Mencoba Hobi Berbahaya Bapak-bapak yang Motret Model Telanjang

Hobi ini berbahaya untuk dilakukan bapak-bapak. Berbahaya karena jika sampai istri tahu, bisa geger gedhen di rumah tangga. Namun, ada saja bapak-bapak yang nekat untuk melampiaskan hobinya ini, motret model telanjang atau nude photography.

***

Model telanjang itu tengah asyik bergaya dan bapak-bapak di depan saya juga sibuk mengarahkannya untuk berpose seperti yang mereka inginkan. Suasana syahdu itu buyar ketika seorang bapak menerima telepon. 

“Bapak di mana?”

Semua orang di ruangan itu hening. Ada suara anak kecil terdengar di seberang telepon. 

“Bapak lagi sama teman-teman, sebentar lagi pulang, Nak,” kata bapak itu. 

“Bapak, video call dong,” kata suara anak di seberang sana. 

Mendengar permintaan tersebut, saya dan bapak-bapak lainnya seperti sudah tahu apa yang harus  dilakukan. Mereka mengeluarkan kursi dari kamar hotel dan menatanya di balkon. Kami kemudian mengambil posisi masing-masing.

Bapak yang sedang menelepon itu, sebut saja Pak Eng, kemudian mengaktifkan video call WhatsApp-nya. Ia kemudian mengulangi kata-katanya kalau dia sedang bersama kawan-kawannya. 

“Sudah dulu ya, nanti Bapak pulang,” katanya. 

Begitu Pak Eng menutup telepon, pecahlah suara tawa kami. Anak perempuannya itu baru 3 tahun jalan 4 tahun. Laki-laki yang bekerja di industri keuangan ini mengaku anak terkecilnya ini memang kerap telepon dirinya. 

“Lanjuttt,” katanya mengambil kamera DSLR-nya masuk ke kamar. 

Saya sempat bertanya, bagaimana kalau keluarganya sampai tahu, ia punya hobi motret model telanjang. “Wo, sebelum sampai rumah, foto-foto di pindah dari kamera ke hardisk. Kasih tempat yang aman,” kata Pak Eng. 

Untuk memuaskan hobinya, Pak Eng kadang membawa properti berupa pakaian-pakaian minim dan seksi untuk dikenakan model. Apa istrinya tidak curiga?

“Aman. Kostum saya titipakan di rumah teman,” katanya.

Ajakan dari seorang kawan untuk ikut motret model telanjang beberapa hari sebelumnya, tidak langsung saya iyakan. Bukan soal biayanya yang Rp 450ribu, tapi ajakan tersebut datang di bulan puasa. “Aman, di kamar hotel kok,” kata teman saya. Saya pernah minta kepadanya,  kalau ada info-info unik yang layak saya tulis di Mojok.co, tolong saya dikabari. 

“Ada bapak-bapak yang hobi motret model telanjang, mau nggak?” tanyanya. 

“Tapi bayar, nggak cari untung kok, buat bayar modelnya saja,” imbuhnya. Biaya Rp 450 ribu juga lebih murah dari biasanya karena kamar hotel dibayari oleh salah satu bapak-bapak yang menang trading.

Setelah menimbang-nimbang ini akan jadi cerita menarik, saya menyanggupinya. Hari itu, sekitar pukul 14.30, saya tiba di hotel. Saya masuk ruang hotel terpincang-pincang. Dengkul saya senut-senut nggak karuan. Di Ring Road Utara, tak jauh dari kampus Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) tumpukan kerikil dari sisa perbaikan jalan sepertinya mencoba menghalangi saya untuk melihat sesi pemotretan model telanjang. Saya melindasnya dan tersungkur ke aspal dengan dengkul sebagai tumpuan. 

Sempat terpikir untuk batal datang. Saya percaya dengan tanda-tanda. Tapi saya juga tidak mau menyerah hanya karena dengkul yang lecet. Maka, tibalah saya di kamar tempat sesi pemotretan dengan terpincang-pincang. 

