Pengakuan Istri Polisi tentang Bos Copet Terminal di Jogja yang Merayu Suaminya

Kisah jaya-jayanya dunia copet di tahun 1990-an.

copet bos copet terminal

SSeorang istri polisi dan copet yang sudah tobat bercerita kepada Mojok.co tentang bagaimana seorang bos pencopet menguasai terminal di Yogyakarta. Iming-iming harta benda sangat menggoda.

***

“Pencopet di Terminal Giwangan itu dulu sistematis, ada yang ngatur, dan sekarang tinggal nama,” kata Gareng. Kulitnya mulai keriput ketika berada di depan saya. Ia sibuk mengurusi bakso yang kini ia kelola. Rambutnya juga mulai memutih ketika menyuruh saya menunggu dagangannya agak sepi jika mau menunggu kisah perihal copet di Terminal Giwangan secara jelas.

Saya menemui Ibu Sri beberapa jam sebelum bersua dengan Gareng. Di sebuah rumah yang sederhana, namun sejuk karena banyak tanamannya. Kami awalnya memperkenalkan diri, membicarakan tanaman, sampai nasib Terminal Giwangan yang tak lagi ramai seperti beberapa tahun sebelumnya. Sampai pada akhirnya, saya mengutarakan niat membicarakan perihal copet di terminal. Walau sedikit kaget, saya menjamin bahwa identitas Bu Sri akan aman.

“Yang bakal repot selain saya ya jelas kamu, Mas,” katanya mengingatkan. Saya hanya menganggukan kepala walau dalam hati ya ngeri juga.

Beberapa menit setelah Ibu Sri menceritakan segala hal yang ia alami, saya hanya bisa tersenyum kecut. “Sekarang saya tahu kenapa nama saya juga jadi pertaruhan,” kata saya. Ibu Sri menganggukan kepala sembari tertawa.

Bos copet terminal yang mencoba merayu polisi

“Ini pada tahun 1998. Ketika Indonesia sedang acak-acakkan, anak kedua saya mau lahir,” kenang Sri. Ia adalah istri seorang polisi yang bertugas di Umbulharjo. “Dekat dengan terminal saat itu,” jelasnya secara rinci.

Suami Sri mendapat mandat dari juragan bus yang amat kaya. Ia pemilik armada terbanyak untuk rute Jogja – Bali. Bahkan ada yang sampai Mataram, Lombok. Saat itu terminal masih berada di Jalan Veteran. “Waktu itu masih Terminal Umbulharjo—atau sekarang disebut sebagai Terminal Lawas. Sebelum pindah ke Giwangan. Suami saya dapat tugas mengawal sebuah perusahaan otomotif yang namanya lumayan terkenal sampai saat ini.”

Awal 1998, Sri saat itu sedang hamil besar. Penghujung Maret yang penuh dengan prahara. Di kota ia tinggal, di Solo, kerusuhan sedang jadi-jadinya. “Banyak penjarahan. Bus dibakar. Dan masih banyak lagi kejadian yang mengiringi kelahiran anak kedua saya,” kata Sri.

Suatu hari, Sri kedatangan tamu. “Pakai mobil Jeep mewah. Menjemput saya. Katanya disuruh suami untuk pindah ke Jogja. Biar aman,” kenang Sri.

Tanpa banyak curiga, ia naik ke dalam mobil setelah mengambil barang-barang secukupnya. Ia juga membawa anak pertamanya yang waktu itu usianya masih enam tahun. Katanya, daripada di Solo yang sudah makin parah keadaannya.

Polisi minta bos copet jangan ganggu keluarganya

Sampai di Jogja. Di depan kantor bus di mana suaminya menjaga, suami Sri yang melihatnya turun dari mobil Jeep langsung mendatangi dan berteriak, “Jangan ganggu keluarga saya! Cukup kalian ganggu saya saja!”

“Saya kaget. Cuma bisa diam dan nggak paham masalah apa yang sedang suami saya alami,” kenang Sri. Suami Sri lantas membawa istrinya yang hamil besar itu ke dalam kantor perusahaan bus itu.

Sri menjelaskan, semua pegawai yang sedang melayani pembeli dengan tiket, mendatanginya dan bertanya apakah ia mendapat ancaman macam-macam. “Saya aman-aman aja. Bahkan sempat mampir untuk beli bebek-bebekan di Klaten, buat putri saya,” katanya.

