Irna Kehilangan Ibu, Nisa Kehilangan Ayah, Mereka Kini Jadi Penopang Keluarga 

Irna Kehilangan Ibu, Nisa Kehilangan Ayah, Mereka Kini Jadi Penopang Keluarga

Seorang anak, menghadiri pemakaman ayahnya yang meninggal setelah terpapar Covid-19. Foto Agung P.

Bagi sebagian orang, angka kematian karena Covid-19 itu begitu lekat. Bisa jadi, angka itu adalah orang tua, saudara atau kerabat mereka yang meninggal dunia. Irna, mahasiswi semester akhir, kehilangan ibu yang selama ini jadi tulang punggung keluarga. Begitu juga dengan Nisa, dokter magang yang kehilangan ayah tercinta, sosok panutannya.

****

Hingga 19 Agustus 2021, jumlah kematian akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 121.141 jiwa. Di hari itu juga sesuai data dari Worldometers, angka kematian harian di Indonesia paling tinggi di dunia. Saya menghubungi dua orang perempuan muda yang sama-sama kehilangan salah satu anggota keluarga. Saya menghubungi mereka melalui sambungan telepon. 

Kehilangan orang tua tidak akan pernah mudah untuk siapapun, termasuk Irna (20). Enam bulan yang lalu, kehidupannya berubah, dari anak muda yang diwarnai mengerjakan tugas kuliah, nongkrong dan main sama teman, kini ia adalah tulang punggung keluarga. 

Ibunya meninggal dunia 6 bulan yang lalu karena terpapar virus Covid-19. Kehilangan yang tidak pernah dibayangkan oleh Irna secepat itu. Ibunya adalah tulang punggung keluarga. Ayahnya, mengalami cedera tulang punggung yang untuk berjalan saja susah. 

“Ibu punya usaha produksi kerupuk yang dititipkan di warung-warung sekitar rumah. Waktu itu setiap hari bisa masak 5 kilogram kerupuk,” kata gadis asal Sidoarjo, Jawa Timur. Saat ibunya sudah tidak ada, maka hari-hari Irna tidak sama lagi seperti sebelumnya. 

Ia mengambil alih peran ibunya sebagai orang yang mengurus ayahnya yang sakit, adiknya yang masih kecil, mencari nafkah dan tentu saja menunaikan cita-cita ibunya untuk menjadi sarjana. 

Irna mengenang peristiwa November 2020 silam, saat ibunya merasa tidak enak badan, seperti pusing dan merasa lelah. Irna tidak berpikir hal-hal aneh karena ia merasa tidak enak badan adalah penyakit yang wajar di usia senja. Ia tahu ibunya terpapar Covid-19 setelah sakitnya tak kunjung membaik dan ia membawanya ke rumah sakit. 

Ibunya tak mampu bertahan karena paru-parunya sudah memutih semua. Irna sempat meminta ke pihak rumah sakit untuk ikut memandikan ibunya. Sebagai anak yang dilahirkan, dimandikan waktu kecil Irna ingin mewujudkan cintanya pada ibu dengan ikut memandikan jenazah orang yang sangat dicintainya. Namun, tentu saja permintaannya itu ditolak oleh tenaga kesehatan, karena ibunya positif Covid-19.

“Aku sampai ngerengek dan menangis di hadapan nakes. Tapi aku sadar kalau nangis dan debat juga tidak memperbaiki keadaan yang ada. Akhirnya aku mengalah untuk tidak ikut memandikan ibu, akhirnya aku keluar,” jelas Irna. Keajaiban terjadi begitu saja, tiba-tiba, seorang nakes datang menghampiri Irna dan memberinya sebuah APD.

“Aku shock banget dan langsung bersiap untuk ikut prosesnya, Mbak. Aku ikuti sampai akhirnya mengantarkan ibu ke peristirahatan terakhirnya,” imbuh Irna. Irna juga menjelaskan kalau nakes memberikan dia kesempatan untuk memandikan ibu karena mereka takjub dengan keberanian dan tekad Irna untuk memandikan orang tuanya.

Di ujung telepon, Irna mengaku jika waktu itu ia masih campur aduk perasaannya. Irna mengaku kalau menyadari dunianya benar-benar runtuh usai pemakaman ibu. “Aku bisa apa tanpa ibu ku,” ujarnya dengan suara getir.

Enam bulan semenjak kepergian ibu, Irna mulai terbiasa dengan pekerjaan ibunya sehari-hari.  “Sekarang aku yang bertanggung jawab atas hal-hal domestik di rumah, bersih-bersih, memasak, dan lainnya,” jelasnya lirih. Irna menceritakan saat ibu masih ada di rumah, ia tidak pernah ikut ambil alih pekerjaan domestik.