Di ruangan itu hanya dua orang yang saya kenal, satu orang seorang seniman, sebut saja namanya Pak Sen. Satu lagi seorang pekerja kreatif, panggil saja Pak Kre. Dua-duanya sudah bapak-bapak, punya istri dan anak. Usia mereka sekitar 50-an  awal. Tiga lainnya baru saya kenal. Usianya lebih muda sekitar 35 sampai 40-an. Sebut saja Pak Dos, bekerja di salah satu institusi pendidikan, kemudian Pak Trad, yang baru saja menang trading. Satu lagi, Pak Bang, orang yang bekerja di perbankan yang baru saja menerima telepon dari anaknya.

Foto model bergaya seperti yang diminta oleh bapak-bapak. Foto Agung P/Mojok.co
Foto model bergaya seperti yang diminta oleh bapak-bapak. Foto Agung P/Mojok.co

Begitu saya datang, sesi pemotretan dimulai. Bukan di kamar, tapi kami pergi ke kolam renang hotel itu. Suasananya sepi. Hanya kami tamu di hotel itu. Rok pendek dengan baju yang menunjukan belahan dada dipakai model itu di kolam renang. 

Puas bergaya di kolam renang kami kembali ke kamar. Sore mulai menjelang. Bapak-bapak ini memanfaatkan cahaya sore di balkon untuk mengambil gambar. 

Kami lantas pindah ke kamar. Beberapa kali model yang masih berusia 24 tahun itu berganti kostum. 

Model yang sedang mengenakan pakaian minim itu memeluk tubuhnya, ia meminta temperatur AC di kamar hotel itu dinaikan suhunya. Salah satu bapak-bapak di ruangan itu sigap melakukan apa yang diminta Si Model. Tanpa basa-basi model itu juga meminta sesi utama segera dimulai. Belum selesai mereka berdiskusi pose apa dulu yang akan dilakukan Si Model dalam keadaan telanjang.

“Ayo, Massss!!”

Suara Si Model itu lantang dengan posisi jongkok mengangkang di atas kursi. Dalam keadaan telanjang bulat. 

“Huss…ojo koyo ngonooo,” kata Pak Sen. Model telanjang itu tergelak. 

Sik anggun, malah byak yakan,” imbuh Pak Sen sambil merapikan rambut Si Model. 

Pak Sen ini berperan sebaga orang yang membawa model. Saya belum berbincang terlalu banyak dengannya saat itu karena selain kondisi dengkul saya yang makin sakit, konsentrasi saya buyar dengan pemandangan yang ada di kamar. 

Dos (40) bapak-bapak yang menggunakan handphone untuk memotret, saya tanya, bagaimana untuk memastikan agar gambar-gambar yang ada digawainya aman dari jangkauan istri atau anaknya. “Langsung ke cloud, Mas,” katanya tersenyum. 

Dengkul saya makin senat-senut. Saya elus, dan saya bisa merasakan ada bengkak di lutut saya. 

Di ranjang, model telanjang tidur telentang. Bapak-bapak tentu saja sibuk  mengambil gambar. 

“Ayo Gung, masak melu mbayar, nggak motret,” kata Pak Kre. 

Saya beranjak dan ikut dalam proses pemotretan itu. Tapi tak lama. Untuk mendapatkan gambar dari sudut yang bagus, saya dan bapak-bapak harus berkali-kali jongkok, tiarap atau jinjit. Itu adalah siksaan bagi saya yang dengkulnya  mengsle. 

Saya kemudian lebih banyak duduk di kursi sambil memperhatikan bapak-bapak yang bergantian meminta model telanjang itu berpose. Si Model terlihat nyaman, bahkan beberapa kali ia membuat inisiatif untuk pose tertentu. 

Puncak sesi pemotretan berlangsung di kamar mandi. Karena kamar mandi yang terlalu sempit, sebagian bapak-bapak memotret dari balik kaca tembus pandang yang terlihat dari kamar tidur. Kembali saya ambil kamera, komposisi bapak-bapak yang tengah berdiri, membungkuk, dan jongkok. Menurut saya lebih artistik daripada model telanjang yang terlihat samar karena siraman air yang keluar dari shower. Sesi pemotretan selesai sekitar pukul 18.00 WIB. 

