Seorang petani bernama Wakijan (81) memilih mempertahankan lahan di tepi Jalan Kaliurang meski tawaran menggiurkan untuk menjual tanah warisan datang. Baginya, tanah untuk bertani merupakan pusaka yang tak bisa sembarang dijual.
***
“Tanah ini pusaka dari orang tua. Kalau dijual, makan dan sumber penghidupan jadi hilang,” kata Wakijan sambil menyesap rokok di pinggir lahannya.
Usianya sudah 81 tapi Wakijan masih kuat menggarap lahan seluas 1.500 meter persegi seorang diri. Hari itu, ia sedang menyebar pupuk urea untuk jagung yang ia tanam di kala musim kemarau. Jagung yang hari itu baru berusia kurang dari dua pekan.
Sejak lama, saya mengamati sepetak lahan yang terletak sekitar 50 meter di tepi Jalan Kaliurang KM 8 ini. Tepatnya di Jalan Palem Raya, Sinduharjo, Nganglik, Sleman.
Seorang kakek yang setia dengan sepetak sawah di tepi Jalan Kaliurang
Lokasinya terbilang strategis. Di sisi baratnya terdapat perumahan elite tepi Jalan Kaliurang. Di sisi timur merupakan deretan kafe-kafe yang berdiri di lahan yang dulunya persawahan. Sementara di sisi selatan dan utaranya merupakan permukiman warga. Tak heran, titik tanah milik Wakijan cukup menarik minat banyak investor.
Namun, ada hal lain yang juga membuat saya penasaran. Saat malam, terkadang tampak kehidupan di dalam sebuah gubuk yang berada di tengah lahan itu.
Rasa penasaran itu yang membuat saya menghampiri ladang itu pada Jumat (22/09/2023) pagi sekitar pukul sembilan. Beruntung, Wakijan sedang ada di sana sehingga kami bisa berbincang.
Meski geraknya sudah tidak lincah, langkahnya pun gontai ketika berjalan, lelaki ini masih tampak kuat mengayunkan cangkul ke tanah pusaka miliknya. Ia sebut pusaka, karena tanah ini warisan dari orang tuanya sejak tahun 80-an. Tanah yang saat itu belum terlalu mahal ini menjadi modal bertahan hidup Wakijan.
“Dulu ya harganya masih Rp42 ribu per meter,” ujarnya.
Warisan itulah yang kemudian menghidupi keluarga Wakijan. Ia punya tujuh anak yang sekarang sudah berkeluarga. Dua di antaranya merantau ke luar kota.
Hampir setiap hari, sejak matahari mulai bersinar, Wakijan berjalan dari rumahnya menuju ladang. Rumahnya, berjarak sekitar satu kilometer dari lahan ini.
Sawah yang menghidupi keluarga puluhan tahun
Dalam setahun ia menanam tiga kali di ladang tepi Jalan Kaliurang ini. Saat musim penghujan ia menanam padi. Lahan ini bisa menghasilkan padi sekitar tujuh kuintal. Wakijan tak menjual hasil panen padi tersebut.
“Itu untuk makan satu keluarga selama setahun. Kadang masih sisa,” ucapnya bungah.
Setelah musim panen padi, ia akan menanam jagung dan palawija. Jagung yang sedang ia pupuk kali ini merupakan fase menanam kedua. Dua pekan lalu, ia baru memanen jagung yang langsung dibeli pemborong untuk pakan ternak. Bukan hanya buahnya melainkan lengkap sepohon-pohonnya dibeli.
“Ya kalau jagung sekitar 2-3 juta dapatnya sekali panen,” tuturnya.
Lahan ini tidak punya aliran irigasi saat musim kemarau. Sehingga, Wakijan mengandalkan sumur gali yang ada di samping gubuk miliknya. Menggunakan pompa diesel, air disebar ke sudut-sudut ladang.
Sementara saat hujan, selokan kecil di samping lahan ini terisi air. Sehingga bisa untuk mengaliri padi yang ia tanam.
Sebenarnya, untuk hitung-hitungan kebanyakan orang, hasil lahan ini secara materi tidak menjanjikan. Namun, Wakijan mengaku bisa bertahan hidup puluhan tahun dengannya.
Baca halaman selanjutnya…
Wakijan nggak mau jual tanah warisan di Jalan Kaliurang meski ditawar Rp3,5 miliar
Wakijan nggak mau jual tanah warisan di Jalan Kaliurang meski ditawar Rp3,5 miliar
Lokasi yang strategis juga membuat tanah ini banyak mendapat tawaran. Banyak yang membujuknya untuk jual tanah warisan orang tuanya itu. Bahkan, ada yang menyodorkan angka yang cukup fantastis. Meski begitu lelaki tua ini tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan tanah pusaka.
“Ada orang tanya, berapa harganya? Saya nggak ngasih harga. Terus orangnya nawar Rp3,5 miliar,” paparnya.
Jika melihat situs jual beli, harga tanah di sekitaran Jalan Kaliurang Km 8 per meternya di atas Rp4 juta. Namun, bagi Wakijan mau Rp3,5 miliar atau berapapun uang yang pembeli tawarkan ia tidak mau melepas tanahnya. Uang itu mungkin seperti uang receh saja karena menurutnya yang mahal adalah status tanah itu yang merupakan. tanah warisan, tanah pusaka. Kalau ia jual dengan harga segitu, belum tentu bisa memberikan kehidupan yang panjang. Cepat hilang jika tidak dikelola dengan baik.