Suasana Terminal Giwangan kini. (Gusti Aditya/Mojok.co)

Beberapa hari kemudian anak kedua Sri lahir di Yogyakarta. Suaminya membantu segala proses persalinan, mengurus administrasi, sampai ketika Sri sudah mendapat izin pulang. “Kami ada di lobi rumah sakit. Mau pulang ke rumah di Kartasura. Suami sedang telepon taksi, tiba-tiba mobil mewah mendatangi kami,” jelas Sri. Ia ingat betul bahwa mobil itu berjenis sedan berwarna merah.

“Terhitung mahal pada zamannya,” katanya merinci. Lalu ada yang turun dari bangku bagian belakang. Ia tampak necis dengan kemeja rapi yang ia masukan ke dalam celana panjang kain.

Sri lantas mengingat setiap kejadian itu, “Ia merunduk di depan saya dan suami. Katanya, ‘mari, Pak, sama saya saja. Kasihan Ibu baru habis melahirkan kalau naik taksi’.”

Bos copet terminal bawa satu koper perhiasan emas

Suami saya marah besar kepada orang itu. Saat itu banyak pedagang asongan dan juga tukang parkir yang melihat. “Kejadian parah tidak hanya sampai di sana,” kata Sri.

Ia bercerita bahwa orang yang sama datang ke rumahnya di Solo pada tahun 2001. “Dia membawa satu koper perhiasan. Ia mempersilakan saya untuk memilih dua belas macam.”

Sri saat itu mulai curiga. Ia menolak tawaran orang itu dengan sopan. “Nanti saya bilang dulu sama suami, ya. Boleh atau tidaknya,” kata Sri mengusir secara halus.

Rupanya rentetan kejadian tersebut tidak lepas dari peristiwa pada 1997. Saat itu suami Sri diberi tugas oleh salah satu perusahaan bus rute Jogja – Bali untuk menjaga. “Istilahnya pengawalan. Karena suami waktu itu sebagai polisi juga terkenal di Terminal Umbulharjo,” kata Sri.

Dapatnya tugas itu, banyak pihak yang tidak suka dengan suami Sri, termasuk bos copet di sana, yakni orang yang datang pakai sedang mewah dan menawarkan perhiasan. 

“Kamu harus menghubungi Gareng kalau mau informasi lebih jelas,” begitu kata Bu Sri ketika saya berkemas-kemas dari ruang tamu rumahnya. Kucing-kucing milik Bu Sri berlarian, seakan menyuruh saya untuk cepat-cepat minggat.

“Gareng itu mantan copet. Ia kenal saya. Kini ia jadi tukang bakso. Kalau nggak mau cerita, bilang aja disuruh Bu Sri, istrinya Pak Tri,” katanya.

Cara copet menguasai terminal 

Gareng mendatangi saya. Ia membawa semangkuk bakso yang saya pesan dan juga es teh yang terlihat menggiurkan. “Buat temen ngobrol, Mas,” kata Gareng. Saya pun menyantap. Giwangan saat itu sedang panas-panasnya. Kombinasi es teh dan bakso, ditambah cerita Gareng adalah kombinasi yang nikmat sekaligus pilu.

“Bu Sri bilang begitu?” kata Gareng. Saya menganggukan kepala. Ia melanjutkan, “Itu benar, Mas. Tapi Bu Sri sepertinya kurang tega menceritakan bagian yang lebih pilu.”

Gareng adalah tangan kanan bos copet yang memakai sedan merah dan menawari Bu Sri dengan satu koper perhiasan. “Saat itu (saat menawari pulang dari rumah sakit pada tahun 1998), saya yang jadi supir bos copet itu,” ungkap Gareng. “Saya nggak turun dari mobil karena langsung diusir.”

Saya bertanya, jika ingin bertemu dengan bos copet itu, apakah masih bisa. Gareng hanya tertawa. “Kalau mau ketemu, beliau sudah menyatu dengan tanah.”

Satu bakso masuk ke mulut saya, lidah saya menari-nari menggiling daging yang berbentuk bola tersebut, sedang lidah Gareng makin lincah bercerita. “Sebelum Pak Tri, suami Bu Sri, mengawal perusahaan bus itu, dunia copet terasa mudah, Mas.” 

Perusahaan otobus kerjasama dengan polisi

Gareng mengatakan bahwa tanpa adanya penjagaan, pihak perusahaan otomotif hanya bisa pasrah ketika ada kasus pencopetan.