Pak Sen mengatakan, kalau mau ikut motret lagi. Akan ada pemotretan lagi esok lusa. Propertinya akan lebih lengkap lagi karena akan ada yang membawa lighting. Modelnya juga akan berbeda. Melihat kondisi lutut saya yang bengkak, rasanya tidak mungkin untuk menerima tawarannya. 

Sebelum kami pulang, Pak Sen sekali lagi mengingatkan agar foto-foto yang diambil dijaga dengan baik, jangan sampai tersebar. “Kasihan, Mbanya,” kata Pak Sen. 

Kalaupun ada yang  mau mengunggah ke media sosial, bukanlah foto-foto telanjang. Tak lupa, sebagian bapak-bapak meminta nomer handphone Si Model. “Nanti saya kirim fotonya yang paling bagus,” kata salah satu bapak.

Habis, sesi pemotretan bapak-bapak bersama model makan di warung bakmi jawa, saya undur diri karena lutut saya makin terasa nyeri. Belum banyak saya ngobrol dengan mereka, selain karena belum begitu kenal, mereka juga irit ngomongnya. Yang jelas hampir semuanya mengatakan melakukan motret telanjang karena hobi  motret. 

***

Cukup lama bahan liputan motret model telanjang itu mengendap. Awalnya karena, Mojok di bulan-bulan itu sedang banyak menerbitkan liputan yang berbau ‘lendir’ mulai dari ‘Penyedia Jasa Open BO dan Bagaimana Mereka Menjalankannya’‘Pengakuan Pengguna Jasa  Open BO yang Merasa Tersesat di Bulan Puasa hingga ‘Cara PSK Menipu Calon Pelanggannya Menggunakan MiChat’.

Sampai beberapa hari yang lalu, ajakan dari Pak Sen untuk ikut sesi pemotretan model telanjang datang lagi. “Ini modelnya 18 tahun, dari Jawa Timur,” ajak dia. 

Saya langsung mengiyakan. Meski harus keluar uang lagi, ada banyak hal yang harus saya tanyakan ke bapak-bapak. 

Cukup menggunakan hanphone, bapak-bapak motret model telanjang. Foto Agung P/Mojok.co.

Di hari yang sudah disepakati, Pak Sen menghubungi saya untuk membawa bola-bola mainan anak kecil, sama susu UHT satu literan. “Bola-bolanya cari di toko mainan anak. Nanti buat ditaruh di bathtub, susu nanti buat modelnya,” katanya. 

Bukan saya saja yang diminta Pak Sen, membawa bola-bola mainan, semua bapak-bapak yang ikut, diminta membawanya. Masing-masing membawa 20 bola. “Udah Mas, saya titip saja bola-bolanya, nanti saya ganti ongkos belinya,” kata saya. Pertama, saya bingung cari toko mainannya, kedua saya takut bola kecil warna warni itu ngglundung di tengah jalan raya. 

Jogja panas siang itu. Di perjalanan, saya berpikir angle apa yang akan saya tulis terkait hobi bapak-bapak yang suka motret model telanjang ini. Belum setengah perjalanan, gerimis turun. Saya pikir ah, paling cuma sebentar. Makin deras. Saya pikir tidak ada mantol di jok motor Vixion saya. Saya ngebut mencari tempat berteduh yang sialnya nggak ada tempat yang representatif karena area persawahan. Sampai kemudian saya tiba di perkampungan dan berteduh di sebuah warung. 

Di situ saya merenung, jangan-jangan ini adalah tanda-tanda saya nggak boleh ke tempat pemotretan. Saat itu saya iseng membuka jok motor, dan di sana teronggok jas hujan ponco yang lama nganggur. Bangsat. Eh tapi, ini bisa jadi pertanda bahwa saya bisa datang ke tempat pemotretan. 

Saya langsung gas ke hotel di kawasan Jalan Solo. Melewati tempat saya ndlosor di Ring Road Utara, sampai kemudian jelang flyover Jombor sebuah minibus menyalip saya. Masalahnya adalah genangan air begitu banyak sehingga sekian detik, air itu mengenai muka saya yang tidak tertutup kaca helm dan kondisi mulut yang tertutup masker. Saya jadi ingat adegan penyiksaan di film-film yang mukanya ditutup karung kemudian dimasukan ke air. 

