Lulus SMA, Roxi (24) punya mimpi menjadi pendeta. Tapi apa mau dikata, banyak risiko yang tak berani ia ambil, sehingga memilih Jurusan Ilmu Pendidikan Kristen di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Setelah sarjana, Roxi berharap menjadi guru, tapi langkahnya lagi-lagi terhenti.
IAKN Palangka Raya menyelamatkan saya
Rasa kecewa menyelimuti diri Roxi saat mendengar pengumuman kalau dia ditolak di Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah tahun 2019 lalu. Dari dulu, pemuda asal Kabupaten Gunung Mas itu sudah mengincar kampus peringkat ke-53 di Indonesia tersebut.
Namun, takdir memang berkata lain. Roxi sempat ingin menyerah dan langsung mencari kerja. Apalagi, ia tak sampai hati kalau harus membebani orang tuanya yang mengurus enam orang anak. Sedangkan, dua di antaranya juga sedang kuliah. Tanpa diduga, orang tua Roxi justru mendukungnya kuliah.
“Aku sempat ragu untuk kuliah karena nggak tau bisa dapat biaya dari mana, tapi orang tua saat itu mendorongku penuh, sehingga akhirnya aku punya tekat yang kuat,” kata Roxi saat dihubungi Mojok, Rabu (21/5/2025).
Beberapa teman dan kakaknya juga memberikan informasi tentang kampus yang bisa Roxi masuki. Dari sanalah, ia akhirnya mendaftar Jurusan Ilmu Pendidikan Kristen di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Palangka Raya.
Karena tidak lolos lewat jalur prestasi maupun ujian tulis berbasis tes komputer (UTBK), harapan satu-satunya adalah lewat jalur mandiri. Dengan kata lain, ia harus membayar biaya pendaftaran, uang gedung, dan uang kuliah tunggal (UKT).
“Sebetulnya UKT ku nggak terlalu mahal, Rp1.550.000. Kalau biaya gedungnya aku lupa berapa,” kata dia.
Kuliah di IAKN Palangka Raya menyenangkan
Selain masalah ekonomi, Roxi mengaku tak ada kendala yang berarti saat menjalani aktivitas perkuliahan. Bahkan ia aktif mengikuti organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Agama Kristen (PAK), menjadi Ketua Menteri Advokasi dan HAM di BEM Institut Agama Kristen IAKN Palangka Raya, hingga menjadi Gubernur FKIPK.
“Kuliah di IAKN sungguh menyenangkan. Banyak hal baru yang aku dapatkan, terutama saat aku aktif berorganisasi,” ujarnya.
Selain aktif berorganisasi, Roxi juga tak melupakan tujuan awalnya di bidang akademik. Salah satu materi kuliah yang paling ia sukai adalah Teologi Ekologi. Materi itu menyoroti khusus isu-isu soal kerusakan lingkungan dan upaya penanganannya dari perspektif teologi.
Melansir dari brosur penerimaan mahasiswa baru tahun akademik 2025/2026, IAKN Palangka Raya juga menyediakan program studi (prodi) untuk sarjana Pendidikan Kristen Anak Usia Dini, Manajemen Pendidikan Kristen, Pendidikan Musik Gereja, serta Bimbingan dan Konseling Kristen.
Di Fakultas Ilmu Sosial dan Keagamaan Kristen terdapat prodi Teologi, Kepemimpinan Kristen, Pastoral Konseling, Sosiologi Agama, Psikologi Kristen. Sedangkan di Fakultas Seni dan Keagamaan Kristen ada prodi Musik Gereja, dan Seni Pertunjukkan Keagamaan.
Baca Halaman Selanjutnya
Proses pengangkatan guru rumit
Namun, kebahagiaan Roxi tiba-tiba sirna, setelah lulus sarjana Ilmu Pendidikan Agama Kristen di IAKN Palangka Raya. Sebab ternyata, proses menjadi guru tak semudah yang dibayangkannya. Terlalu rumit.
Tepat di tahun 2024 setelah Roxi lulus, pemerintah menghapuskan status guru honorer di sekolah negeri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, hanya terdapat dua jenis pegawai ASN yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian Kerja (PPPK).
Alur pengangkatan guru yang penuh ketidakpastian itu juga membuat Roxi semakin bingung. Berdasarkan informasi yang ia ketahui saat itu, pengangkatan PPPK harus mengikuti pelatihan minimal 2 tahun mengajar.
Atau istilah lain yang dibuat pemerintah adalah Program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Untuk mengikuti program tersebut, pendaftarnya pun harus sudah punya tempat mengajar.
“Pertanyaannya adalah, gimana bisa masuk PPPK atau PPG, sedangkan guru honorer dihapus?” tanya dia.
Jadi guru dan pendeta, ternyata sama saja susahnya
Alih-alih membangun kesejahteraan guru, Rozi merasa kebijakan di atas malah kurang tepat. Bahkan guru honorer pun masih bisa mendapatkan gaji meski sedikit. Berbeda dengan syarat PPG yang baru dapat gaji jika dinyatakan lulus.
“Alhasil, banyak juga lulusan dari IAKN Palangka Raya yang bekerja tidak sesuai profesi, bahkan setahuku teman-temanku banyak yang nganggur,” kata Roxi.
Jujur saja, kondisi itu membuat Roxi seringkali overthinking. Bagaimana jika dulu dia masih memperjuangkan mimpinya menjadi pendeta alih-alih menjadi guru pendidik? Dulu, saat SMA ia memang punya cita-cita menjadi pendeta tapi menurutnya proses tersebut terlalu lama.
“Untuk jadi pendeta harus menempuh masa studi selama 4 tahun. Lalu, 4 tahun lagi jadi viralis. Setelah itu baru bisa disebut pendeta,” ujar Roxi.
Eh, setelah lulus sarjana di IAKN Palangka Raya, ternyata sama saja. Roxi masih harus mengikuti program bertele-tele supaya bisa mengajar dan menjadi guru.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Nestapa Para Guru yang Nyaris Menyerah Daftar CPNS, Kesejahteraan Makin Jauh dari Harapan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
