang mau bertukar posisi. Jelas saja, mahasiswa yang kebagian jatah ke daerah-daerah seperti Mojokerto, Lumajang, atau Banyuwangi tidak ada yang mau bertukar posisi.
Alhasil, si perempuan itu mau tidak mau harus tetap berangkat ke Nganjuk. Meski dengan setengah hati. Dari awal keberangkatan, Faruq melihat betapa si teman kelompoknya itu berangkat dengan ogah-ogahan.
Merasa risih dengan kehidupan warga desa
Yang sangat Faruq sayangkan, beberapa teman kelompoknya—yang rerata mahasiswa kaya itu—menunjukkan betul keengganan mereka live in di desa tersebut.
“Misalnya, kami kan dikasih posko salah satu rumah warga. Namanya juga di pelosok desa, nyuwun sewu, rumahnya ya seadanya. Alasnya masih tanah. Bangunan kayu reyot. Jadi kami tidurnya beralas tiker seadanya,” kata Faruq.
Faruq sendiri mengaku tidak ada masalah. Tapi beberapa temannya malah saling berbisik, “Anjir lah, gini amat KKN kita.” Padahal, pemilik rumah itu adalah sepasang suami-istri umut 50-an tahun yang sangat ramah.
Di awal penyambutan, si tuan rumah bahkan sampai effort menyuguhkan aneka hidangan. Ada pisang, gorengan, dan satu teko berisi teh hangat.
Hanya Faruq dan satu teman laki-lakinya yang mencomot dengan antusias hidangan tersebut. Sembari menyimak si tuan rumah bercerita panjang lebar. Sementara teman-temannya yang lain justru acuh tak acuh: saling berbisik sendiri dan sibuk menatap ponsel.
“Ada yang waktu itu minta izin ke kamar mandi. Habis dari kamar mandi, pas si tuan rumah sudah nggak menemani kami, mereka rasan-rasan lagi, ngeluh karena kondisi kamar mandinya kumuh kalau kata mereka,” sambung Faruq.
Baca halaman selanjutnya…
Tak betah dan merengek minta pulang, cuma numpang rebahan dan main hp
Tak betah hingga merengek minta pulang
Pada akhirnya, program-program KKN yang Faruq susun tidak berjalan dengan maksimal. Karena relatif hanya dia dan satu temannya yang aktif berinteraksi dengan warga. Sementara teman-temannya hanya formalitas belaka: mengikuti setiap kegiatan dengan ogah-ogahan.
Yang lucu waktu itu, belum juga berjalan satu bulan masa KKN, ada satu teman perempuannya yang sampai menangis tersedu-sedu karena tidak betah tinggal di desa tersebut.
Waktu itu, Faruq dan satu temannya sedang berembug di kediaman kepala desa untuk realisasi beberapa program. Balik ke posko menjelang Magrib, Faruq mendapati satu temannya menangis tersedu-sedu sembari ditenangkan oleh teman-temannya yang lain.
“Aku tanya kenapa? Ternyata nggak betah, nggak tahan hidup di lingkungan yang bagi dia nggak karuan itu. Dia itu ya mahasiswa yang sebelumnya nangis pengin pindah lokasi KKN,” kata Faruq.
Tapi bagaiamanapun, KKN harus terus berjalan hingga dinyatakan selesai (durasi dua bulan). Faruq mencoba memberi kelonggaran dengan mengizinkan temannya tersebut untuk bisa pulang ke Surabaya sejenak.
“Tapi yang terjadi, setelahnya dia malah jadi sering balik Surabaya tiap akhir pekan,” kata Faruq.
Faruq akhirnya menyadari kalau kelonggaran itu ternyata keliru. Sebab, teman-temannya malah memanfaatkannya untuk turut balik ke Surabaya di akhir pekan. Dari sepuluh mahasiswa KKN di desa itu, hanya menyisakan empat orang yang live in dua bulan penuh tanpa pulang/bolak-balik.
Faruq sempat ingin menghentikan kelonggaran tersebut. Tapi teman-teman sekelompoknya yang sering bolak-balik malah bilang tak mau ambil pusing. Mereka akan tetap bolak-balik. Ya sudah, maua bagaimana lagi.
Alhasil, KKN itu tidak menyisakan kesan baik kepada warga setempat. Tidak ada momen-momen haru saat pamitan. Lempeng saja. Karena ada atau tidaknya Faruq dan kawan-kawan, tidak berpengaruh apapun bagi warga.
Mahasiswa KKN cuma pindah tempat rebahan dan main hp
Cerita serupa juga dibeberkan oleh Savina (24), mahasiswa asal sebuah kampus di Jogja. Dia pernah menjalankan KKN di sebuah desa di Pacitan.
Berbeda dengan Faruq yang kelompoknya tidak antusias, teman-teman sekelompok Savina sejak awal sangat antusias berangkat ke Pacitan. Sebab, bayangan mereka tentang Pacitan adalah sebuah daerah dengan beragam pesona pantai dan keindahan alam lain.
Sehingga, mereka sudah sibuk membayangkan bakal mampir ke pantai mana nanti, alih-alih memikirkan bagaiamana realisasi program-program untuk warga desa.
“Sebenarnya dari sepuluh anak, cuma tiga sih yang masuk kategori mahasiswa kaya. Tapi agak repot memang sama mereka. Karena kan manja ya. Jadi lebih banyak di posko, rebahan, main hp. Jarang lah mau diajak serawung sama warga di luar urusan program,” ucap Savina.
Padahal, bagi Savina, serawung dengan warga adalah bagian dari belajar menubuh dengan akar rumput, selain juga untuk kepentingan pragmatis demi memberi kesan baik kepada warga setempat.
Malas saat jalankan program, semangat saat foto-foto
Untungnya, program-program yang mereka susun berjalan sesuai rencana. Hanya memang, kalau ada catatan, ya dari tiga mahasiswa kaya itu. Karena memang kelihatan betul malas-malasan kalau diajak turun bersama warga.
Bahkan, di saat teman-teman KKN lain sangat riang berbaur dan bermain dengan anak-anak kecil desa, tiga mahasiswa kaya itu malah menunjukkan kesan tak nyaman dengan keberadaan anak-anak tersebut.
“Jadi selama masa KKN, murung terus wajahnya. Malas-malasan. Tapi pas akhir KKN, karena waktu itu kami mampir di beberapa pantai dan tempat wisata, mereka tampak girang banget foto-foto,” sambung Savina.
Momen itu memang sudah berlalu. Akan tetapi, kalau diingat-ingat, Savina mengaku masih suka gemas sendiri.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Dapat Kelompok KKN “AFK” dan “Nggak Napak Tanah” Itu Seburuk-buruknya Nasib: Merepotkan Teman dan Warga Cuma Demi Nilai A atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
