Curhat Anak Mapala yang Bisa Lulus Tepat Waktu, Meski Dianggap Malas Kuliah dan Nakal

Ilustrasi Mapala (Mojok.co)

Saya masih ingat betul, semasa awal kuliah hasrat untuk gabung Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) begitu besar. Pasalnya, saya sejak SMA suka berkegiatan alam. Namun, keinginan itu pupus setelah mendengar desas-desus bahwa anak Mapala pasti kuliahnya lama.

Sebagian memang begitu. Namun, di balik itu ternyata banyak mahasiswa yang aktif di organisasi tersebut tapi nyatanya lulusnya tepat waktu, bahkan bisa mudah dapat kerjaan gara-gara pernah jadi pecinta alam.

Salah satunya adalah Hasna (24), yang bisa lulus tepat waktu di UMS.  Selepas itu, ia pun tidak perlu berlama-lama menganggur.

“Lha wong temanku yang Mapala aja bisa jadi mahasiswa berprestasi di fakultas,” kata Hasna saat saya ajak berbincang.

Hasna terpikat gabung Mapala karena atraksi yang ia lihat saat ospek UMS. Kakak tingkatnya tangkas bergelantungan di atas gedung memperagakan kemampuan rapling. Atraksi semacam ini memang jadi andalan pecinta alam untuk memikat para mahasiswa baru.

Seperti saya, Hasna sempat merasakan kegamangan sebelum akhirnya nyemplung di Mapala. Orang tuanya bahkan sempat mengancam untuk tidak memberi uang saku kalau ia nekat gabung dengan organisasi yang penuh mas-mas gondrong ini.

“Ibuku takut kalau anaknya ini nanti keteteran kuliah. Tapi ya aku tetap nekat,” kelakarnya

Awalnya Hasna mengikuti organisasi tersebut secara diam-diam. Eh ndilalah, kakaknya melapor ke ibu setelah melihat unggahan kegiatan diksar yang Hasna unggah di media sosial.

Ibunya sampai pernah menghubungi salah satu senior di Mapala. Meminta pertanggung jawaban kalau anaknya sampai keteran kuliahnya. Hal itu justru jadi pelecut buat perempuan asal Klaten ini untuk membuktikan bahwa organisasi yang ia ikuti tidaklah membuat kuliahnya keteteran.

“Ya walaupun setiap pulang habis kegiatan, kulit tambah item, ibu pasti ngomel-ngomel,” ujarnya terbahak.

Selain anggapan telat kuliah, nyatanya banyak stereotipe yang melekat pada para pecinta alam ini. Misalnya dikira nakal, suka minum-minum, dan bermacam lainnya.

“Padahal ya nggak gitu juga. Itu mah tergantung orangnya,” celetuk Hasna.

Mapala UMS.MOJOK.CO
Ilustrasi Mapala, sering naik gunung dan dianggap malas kuliah (Mojok.co)

Rahasia bisa lulus cepat

Kegiatan di Mapala mewarnai empat tahun perjalanan Hasna di UMS. Selain urusan-urusan kegiatan alam, terkadang Hasna juga menjalani acara-acara di dalam kampus.

Pada 2018, ia sempat menjadi pembawa acara di sebuah agenda organisasinya di kampus UMS. Saat itu, pembina organisasinya adalah Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMS tempatnya menempuh studi.

“Sepertinya di saat itu beliau notice aku. Sejak saat itu kami sering komunikasi karena aku di bagian humas Mapala. Terlebih, di semester lima itu beliau ngajar di kelasku. Pernah suatu kali ujian, semua anak di kelasku dapat C, cuma aku yang nggak,” paparnya.

“Rahasianya tau apa? Aku tulis ‘Salam Lestari’ di lembar jawaban,” imbuhnya terbahak. Tentu, bukan itu satu-satunya alasan. Hasna mengaku belajar serius menjelang ujian.