Sampai di hotel, saya telat lagi. Model dan teman-teman yang lain sudah datang. Saya kembali ditertawakan, jika sebelumnya datang dalam kondisi pincang, kali ini dalam kondisi basah kuyup. Saya berganti pakaian di kamar mandi dengan kaos yang saya beli di Indomaret sebelum sampai hotel. 

Di samping tempat tidur, tampak perempuan yang hanya mengenakan celada dalam sudah berpose. Pemotretan rupanya sudah dimulai sebelum saya datang.  

Saya serahkan susu UHT ke Pak Seni. 

“Loh kok coklat?”

“Lah, modelnya nggak suka coklat, Mas?” saya balik tanya.

“Ini buat mandi nanti, jadi susunya dikucurkan di tubuh, terus nanti kita ambil fotonya,”

“Loh tak pikir untuk minum,” kata saya

Akhirnya saya memesan satu liter susu segar ke pihak hotel. 

Selain saya ada 4 bapak-bapak lain yang ikut sesi pemotretan, termasuk Pak Sen. Dua orang bapak-bapak saya sudah mengenal di sesi pemotretan sebelumnya. Satu Pak Kre yang bekerja di sektor kreatif, dan satu lagi Pak Dos. 

Satu lagi, seorang musisi yang saat itu menggunakan action cam. Bapak-bapak lainnya menggunakan handphone. 

Hobi, seksi, dan koleksi

Di pemotretan kali ini saya cukup banyak berbincang dengan bapak-bapak yang ikut, kecuali satu bapak yang baru saya kenal.

Pak Kre, punya hobi motret sudah lama. Ia tidak terbatas hanya memotret model, tapi juga human interest, portrait dan lainnya. Ia yang berkawan lama dengan Pak Sen, meski tidak selalu bisa ikut, ia lumayan sudah sering ikut motret model telanjang.  

Pak Dos, mengatakan hal yang sama. Sejak kuliah ia sudah hobi motret. Khususnya untuk jenis portrait. Maka motret model  sebenarnya bukan hal baru baginya. Namun, motret model telanjang dengan privat memang baru beberapa tahun ke belakang. 

“Hanya suka saja mas, tapi ya jangan sampai istri tahu, bisa digorok saya,” katanya tertawa. 

“Kalau istri saya tahu, asal nggak dipakai saja,” kata Pak Kre menyahut omongan Pak Dos. Menurut Pak Kre, istrinya tahu dengan aktivitasnya karena memang ia bukan tipe suami yang menyembunyikan aktivitasnya. Bahkan kadang ia video call saat pemotretan.

“Iya istri saya tahu, lihat gambarnya juga biasa. Yang pentingnya tidurnya saya tetap sama dia,” katanya tersenyum. Pak Kre, ini memiliki dua anak yang sudah beranjak dewasa. Dua-duanya tengah menyelesaikan kuliahnya.

Pak Dos, sendiri anaknya masih kecil. “Pokoknya buat hobi saja kok, Mas. Cuma untuk dilihat saja,” katanya. 

Pak Kre, mengatakan ia ikut motret model telanjang untuk sekadar hiburan saja. Nggak lebih. Pose-pose yang diminta ke model juga bukan yang seronok, tapi yang lebih menonjolkan sisi estetika foto. Meski itu hanya menggunakan handphone. 

Bapak-bapak memotret model telanjang hanya untuk koleksi saja. Foto Agung P/Mojok.co

“Pakai handphone udah nggak perlu ngedit-ngedit rumit, nggak perlu bawa kamera, berat,”  kata Pak Kre, beralasan. 

Pak Sen juga demikian, bermodalkan smartphone seharga Rp 10 juta, Pak Sen kerap mengunggah foto-foto model di feed Instagramnya. Tentu saja, bukan model telanjang seperti yang kami foto siang itu. 

Kalau Pak Dos menyimpan foto di cloud, Pak Kre menyimpan foto-foto sebagian di hardisk di rumah dan sebagian lagi di HP. “Kalau anggota keluarga, meski istri juga tahu hobi saya, kami saling percaya saja, jadi nggak ada kami buka HP orang lain di rumah,” kata Pak Kre. 