Suasana Terminal Giwangan Yogyakarta (Gusti Aditya/Mojok.co)

“Setelah perusahaan otomotif itu rekrut polisi untuk menjaga yang sebelumnya hanya dijaga satpam dan preman, perusahaan otomotif lain ikut-ikutan. Pengawalan bus atas bantuan preman itu bak senjata makan tuan, menurut penuturan Gareng. Karena banyak juga preman yang kongkalikong dengan pihak copet dan perusahaan otomotif seakan membayar gaji buta si preman.

“Baik rute ke Bali, Jakarta, sampai Sumatera jadi ikut-ikutan minta bantuan ke polisi-polisi terkait,” jelasnya. Kata Gareng, hanya rute Surabaya yang tidak pakai pengawalan (bahkan sampai saat ini) karena menuju Surabaya, tidak perlu pakai jasa agen. “Jadi, bisa beli langsungan tanpa perantara agen atau calo. Pencopet kurang tertarik untuk mengambil uang dari rute Jogja – Surabaya. Duitnya dikit,” kata Gareng.

Sedang rute Bali, menurut Gareng adalah rute yang paling menggiurkan. “Karena yang ke Bali, kalau nggak wisata ya kuli tambak,” jelasnya. Sedang membedakan kuli tambak dan juga wisatawan, itu cukup mudah, tanpa bermaksud merendahkan. “Karena copet punya feeling yang kuat,” katanya.

Jika rute Jakarta, kesempatan dapat korban ikan kakap, menurut keterangan Gareng, cukup penuh pertaruhan. “Banyak yang ke Jakarta itu mencari kerja, jadi sebisa mungkin harus rapi sejak Jogja. Walau pakaian rapi, belum tentu kantong mereka tebal. Bekal mereka ke ibukota hanya pas-pasan.”

Karier copet terminal paling rendah dari bus kota

Namanya juga copet, walau hanya punya uang seratus ribu di kantung, akhirnya digasak juga. Bus menjadi tempat yang rawan untuk para pengguna jasa transportasi ini. “1990-an itu adalah tahun jaya-jayanya pencopet,” terang Gareng.

Sedang karir Gareng ini berasal dari pencopet amatir di bus kota. “Nah, jadi ada kastanya. Paling rendah itu bus kota seperti Kopata, Puskopkar, dan Aspada. Kasta tengah adalah bus AKAP. Yang jadi kasta tertinggi adalah bus antar-pulau,” jelas Gareng. Kasta ini dibentuk atas dasar hasil yang diperoleh.

“Kenapa bus antar pulau paling tinggi, padahal risikonya besar?” saya bertanya.

Gareng menjawab dengan mudah, karena tiket masuk bis itu mahal. “Si pencopet juga harus selesai misinya sampai rumah makan bus itu singgah,” jawab Gareng.

Sistem copet dimulai dari bawah, yakni bus kota. Jika prestasinya menjanjikan, mereka akan naik kasta. “Bagaimana cara menentukan si pencopet itu menjanjikan?” tanya saya. Kali ini Gareng tidak bisa menjawab. Katanya, mata bos copet itu seperti mata elang. Ia bahkan bisa mengendus orang yang bermaksud jahat kepadanya.

Setelah 1997, sistem pencopet mulai bisa diberi tameng dan perlahan berkurang. Tentu saja ini adalah faktor banyak polisi yang menjaga beberapa perusahaan otomotif raksasa yang menguasai rute-rute tertentu. “Namun di sini alasan utama kenapa Pak Tri makin dibenci sama gerombolan copet.”

Gareng sudah tobat lama. “Sekitar tahun 2005 saya sudah berhenti. Ketika terminal sudah mulai pindah, kekuasaan kami sedikit oleng,” katanya.

“Berarti setelah polisi-polisi masuk menjaga perusahaan otomotif rute Bali, Jakarta, dan Sumatera, lantas kepindahan terminal dari Umbulharjo ke Giwangan, kekuasaan copet menurun?” tanya saya.

Polisi yang kena bujuk rayu

Gareng berkata, jangan cepat-cepat menyimpulkan. “Di sini alasan utama kenapa Pak Tri makin dibenci sama gerombolan copet,” katanya.

Ada oknum polisi yang mengawal rute Jakarta yang terbujuk rayu. Kesepakatannya, si pencopet hanya bisa mencopet di hari-hari tertentu. “Saya dapat jatah hari Sabtu dan Rabu,” kenang Gareng. Hasil dari mencopet itu seluruhnya milik gerombolan copet, sedang polisi itu mendapat bagian beberapa ratus ribu tanpa mempedulikan hasil yang akan didapat copet.