Sampai semester delapan, ia mengaku kuliahnya lancar tanpa hambatan harus mengulang banyak mata kuliah. Selepas itu, tibalah masa skripsi yang menentukan. Sebagian mahasiswa yang lancar pada masa teori bisa tergelincir dan telat karena molor semasa skripsi.

Saat jadwal pengumuman dosen pembimbing, kebetulan Hasna sedang mengikuti acara diksar untuk adik tingkatnya. Ia masuk ke hutan tanpa sinyal.

“Saat pulang baru bisa cek, ternyata aku dapat dosen pembimbing yang killer banget di fakultasku,” tuturnya.

Selepas itu, ia mencoba untuk berkonsultasi dengan dekannya mengenai kemungkinan untuk berganti dosen pembimbing. Beberapa hari berselang, saat mengecek laman KRS, ternyata dosen pembimbingnya sudah berganti.

“Ya akhirnya aku bener-bener ngebut. Mulai skripsi semester delapan dan sidang di semester itu juga. Tepat waktu dan bisa membuktikan ke ibuku,” ujarnya bungah.

Selepas itu, ia juga bisa cepat mendapat pekerjaan. Ya riwayat organisasi ini ternyata juga tetap menjual bagi beberapa tempat kerja. Apalagi, buat mereka yang bisa menyeimbangkan antara kuliah dan kerja.

Mapala tidak perlu khawatir saat pergi ke berbagai kota

Memang, Hasna mengakui kalau menjadi anak Mapala itu harus pintar-pintar membagi waktu. Jika tidak, kemungkinan besar memang terlena dan lulus lama.

Hal yang kadang menjadi tantangan, selain fisik dan mental saat berkegiatan alam, adalah dana-dana yang perlu ia persiapkan untuk membeli peralatan.

Di sisi lain, Hasna mengaku punya banyak pengalaman menarik selama bergabung di Mapala. Salah satunya bisa dapat pacar di sana. Selain itu, ia juga mengaku sering merasa tidak perlu khawatir saat bepergian ke luar kota.

Solidaritas antar sesama pecinta alam memang kuat. Tidak hanya dalam lingkup satu kampus juga, melainkan antar kampus.

“Ya aku pernah pergi ke Semarang, butuh tempat transit, bisa ke sekre kampus di sana. Di Jogja juga begitu. Pokoknya enak,” ungkapnya.

Upaya mengubah stereotipe

Saya juga sempat berbincang dengan Hawari (24), anggota Mapala UPN Veteran Yogyakarta. Ia mengakui kalau organisasi ini penuh dengan anggapan miring.

“Bahkan ya banyak yang menganggap kami ini jarang mandi,” kelakarnya.

Memang, pada kondisi tertentu seperti kegiatan alam maupun kerelawanan, mereka jarang mandi. Salah satunya, saat ia menjadi relawan di Palu pasca bencana gempa 2018 lalu.

Selain itu, masalah kekerasan di organisasi pecinta alam, baginya memang jadi momok. Namun, sekarang sudah banyak Mapala yang berusaha mengubah wajahnya.

Jika dulu gertakan dan hukuman kadang muncul secara sporadis tanpa menjelaskan alasan logisnya, lelaki sempat aktif di Badan Pendidikan dan Latihan, berusaha mengubah pendekatan. Latihan dan kegiatan tidak harus tegang dan bisa berjalan dengan menyenangkan.

“Dulu kan sedikit-sedikit disuruh koprol. Sekarang nggak begitu. Harus jelas, ketika ada hukuman ya peserta juga harus diberi pemahaman kenapa,” paparnya.

Satu hal yang jelas, bagi pemuda asal Depok ini, Mapala membuat anggotanya menjadi pribadi tangkas dan bisa diandalkan. Mereka dilatih untuk bisa menguasai berbagai keterampilan. Istilahnya, “opo-opo kudu iso”.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Kisah Mahasiswa UNY Bertahan Hidup di Jogja Bermodalkan Rp250 Ribu per Bulan

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version