Jika, pemotretan sebelumnya kondisi dengkul saya tidak bisa membuat konsentrasi, maka kini kondisi celana yang basah membuat saya kedinginan. Saya bahkan mengambil salah satu handuk di kamar untuk jadi bantalan duduk saya di sofa kamar. 

Sesi pemotretan diakhiri saat model masuk ke bathtub yang penuh dengan bola warna warni dan mandi susu dari telanjang. 

Pak Sen, tidak bisa langsung saya wawancara. Kondisi saya yang klebus juga tidak nyaman untuk ngobrol panjang. Kita janjian ketemu di rumahnya

Sebelum saya bertemu dengan Pak Sen, saya berjumpa dengan anak muda, sebut saja Mas Son (23), mahasiswa yang hobi fotografi. Laki-laki yang baru menikah setengah tahun lalu ini pernah ikut komunitas fotografi dan aktif juga motret model. Namun, menurut pengakuannya ia baru sekali ikut motret model telanjang. Alasannya selain karena sudah terpenuhi rasa penasarannya, ia juga tak mau buang-buang uang untuk motret model telanjang. 

Ia pernah ikut event motret model telanjang yang pesertanya 25 orang. Orang sebanyak itu dibagi dalam 5 sesi. “Tempatnya di hotel, biasanya sesi siang, sore, malam, kemudian sesi pagi dan siang. Masing-masing sesi, dua jam,” katanya. 

Selain sesi rombongan ada juga sesi privat yang biasanya maksimal diikuti oleh 5 orang. Usia peserta motret model telanjang itu menurut Mas Son sangat beragam. Selain mahasiswa, ia juga bertemu dengan bapak-bapak yang usianya sudah paruh baya. 

Mas Son, tahu dari sekian banyak peserta memang ada yang iseng untuk ikut dan asal foto saja, tapi juga ada orang-orang yang memang ingin memotret model telanjang atau semi telanjang karena unsur seninya. “Nanti aku kirimin instagram fotografernya mas, foto-fotonya artistik banget,” kata Mas son.

Berbeda dengan yang dilakukan oleh Pak Sen, penyelenggara motret model telanjang memang untuk mencari keuntungan. “Dua tahun lalu itu untuk yang acara, per orangnya sekitar 200 ribu rupiah, sekarang mungkin sekitar Rp 350 ribu per orang,” kata Mas Son. 

Setahu Mas Son, honor untuk model sekitar Rp 2 juta rupiah waktu itu. “Modelnya bukan kelas atas sih Mas, biasanya mahasiswi. Secara fisik lumayanlah meski nggak seseksi model yang difoto Mas Agung,” katanya tergelak.

Mas Son tidak lagi motret model telanjang, karena selain tidak diperbolehkan oleh pacarnya yang kini jadi istrinya, saat itu cuma ingin memuaskan rasa penasaran saja. Sejujurnya ia dulu kerap motret model karena tergabung di komunitas fotografi, baru dua tahun lalu ia tahu kalau model-model tersebut ternyata mau difoto nude atau telanjang.  

Bahkan karena tergiur dengan keuntungan yang didapat, ia dan temannya sempat berpikir untuk membuat EO motret model telanjang. “Tapi dipikir-pikir, masak cari duit sampai segitunya, lagian sudah nggak boleh sama istri,” katanya. 

Jangan hakimi model

Malam kemarin saya akhirnya bertemu dengan Pak Sen di rumahya untuk ngobrol tentang motret model telanjang. Perannya dalam pemotretan seperti event organizer, tapi ia menolak disebut demikian karena ia tidak mengambil untung sedikitkun dari kegiatan motret model telanjang. Bahkan banyak tomboknya.

“Kalau saya kan perlunya foto model itu untuk feed Instagram sebagai personal branding saya sebagai seniman. Makanya sebelum sesi foto telanjang, selalu ada sesi model pakai baju,” katanya saat berbincang di lantai dua rumahnya. Udara Jogja yang terasa dingin malam itu, tidak terasa karena suguhan vodka yang diracik dengan minuman ringan dan perasan jeruk nipis yang ia berikan. Saya sendiri, membawa tengkleng kambing untuk menemani obrolan malam itu. 