Masih ada banyak orang lain yang sempat menanyakan tanahnya. Mungkin mereka investor yang akan membangun perumahan atau kafe-kafe. Namun, sebelum mereka mengajukan harga, Wakijan terlebih dulu mengatakan bahwa ia tak hendak menjual tanah warisan ini.
“Jual tanah warisan, habis itu beli mobil. Ya habis uangnya. Beberapa tahun kemudian nggak bisa hidup lagi. Ini tanah bisa menghidupi saya dan anak cucu nanti,” tuturnya sambil kembali menyalakan rokok.
Selama tubuhnya masih kuat untuk menggarap lahan ini, Wakijan ingin terus mempertahankannya. Andai, suatu ketika ia harus menjual, Wakijan berkomitmen untuk menggunakan uang untuk membeli lahan yang lebih luas untuk bertani.
Pernah tujuh tahun tinggal di gubuk tengah kebun
Kami duduk berdua berdampingan di pinggir ladang. Merokok sambil mengamati kendaraan yang melintas di jalan. Mata Wakijan, sesekali, menatap pohon jagung yang tingginya masih sekitar 15 centimeter.
“Dua minggu lagi sudah tinggi. Nyenengke melihatnya,” celetuknya.
Bagi petani sepertinya, melihat tanaman tumbuh subur adalah sumber kebahagiaan. Hal itu membuat Wakijan pernah tinggal dan bermalam di gubuk cukup lama.
“Dulu pernah tujuh tahun, saya setiap hari tidurnya di sini,” ungkapnya.
Ia hanya pulang di siang atau sore hari setelah mengurus kebunnya. Lalu ketika malam, akan kembali ke gubuk sedernana ini.
Saat malam, tak ada lampu penerangan di gubuk beratap seng dan berdinding gedhek bambu itu. Baginya, cahaya bulan saja sudah cukup untuk menerangi.
Ia mengaku merasa tenang di gubuk itu. Saat bulan sedang penuh cahaya, ia bisa mengamati tumbuhan yang mulai meninggi dengan perasaan lega.
“Rasanya senang dan tenang,” cetusnya.
Wakijan memandu saya menuju gubuk sederhana tempat ia biasa bermalam. Di sana hanya ada dipan yang beralas tikar. Ada kasur tipis yang tertekuk di sudut dipan. Atapnya pun tampak tidak kokoh.
“Tapi kalau hujan nggak bocor, kok,” katanya.
Ia memutuskan untuk kembali tinggal di rumah pada 2014 silam. Saat istrinya mulai mengalami sakit-sakitan. Ia merawat sang istri bersama anaknya yang tinggal serumah.
“Istri saya meninggal 2014 itu. Saya ingat pas Jokowi baru jadi presiden,” kenangnya.
Setelah itu pun, ia lebih banyak tinggal di rumah. Anak-anak mengkhawatirkan jika terjadi sesuatu saat Wakijan berada di gubuk sendirian. Sehingga, ia hanya kembali bermalam di gubuk saat jelang masa panen padi.
Saya sempat menanyakan soal Wakijan yang sempat tinggal di gubuk pada salah satu tetangga bernama Tika yang rumahnya tak jauh dari ladang di tepi Jalan Kaliurang. Menurutnya, lelaki paruh baya ini memang pernah terlihat cukup lama kerap bermalam di sana.
Pernah menjadi relawan Merapi
Sejak remaja Wakijan sudah menjadi petani. Namun, ia juga sempat menjadi aktif menjadi relawan saat erupsi Merapi 2010 bersama lembaga INSIST.
Saat menceritakan pengalamannya sebagai relawan, Wakijan tampak mengenang dengan bahagia. Ia ambil peran di bagian logistik pada masa itu.
“Jadi relawan itu berangkatnya semangat. Tapi sampai di lokasi hatinya terenyuh Mas lihat korban-korban,” kenangnya.
Ia juga berbagi pengalaman nyaris jatuh ke jurang di lereng Merapi saat melakukan evakuasi. Kenangan itu jadi salah satu hal tak terlupakan selama aktif menjadi relawan.
Selama menjadi relawan, Wakijan kerap berangkat berkegiatan menggunakan sepeda menanjak Jalan Kaliurang. Terakhir, ia juga pernah bersepeda sampai Wonosari. Nahasnya, ia mengaku kakinya cedera pada perjalanan itu. Sehingga sejak saat itu ia memutuskan tak bersepeda jauh-jauh lagi.
“Ngancing kaki saya pas nyepeda ke Wonosari. Sampai dibawa ke rumah sakit,” kenangnya.
Kini menginjak usia 81, ia masih tampak sehat dan bahagia. Penuh senyum saat menceritakan berbagai hal dalam hidupnya.
Saat saya tanya, bagaimana kiat hidup sehat dan fisik tetap kuat sampai lanjut usia, ia hanya menjawab singkat.
“Pokoknya hati dibuat senang. Gembira. Saya jadi tani ya senangnya kalau lihat tanaman tumbuh subur,” pungkasnya.
Wakijan lantas kembali mengambil paculnya. Menutupi lubang yang sudah terisi dengan pupuk urea. Ia sudah tak sabar melihat pohon jagung ini tumbuh tinggi. Sumber kebahagiaannya yang sederhana namun nyata.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Lahan Sengketa di Tanah Istimewa
Cek berita dan artikel lainnya di Google News