Jeritan Hati Pedagang Pasar Klithikan Pakuncen yang Minta Pemerintah Turun Tangan

Ilustrasi Jeritan Pedagang Pasar Klithikan Pakuncen yang Minta Pemerintah Turun Tangan. MOJOK.CO

Pasar Klithikan Pakuncen pernah berjaya sebagai tempat mencari barang bekas atau lawasan. Kini suasana di pasar barang tersebut membuat pedagang di sana menjerit meminta pemerintah turun tangan.

***

Pendi (53) adalah salah satu pedagang di Pasar Klithikan Pakuncen paling konsisten yang saya temui. Di pasar barang bekas tersebut, ia tetap menjual sepatu bekas di sisi selatan pasar. Pedagang lainnya sebagian besar menjual barang-barang baru.

Pasar Klithikan Pakuncen awal mula berdiri memang menjadi tempat jual beli barang-barang bekas di Kota Yogyakarta. Dulunya pedagang di sana merupakan pindahan dari penjual klithikan yang ada di trotoar Jalan Pangeran Mangkubumi (kini Jalan Margo Utomo), Jalan Asem Gede, dan Alun-alun Kidul.

“Dahulu ini pasar sukses, Mas. Nasib [saya] awal-awal setelah pindah bagus, tapi tahun 2016-an kondisinya mulai lumpuh. Hampir gada orang, penjual klithikannya habis ya otomatis pembelinya pada ilang. Lha, wong pasar klithikan og barang klithikane ora ono,” kata Pendi laki-laki asal Jawa Timur yang saya temui belum lama ini di Pasar Klithikan Pakuncen. 

Berawal dari banyaknya pedagang klithikan di trotoar jalan

Pada tahun 1990-an hingga 2000-an, keberadaan pasar klithikan di Yogyakarta menjamur. Di Jalan Pangeran Mangkubumi, keberadaan pedagang bahkan menguasai trotoar sisi barat jalan. Kondisi ini membuat jalan utama menuju Stasiun Tugu dan Malioboro ini kerap macet di sore hingga malam hari. 

Akhirnya di tahun 2007 atau saat Herry Zudianto menjabat sebagai Walikota Jogja, pasar klithikan disatukan di Pakuncen yang dulunya merupakan Pasar Hewan Yogyakarta. 

Tidak sedikit pedagang yang menolak kebijakan tersebut. Pendi awalnya merupakan salah satu pedagang di Pasar Klithikan di Jalan Pangeran Mangkubumi. “Mereka yang nolak [Relokasi] udah kerasan mas di [Jalan] Mangkubumi. Ngga mau pindah takut nek pelanggannya ilang. Apalagi kalau pindah belum tentu seramai di Mangkubumi,” kata Pendi.

Namun, tidak semua pedagang di Jl P Mangkubumi menolak kebijakan tersebut. Beberapa dari mereka memilih untuk sepakat dengan kebijakan tersebut, lantaran pemerintah menjanjikan suatu area permanen yang nyaman, serta menjamin kepastian usaha yang mereka lakukan. 

Sehingga, secara tidak langsung, pemerintah juga bertanggung jawab dan menjamin berlangsungnya para pedagang yang menempati Pasar Klithikan Pakuncen.

Pasar Klithikan Pakuncen kini sepi pembeli.
Pasar Klithikan Pakuncen tampak depan. (Iradat Ungkai/Mojok.co)

Maka pada tahun 2007, Pasar Klithikan Pakuncen resmi beroperasi sebagai pasar di bawah kepemilikan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Yogyakarta. Nama klithikan sendiri menurut Yunanto Wiji Utama dalam bukunya berjudul “Pasar Klithikan Yogyakarta: Berburu Barang Bekas dan Unik”, memiliki makna sebagai aktivitas berjalan-jalan santai untuk mencari dan membeli barang bekas milik orang lain.

Skena ‘cah acara’ di Pasar Klithikan Pakuncen

Hadirnya tradisi klithikan atau mencari barang bekas sempat menjamur beberapa waktu silam. Klithikan turut meramaikan trend “cah acara” bagi anak-anak muda di Jogja. Trend semacam ini mengandaikan adanya sekelompok pemuda Jogja yang menyukai band-band lokal, serta aktif meramaikan setiap konsernya. Selain menyukai musik, mereka juga kerap menduplikasi gaya hidup para idolanya dengan pakaian serba big size, serta setelan seat bag bekas.

Begitu juga dengan yang saya alami. “Los Pakualamos ning JNM lur, ben gayeng ngosek-ngosek ning tengah. Nek wedi kesemplak mending mundur!” Sepintas himbauan yang sempat dilayangkan oleh seorang kawan dari Blackberry Messenger.