“Saya sering banyak tomboknya, cari properti untuk foto. Untungya ya saya dapat foto-foto buat saya pasang di feed saya. Selain itu ya, saya dapat model untuk lukisan saya,” kata Pak Sen. Keluarganya, istri dan dua anaknya sudah paham dengan hobi dan pekerjaan bapaknya. Anak sulungnya yang berusia 25 tahun, saat ini sudah bekerja di Jakarta. Sedang anak bungsunya yang berusia 23 tahun, baru saja lulus dari perguruan tinggi. 

Meski lama, bergelut di dunia foto, Pak Sen, mengaku baru intens motret model telanjang dua tahun terakhir. Pak Sen, sendiri tak kesulitan mencari model karena kebanyakan model-model itu yang menghubunginya untuk minta difoto. 

Ia sangat selekftif mengajak orang-orang yang ingin motret model telanjang. Ia tidak ingin justru merugikan model itu sendiri. “Mereka mau difoto telanjang, itu karena mereka percaya ke saya. Kalau nggak sama saya, mereka nggak mau. Nah itu yang saya jaga,” kata Pak Sen.

Saya awalnya tidak percaya, tidak ada motif ekonomi dari kegiatannya mengajak bapak-bapak motret model telanjang. “Ini loh, saya transfer semua uang pendaftarannyake modelnya,” kata dia menunjukan sejumlah nominal yang ia transfer ke rekening model. 

Pada kesempatan itu, Pak Sen juga mengingatkan saya untuk menghapus foto model telanjang di feed instagram saya yang dulu kami foto beberapa bulan silam. “Orangnya mau nikah, minta foto yang ada dia untuk dihapus,” katanya.

Menurut Pak Sen, beberapa model seksi maupun telanjang yang ia foto ada yang meminta foto-foto mereka dihapus karena akan menikah. “Biasanya kalau ada masalah dalam pernikahan si model, ia menghubungi minta difoto lagi,” katanya tertawa. 

Pak Sen juga menegaskan, model-model yang ia gunakan untuk foto bersama bapak-bapak sekadar hanya mau difoto. Ia tahu karena beberapa bapak-bapak yang motret telanjang ada yang menggoda modelnya. “Setiap ada yang menggoda, model-model itu selalu menghubungi saya. Itu hak dia kalau mau yang lain, tapi setahu saya, nggak ada model-model yang saya bawa diajak lebih jauh,” katanya. 

Yang ada justru ia bertemu dengan bapak-bapak kaya yang hanya ingin menyaksikan orang-orang motret model telanjang. “Orang kaya banget di Jogja, dia bayari semuanya. Hotel, biaya model, modelnya juga dikasih bayaran mahal, tapi dia malah nggak ikut motret, aneh kan,” katanya.

Meski banyak model-model yang ingin difoto olehnya, ia sangat selektif. “Yang ngubungi lewat DM Instagram banyak, tapi kan kita cari yang memang proporsional, secara art itu menarik kalau difoto,” kata Pak Sen. 

Ia tak menampik, mungkin banyak model atau orang yang mau difoto telanjang, tapi belum tentu mendapat model yang secara fisik memang seksi dan menarik. 

Soal kemananan foto-foto telanjang, Pak Sen juga selalu berhati-hati. Itu kenapa ia selalu menyeleksi orang-orang yang ia ajak untuk motret telanjang. Pernah suatu kali, ada foto model telanjang yang tersebar di sebuah grup WhatsApp. Ia segera tahu siapa yang menggugah foto tersebut. “Untungnya belum tersebar dan segera dihapus oleh orang-orang yang ada di grup itu. Kasihan kan modelnya,” ujarnya.

Pak Sen, mengatakan, model-model itu mau difoto telanjang tentu ada alasan kuat. “Coba bayangkan, ada perempuan 18 tahun, mau difoto telanjang. Mungkin salah satunya mereka mau karena saya yang ngajak. Tapi  kita nggak tahu, mungkin di balik itu ia punya alasan berjuang untuk keluarganya,” katanya.  Salah satu yang ia lihat, model-model yang selama ini mau difoto nude itu adalah tulang punggung keluarga.

BACA JUGA Sisi Lain dari Klitih Anak Sekolah di Yogyakarta dan liputan JOGJA BAWAH TANAH lainnya.

Exit mobile version