“Kalau kami dapat lima belas juta, ya polisi-polisi itu dapat uang beberapa ratus ribu sebagai kesepakatan di awal,” jelas Gareng. Makin lama, makin banyak kesepakatan yang tercipta. “Ini adalah hasil lobi dari bos saya dulu. Ia menawarkan emas, mobil, bahkan sampai tanah kepada oknum-oknum tersebut. Kecuali Pak Tri. Ia tidak mau menerima sepeser pun walau tentu saja tawaran bos copet lebih menggiurkan ketimbang gajinya mengawal bus.”

Saya jadi ingat dengan cerita pemimpin redaksi Mojok yang bercerita, tahun 2009, ada sekitar 10 mantan copet dan copet yang masih aktif mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Mereka mengadu karena diperas oleh oknum polisi. Saya cari beritanya, ternyata memang benar adanya. Di Kompas.com tanggal 4 Februari 2009 ada berita berjudul 10 Mantan Copet Mengadu ke LBH Yogyakarta.

Bagaimana aksi copet di bus kota hingga Bus AKAP?

Beberapa jam sebelum bersua Gareng, di teras rumah halaman Bu Sri, sebelum saya pamit pulang setelah mendapatkan informasi yang cukup, ia berkata, “Kalau bukan karena suami, mungkin saya sudah ambil perhiasan di dalam koper itu. Suami saya lebih memilih menerima gaji satu bulan seratus ribu sebagai ongkos ngawal bus ketimbang menerima sogokan menggiurkan dari bos copet itu.”

“Masih ada polisi baik ya, Bu?” kata saya.

“Sebagai manusia yang hidup di kultur keras bernama terminal, sebenarnya jadi baik itu salah. Ketika suami saya meninggal pada 2009, beberapa orang nangis, tapi lebih banyak yang gembira,” kata Bu Sri.

“Bukan maksud ngajari buruk, ya,” kata Gareng. Ia memperagakan ketika saya disuruh berdiri. Ia memepet saya, simulasinya bus kota—katakan Kopata—sedang padat. Karena pada tahun-tahun ia aktif sebagai copet kasta paling bawah, yakni copet bus kota, peminat bus ini sedang banyak-banyaknya.

Ia memepet saya. Kemudian tanpa saya sadari, setelah merogoh ponsel di kantong celana bagian kanan, sudah lenyap. “Titik fokusnya ajak indera korban sibuk di bagian kiri. Entah kita nggrememeng nggak jelas di telinga sebelah kiri atau apapun, sedang tangan kanan langsung masuk menyasar kantung bagian kanan,” katanya.

Secara psikis, korban akan sibuk kepada bagian kiri, sedang bagian kanan akan diabaikan begitu saja. “Ini catatan untuk kondisi ramai, kalau sepi ya namanya cari mati,” kata Gareng. Apakah ia pernah ketahuan? Ia lebih banyak kena bonyok ketimbang dapat hasil emas berupa uang bergambar Sukarno-Hatta.

Lha nek aksi di bus AKAP harus cepat,” katanya. Gareng menggunakan pena yang ia tusukkan ke bagian resleting tas korban. Lantas bagian yang menganga itu ia cepat-cepat ambil apa-apa yang bisa untuk diambil. “Bisa juga pakai jarum, tapi kurang kuat.”

Terminal Giwangan yang kini bersih dari copet

Paling ekstrim, menurut Gareng, adalah memberi korban obat tidur. Lantas mengambil semua yang ada di tubuh korban. “Kru di bus nggak tahu?” tanya saya. Gareng tersenyum, lantas menjawab bahwa itu lain soal.

Terminal Giwangan belakangan ini sudah bisa dikatakan steril dari copet. Hasil survei saya yang bertanya kepada beberapa langganan bus, baik menuju Bali atau sebaliknya, sudah nggak pernah ada lagi aksi copet. Bus kota, arti lain adalah Trans Jogja juga nihil pencopetan. Gareng berkata bahwa sebagian dari anak buah bos copet sudah bertobat. “Ada yang jadi tukang bakso, calo, kondektur bus AKAP. Kalau masih ada copet, itu bukan anggota kami dulu.”

Kata Gareng, kalau pun masih ada copet di bus, itu orang lain dan nggak ada hubungannya dengan jejaringnya dulu. “Mereka yang lapar karena nggak dapat uang di masa pandemi begini,” tutupnya.

*Nama narasumber disamarkan untuk melindungi privasi

Reporter: Gusti Aditya

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Cerita dari Alumnus Sekolah Copet di Jogja dan Mitos Air Keran Polresta dan liputan menarik lainnya di Jogja Bawah Tanah.

Exit mobile version