Dulu, lobi Jogja National Museum (JNM) memang tempat band-band lokal tampil. Maka mudah menjumpai mereka di tempat itu.  

Selain akrab dengan hip-hop Jawa dan hardcord lokal yang dibawakan NDX, Los Pakualamos, Begundal Clan, hingga Xaqhala. Rasanya tak lengkap bila gaya berpakaian saya tak mengikuti aliran musik mereka.

Maka sebagai seseorang yang sempat mengikuti trend “Cah Acara”, sudah pasti punya kenangan atau memori yang kuat dengan keberadaan Pasar Pakuncen. Ingatan tersebut lekas membawa saya kembali ke masa sekolah pada tahun 2014-an, ketika Pasar Pakuncen sedang jaya-jayanya jadi jujugan anak muda.

Dulu di Pasar Klithikan Pakuncen saya dapat dengan mudah mencari flanel dan celana kargo dengan ukuran besar. Meskipun kualitasnya bekas, terkadang saya pernah mendapati barang-barang branded bermerek “Familia” yang nantinya dapat saya jual dengan harga tinggi. 

Lumayan bekal uangnya bisa buat moshing di JNM bersama kawan-kawan saya di kota, sembari mendengarkan langsung musik koplo patah hati yang dibawa oleh band kesayangan saya yakni NDX.

Begitulah kiranya serpihan memori yang masih saya simpan hingga hari ini. Meskipun sempat menjadi identitas yang khas bagi pemuda Jogja, namun trend tersebut hanya bertahan dari tahun 2011 sampai 2016-an. Kini banyak dari kawan-kawan saya yang memilih untuk mengikuti trend-trend “anak indie” yang masuk ke pasar musik nasional.

Jadi tempat kulakan sebelum jual di Facebook

Bagi siapapun yang sempat mengikuti trend semacam ini, sudah pasti beranda Facebooknya penuh dengan para pedagang “BU” (Butuh Uang), sembari menjajakan barang-barang “Nonminus” maupun “Minusan”. Bahkan bisnis semacam ini sempat menjamur lebat, menggaet anak-anak muda yang ingin masuk skena “cah acara” di Jogja.

Salah satu stand di Pasar Klithikan Pakuncen yang menjual kamera bekas. (Iradat Ungkai/Mojok.co)

Sebelum masuk ke pasar Facebook, beberapa penjual barang bekas ini biasanya kerap mengambil barang-barang di pasar klithikan yang ada di DIY. Salah satu destinasi utamanya adalah Pasar Klithikan Pakuncen. 

Tempat ini terkenal sebagai oasenya barang-barang klithikan dengan harga murah, tapi masih layak pakai. Bahkan jika beruntung, beberapa dari mereka bisa memperoleh barang-barang branded yang lantas dapat dijual lagi dengan harga tinggi.

Beda zaman beda semangat, Pasar Klithikan Pakuncen yang dulunya berhasil menggaet “cah-cah acara” yang hobinya cari barang-barang klithikan, kini mulai tak lagi memfasilitasi tradisi tersebut. Saat ini kondisinya tampak terlihat lesu. Beberapa ruko klithikan yang dulunya ramai, kini hanya menyisakan barang-barang baru dengan kualitas tiruan.

Alhasil, Pasar Pakuncen mengalami kondisi sepi selama bertahun-tahun lamanya. Para penjual barang klithikan memilih untuk mengalihkan lapaknya ke tempat lain, sehingga mereka yang masih mencari barang klithikan tak lagi tertarik untuk mengunjungi pasar tersebut.

Baca halaman selanjutnya..

Kondisi Pasar Klithikan Pakuncen saat ini

Kondisi Pasar Klithikan Pakuncen saat ini

Terdapat beberapa faktor yang turut membuat para pedagang klithikan pindah dari Pasar Pakuncen. Selain kondisi pasar dan ekonomi yang serba digital, beberapa dari mereka pindah ke lokasi lain yang dinilai lebih strategis.

“Sing adol klithikan podo pindah ning [Pasar] Senthir, terus lapake pada didol. Alasan pindah macem-macem mas, ada yang punya masalah bank dan ga kuat ngangsur [retribusi pasar],” ungkas Pendi yang pada saat itu sedang khidmat menyaksikan pertandingan voli di layar televisi. 

Meskipun demikian, Pasar Pakuncen sebagai sentra barang bekas tak selamanya kehilangan pelanggan konsistennya. Hal tersebut dikarenakan pasar tersebut masih menjajakan barang-barang bekas yang menurut beberapa pengunjung cukup antik dan susah untuk dicari di tempat lain.

