Dulu aku sering dikatai bodoh karena aku tuli. Kini aku bisa membuktikan diri.
***
Aku masih bisa merasakan gemetar di ujung jariku saat itu. Selasa (21/10/2025) pagi, semua mata seolah tertuju padaku ketika aku naik ke atas mimbar di Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan (UMPP).
Ruangan itu penuh, tapi yang kudengar hanyalah kesunyian. Kesunyian yang menemaniku sejak kecil.
Di sampingku berdiri seorang interpreter bahasa isyarat. Bersamanya, aku akan menyampaikan pidato kelulusan. Ya, aku bakal menjadi mahasiswi tuli pertama yang diwisuda di kampus ini.
“Perkenalkan,” kataku, melalui gerakan tangan yang sudah menjadi bahasaku sehari-hari.
“Saya Ika Rizki Damayanti. Saya tuli sejak usia satu tahun. Alhamdulillah, hari ini saya bisa lulus D3 Manajemen Informatika UMPP.”
Interpreter di sebelahku menerjemahkan setiap isyarat ke dalam kata-kata. Suaranya menjadi jembatan antara duniaku dan dunia mereka.
Tepuk tangan menggema ketika aku menyelesaikan pidato. Namun, bagiku, semuanya hanya seperti bayangan yang bergetar di udara. Aku tahu mereka bertepuk tangan bukan bukan karena aku mendengarnya, tapi karena aku melihat gerak dan membaca senyum mereka.

Tuli sejak usia setahun, tapi SD-SMP di sekolah umum
Sebelum aku sampai di titik ini, ada begitu banyak dinding yang harus aku panjat satu per satu. Aku lahir sebagai anak yang bisa mendengar. Tapi saat berusia satu tahun, demam tinggi datang seperti badai.
Setelah itu, duniaku menjadi hening. Tak ada lagi tawa, tak ada lagi suara ibu memanggil namaku. Semua orang panik, tapi aku terlalu kecil untuk mengerti bahwa pendengaranku telah hilang selamanya.
Namun, aku bersekolah di SD dan SMP umum, bukan di sekolah luar biasa (SLB). Tidak ada juru bahasa isyarat di sana. Juga tidak ada sistem yang memfasilitasi anak tuli.
Lantas, apa yang kulakukan? Aku belajar membaca gerak bibir, menebak-nebak maksud orang lewat ekspresi wajah, dan sering kali menulis di kertas hanya untuk mengatakan sesuatu yang sederhana seperti “saya tidak mengerti.”
Semua itu saya lakukan secara autodidak.
Sering dikatai bodoh dan dianggap tak normal
Gara-gara kondisiku itu, banyak yang mengira aku anak bodoh. Mereka tak tahu betapa kerasnya aku berusaha memahami dunia yang tidak memberi ruang untukku.
Ada hari-hari ketika aku pulang sekolah dengan mata bengkak karena menangis. Namun, di tengah kesunyian itu, aku belajar untuk bertahan.
Baru ketika aku masuk SMA luar biasa (SLB), aku menemukan rumah kedua. Di sanalah aku belajar bahasa isyarat–bahasaku sendiri.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku bisa bercakap tanpa menebak. Aku bisa tertawa tanpa takut salah paham. Aku bisa merasa “normal” dengan caraku sendiri.
Aku bertemu teman-teman tuli lain yang punya cerita mirip denganku. Kami punya luka yang sama, tapi juga semangat yang sama. Dari situ, aku belajar bahwa menjadi tuli bukan berarti kehilangan suara.
Kami hanya berbicara dengan cara yang berbeda.
Bangkit dan mendirikan komunitas tuli
Tahun 2020, sebelum aku lulus SMA, aku dan beberapa teman mendirikan Komunitas Tuli Muda. Awalnya kami hanya ingin saling berbagi. Tapi kemudian, kami menyadari, bahwa kami ingin dunia tahu kami ada.
Maka, kami pun mulai membuka kelas bahasa isyarat untuk masyarakat umum. Per hari ini, sudah lima tahun kami melakukannya. Dan, setiap kali melihat orang dengan berusaha memahami isyarat kami, hatiku sangat bahagia..
Selain aktif di komunitas, aku juga sudah tiga tahun menjadi juru bahasa isyarat di program berita Batik TV. Di layar, aku membantu menerjemahkan informasi bagi teman-teman tuli.
Rasanya seperti menjadi jembatan kecil yang menghubungkan dua dunia.
Sempat ragu kuliah di UMPP
Ketika aku diterima di UMPP, jujur aku sempat ragu. Aku takut tidak akan dipahami, takut tak bisa mengikuti pelajaran tanpa juru bahasa. Namun, perlahan tapi pasti, kampus mulai berubah.
Dosen-dosen mencoba menyesuaikan cara mengajar mereka, teman-teman membantuku menyalin catatan, dan bahkan pihak kampus mulai menghadirkan interpreter dalam beberapa kegiatan.
Aku melihat sendiri bagaimana UMPP berusaha menjadi kampus inklusif.
Hari itu di mimbar, aku berkata melalui tangan, “Tuli dan dengar itu sebenarnya sama. Hanya berbeda pilihan bahasa. Seperti orang Indonesia, orang Inggris, dan orang Arab, semuanya berbahasa berbeda, tapi tetap manusia yang sama.”
Aku bisa melihat beberapa orang menunduk, mungkin terharu. Aku tahu mereka mulai mengerti maksudku.
Simbol perjuangan inklusivitas
Setelah pidato itu, banyak orang datang menghampiri. Beberapa mengucapkan selamat, beberapa meminta foto bersama.
Bagiku, hari wisuda itu bukan sekadar hari kelulusan. Ia adalah simbol kecil bahwa perjuangan untuk inklusivitas sedang diusahakan.
Aku tahu jalan masih panjang. Tapi aku juga tahu, setiap tangan yang bergerak dalam bahasa isyarat, setiap kampus yang mulai membuka ruang, adalah langkah menuju dunia yang lebih adil bagi kami.
Kini, aku berharap UMPP benar-benar menjadi kampus ramah difabel, bukan hanya dalam visi, tapi juga dalam tindakan. Karena inklusif bukan soal belas kasihan, melainkan soal kesempatan yang setara.
Tulisan ini diolah dari tutur cerita Ika Rizki Damayanti yang dimuat dalam laman Muhammadiyah, Rabu (22/10/2025)
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mahasiswa Lain Akrab dengan Kafe dan Bioskop, Saya Anak KIP Kuliah Harus Jualan Semalaman demi Bahagiakan Ortu meski Dicaci Orang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan