Pengalaman Trauma Pasca Tsunami Aceh Antarkan Pemuda Ini Kuliah ke London Jurusan Manajemen Bencana dengan Beasiswa

Rifqi Irvansyah berhasil menyelesaikan kuliah S2-nya di UCL, Inggris pada tahun 2024. (Dok.Pribadi)

Sebagai saksi atau korban selamat dari kengerian tsunami Aceh pada Minggu (26/12/2004), Rifqi Irvansyah (29) memutuskan kuliah di luar negeri Jurusan Teknik Gempa dan Manajemen Bencana dengan beasiswa S2 LPDP. Ia berharap Indonesia belajar dari trauma, serta sadar betapa pentingnya mitigasi bencana.

***

Rifqi sedang asyik menonton televisi bersama keluarganya saat tanah yang mereka duduki berguncang hebat. Mulanya, mereka mengira kejadian itu hanyalah gempa biasa seperti di hari-hari sebelumnya.

Sampai kemudian, seorang tetangganya berteriak “Ie laot ka ie ek (air laut sudah naik)!” yang membuat Rifqi dan keluarganya bergegas lari mencari dataran lebih tinggi. Sebagai anak yang baru berusia 9 tahun saat itu, Rifqi hanya mengikuti langkah anggota keluarganya tanpa banyak bicara.

“Aku melihat semua orang panik. Kami lalu lari ke gunung, mengamankan diri hingga sore hari. Syukur alhamdulillah, air tsunami tidak sampai ke tempat kami berlindung. Jaraknya 2 sampai 3 kilometer dari atas genangan tsunami,” tutur Rifqi saat dikonfirmasi Mojok, Selasa (26/8/2025).

Belajar dari peristiwa traumatis

Pasca tragedi memilukan itu terjadi, Rifqi hanya bisa melihat kotanya yang sudah luluh lantak. Nyaris seluruh bangunan rusak dan hanya menyisakan puing-puing. Gempa berkekuatan 9,3 SR itu juga menenggelamkan korban sekitar 227 jiwa dan menyisakan duka mendalam bagi orang-orang yang ditinggalkan.

“Padahal dengan pengetahuan yang cukup, mereka dapat lebih siap dan lebih mampu melindungi diri bersama keluarga mereka,” kata Rifqi. 

Memori itu begitu membekas sehingga mendorong dirinya untuk menjadi ahli bencana. Ia pun memilih Jurusan Teknik Sipil di Universitas Syiah Kuala, Aceh. Semasa kuliah S1–sebelum mendapat beasiswa S2 LPDP, Rifqi mulai terlibat dalam riset kebencanaan bersama dosennya. Riset itu merupakan kolaborasi kampusnya dengan University College London (UCL).

Dari sana, ia pun semakin tertarik dengan upaya mitigasi bencana. Sebab, disiplin ilmu tersebut dapat membantu banyak orang di sekitarnya khususnya Indonesia yang masuk dalam ring of fire.

Rifqi Irvansyah mengangkat toga. MOJOK.CO
Rifqi Irvansyah saat kuliah di luar negeri tahun 2024.(Dok.pribadi)

Usai lulus kuliah S1, Rifqi tak langsung melanjutkan S2 karena ia sadar akan keterbatasan ekonomi keluarganya. Oleh karena itu, sambil bekerja sebagai freelance ia mulai mencari informasi soal beasiswa dan kampus yang ia tuju. Ia pun mulai mengantongi syarat-syarat mendapatkan beasiswa S2, termasuk LPDP serta tips kuliah di luar negeri.

Baca Halaman Selanjutnya

One shot lolos beasiswa kuliah S2 meski sempat ragu

One shot lolos beasiswa kuliah S2 meski sempat ragu

Sejak kuliah S1, Rifqi sudah menyadari jika Jurusan Teknik Gempa dan Manajamen Bencana sangat jarang di Indonesia. Menurutnya, ada beberapa kampus terbaik yang menawarkan jurusan tersebut, tapi posisinya ada di luar negeri. 

Otomatis, ia harus kuliah ke luar negeri jika ingin meneruskan mimpinya. Sayangnya, Rifqi tidak terlalu percaya diri dengan kemampuan Bahasa Inggris-nya. Ia pun tak yakin bisa menembus target IELTS sebagai syarat kuliah ke luar negeri.

“Buat kejar IELTS rasanya nggak mungkin dan jauh dari standar. Apalagi, saat itu pandemi Covid melanda, makin hopeless buat kejar beasiswa kuliah ke luar negeri,” kata Rifqi.

Singkat cerita, temannya menyarankan agar Rifqi mendaftar beasiswa LPDP Daerah Afirmasi karena syaratnya menggunakan TOEFL ITP. Dimana ia merasa tingkat kesulitannya jauh lebih mudah dibandingkan IELTS.

Rifqi berhasil menyelesaikan kuliah S2 di UCL tahun 2024. (Dok.Pribadi)

“Akhirnya aku memberanikan diri mendaftar beasiswa LPDP jalur Daerah Afirmasi. Alhamdulillah di akhir 2021, rezeki dan hilal S2-ku makin nampak,” kata Rifqi yang lolos beasiswa LPDP pada percobaan pertama.

Berdarah-darah belajar Bahasa Inggris

Perjuangan Rifqi tak berhenti sampai di situ. Usai mendapat beasiswa LPDP, ia masih harus mendapatkan Letter of Acceptance (LoA). Salah satu syaratnya adalah lolos IELTS. Ia harus berusaha lebih keras untuk mencapai skor yang dibutuhkan.

“Skorku terus-terusan nggak mencapai target. Rasanya pingin nyerah dan berpikir, apa aku memang nggak bisa dan nggak cocok kuliah ke luar negeri?” kata Rifqi.

Namun, ia segera membuang jauh pikiran negatif tersebut dan terus berlatih melebihi batas kemampuannya. Sayang juga kalau beasiswa LPDP yang sudah ia dapatkan tak jadi digunakan.

Akhirnya, dalam waktu empat bulan setelah melalui proses latihan setiap hari, skor IELTS mencapai target. Dari beberapa kampus yang ia daftar, ia juga mendapat LoA dari 5 kampus top di luar negeri.

“Aku pun memilih lanjut S2 di University College London (UCL). Selain karena UCL adalah mimpiku sejak dulu, UCL juga merupakan salah satu kampus terbaik untuk belajar Earthquake Engineering,” kata Rifqi.

“Tapi karena dapat LoA dari UCL di akhir 2022, aku mengajukan defer ke LPDP. Dan baru berangkat study abroad ke Inggris tahun 2023,” lanjutnya.

Satu tahun berlalu, Rifqi akhirnya mendapatkan gelar cumlaude. Saat ini, ia pun meneruskan studi S3-nya di UCL dengan beasiswa LPDP.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Perjuangkan Mimpi dari Unesa hingga Kuliah S2 di Boston Amerika, meski Berat usai Ayah “Pergi” atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version