Salah satu sudut Pasar Klithikan yang menjual helm-helm baru. (Iradat Ungkai/Mojok.co)

Karamnya skena “Cah Acara”, ternyata beriringan dengan karamnya popularitas Pasar Pakuncen akhir-akhir ini. Entah bagaimana hubungannya, namun kondisi ini saya dapati belum lama ini. Saat saya menyempatkan diri berkunjung ke pasar tersebut.

Alasan Pasar Klithikan Pakuncen mulai sepi

Pada saat itu, saya kaget dengan kondisi pasar yang sekarang menjadi susah mencari barang-barang bekas. Padahal dulu barang-barang klithikan sudah terlihat di depan halaman. Bahkan kondisinya pun sangat sepi dan cukup memprihatinkan, sebagaimana yang Humas Paguyuban di Pasar Pakuncen, Edi Santoso ungkapkan.

“Belakangan ini memang kondisi pasar [Pakuncen] seperti mati suri, setelah corona banyak orang lebih milih nyimpen duit ketimbang beli barang [disini]. Dulu semua ruko pada buka jadi terkesan ramai pasarnya, tapi sekarang sekitar 60 persen udah pada tutup,” kata Edi Santoso.

Pria kelahiran Solo yang kerap menggunakan pecis putih itu, menambahkan kesaksiannya mengenai kondisi Pasar Pakuncen yang dulunya sempat ramai pengunjung. Menurutnya, kondisi tersebut berlangsung sebelum masyarakat mulai beralih ke e-commerce. 

“Bagus-bagusnya pasar itu sekitar tahun 2009 sampai 2016 mas, mulai 2017 angka kunjungan semakin turun, semakin menurun lagi ketika ada Covid. Itu bagus karena waktu itu belum ada online, angka kunjungan tahun 2010 sampai 2015 bisa sampai 8-10 ribu sehari. Sekarang angka kunjungan malah ga sampai 500 mas.”

Hilangnya barang bekas di Pakuncen

Di luar itu, saya mendapati mudahnya mencari barang-barang baru dengan kualitas tiruan alias KW, berjamuran di sekitar Pasar Pakuncen. Para penjual tersebut rata-rata merupakan pemain baru yang menempati ruko-ruko kosong di Pasar Pakuncen.

“Beberapa bulan sebelum Covid, saya udah ada di sini mas [Pasar Pakuncen]. Kebetulan ruko yang saya tempati ini bekas dari teman saya yang udah pindah ke Pasar Senthir,” kata penjual yang minta namanya ditulis samaran. Sebut saja namanya Robi.

Edi Santoso, Humas Pasar Klithikan Pakuncen. Berharap pemerintah turun tangan agar Pasar Klithikan Pakuncen kembali ramai. (M Ichsanudin Adnan/Mojok.co)

Para penjual barang baru tersebut rata-rata menjajakan barang-barang branded dengan kualitas tiruan. Mereka menempati ruko-ruko baju, sepatu, helm, hingga sparepart kendaraan. Alasan mereka menjual barang baru di Pasar Pakuncen pun beragam, mulai dari kebutuhan masyarakat akan barang branded hingga sulitnya kulakan barang bekas di Jogja.

“Saya sendiri ikut hypenya saja mas. trendnya apa, orang-orang pada butuh apa, saya tinggal menyesuaikan. Apalagi kalau jual barang-barang baru yang kulakan banyak, jadi lebih gampang kalau dibawa kesini,” kata Robi sembari yang menjaga rukonya dari siang hingga menjelang sore hari.

Berharap pemerintah turun tangan

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rara, salah satu pengunjung di Pasar Pakuncen. “Bisa dibilang aku cukup sering datang ke sini [Pasar Pakuncen] cuma buat nyari barang-barang bekas. Karena basic ku seni instalasi, jadi aku dari dulu nyari barang-barang vintage dengan harga murah buat kebutuhan pameranku bulan depan”. Pungkas Rara, sembari mengantongi beberapa barang bekas di sebilah tangan kirinya.

Selaku Humas, Edi Santoso sendiri masihlah mengharapkan Pasar Pakuncen dapat kembali ramai dikunjungi oleh masyarakat. Melalui agenda rapat rutin yang ia dan kawan-kawan pedagang inisiasi, mereka berharap bahwa pemerintah dapat kembali memperdulikan kondisi Pasar Pakuncen hari ini. Harapannya pemerintah dapat mengadakan event khusus di Pasar Pakuncen, guna menarik kembali minat para pengunjung ke pasar tersebut. 

“Ya harapannya semoga pemerintah lebih sering memperdulikan kondisi Pasar Pakuncen. Seperti sering mengadakan event di pasar ini, biar pasar ga keliatan mati suri dan masyarakat mau berkunjung ke sini,” katanya.

Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Mencari Jejak Lapangan Terbang Sekip UGM yang Eksis Sebelum Adisutjipto

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version