“Sama sekali tidak ada persiapan kalau Ibu pergi secepat ini. Sekarang aku yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga hingga detail. Dulu biasanya aku menjalankan peranku seperti dewasa muda pada umumnya, mengerjakan tugas, nongkrong dan main sama teman-teman. Kalau keadaan sekarang, di mana Adik masih kecil dan kondisi fisik bapak sudah menurun, jadi kalau bukan aku, ya siapa lagi” ujarnya.

Selama kurang lebih 6 bulan ibu tidak ada, Irna merasa kalau titik terberat dalam hidupnya ketika tidak ada lagi tempat baginya untuk berbagi cerita dan berkeluh kesah.

“Apalagi kan sekarang aku punya pekerjaan berupa jasa les untuk anak-anak. Pulang ke rumah sudah sangat lelah tapi harus masak dan beres-beres,” jelas Irna. Ia mengaku, sering menangis karena tidak punya tempat mengadu. Irna mengurungkan niat untuk bercerita ke orang lain, ia berpendapat bahwa orang lain belum tentu sungguh-sungguh perhatian dan menerima ceritanya, bisa saja mereka hanya kepo.

Usaha kerupuk ibunya tetap diteruskan oleh ayahnya meski dalam jumlah tidak sebanyak dulu. “Waktu ibu masih ada, usahanya sudah berkembang dengan baik, Mbak, per harinya bisa masak sampai 5 kg, bapak juga bantu. Tapi semenjak ibu sudah tidak ada, produksi menurun hanya sekitar 2-3 kg karena bapak hanya bikin sendiri, aku sibuk mengajar les di luar rumah,” jelasnya. 

Kehilangan ibu atau orang tua menjadi perkara yang tidak mudah bagi anak. Foto Photo by Jonatas Domingos on Unsplash.

Irna sempat mengakui bahwa ia pernah membandingkan hidupnya dengan orang lain. “Aku pernah bandingkan hidupku dengan teman-temanku yang, maaf, mereka broken home. Aku merasa sangat beruntung bisa hidup dan tumbuh di keluarga yang penuh kasih sayang. Tapi ternyata, aku mengalami apa yang teman-temanku rasakan, hanya saja dengan kondisi bahwa Ibu sudah berpulang,” jelasnya dengan suara bergetar. 

Kehilangan sosok Ibu membuat Irna menyadari bahwa hidup itu tidak selalu baik-baik saja. Ternyata Irna menyadari kini ia berada di fase di mana kehilangan orang tua memang menyakitkan.

Kini Irna sudah berada di semester 7 Universitas Jember. “Alhamdulillah dapat beasiswa bidikmisi, jadi biaya untuk pendidikanku yang tinggal sebentar lagi ini masih dibilang aman,” ujarnya. Irna menjelaskan kini rencana dalam hidupnya adalah menjalani hidupnya dengan sebaik mungkin.

“Aku masih mau mensyukuri kesehatan keluarga kecilku saat ini. Sedangkan untuk biaya sekolah adik, aku akan tetap berusaha menyelesaikan kuliah tepat waktu dan mencari kerja untuk membiayai adik, karena jika hanya bergantung pada usaha berjualan kerupuk, akan tetap kurang,” jelasnya.

Nisa (25) merasakan kepedihan karena ditinggalkan oleh laki-laki yang bukan hanya menjadi panutan, tapi juga teman diskusinya. Sebuah acara makan malam keluarga berubah jadi kepanikan saat ayahnya tidak bisa memegang piring dan ngomongnya susah. “Bapak kena stroke ringan, setelah dibawa ke rumah sakit dan dilakukan tes swab, ternyata hasilnya reaktif,” katanya melalui sambungan telepon. 

Setelah melakukan 4 hari perawatan di rumah sakit, kondisi ayahnya terus menurun. Dokter melakukan video call saat mengabarkan kalau ayahnya meninggal. Ia dan keluarganya histeris saat itu, karena terasa begitu cepat ayahnya meninggalkan mereka. 

Terhitung 3 bulan kehilangan bapak membuat Nisa merasa tak ada tempat untuk berdiskusi lagi. “Aku kalau di rumah paling deket sama bapak, karena kami sering diskusi dan aku selalu mendapat pandangan baru dari bapak. Itu yang kerasa banget bedanya untuk aku,” ujarnya. Beberapa tahun terakhir Nisa juga menceritakan bahwa usaha yang dirintis oleh bapak sedang berada di bawah. Segala hal ia pastikan untuk membuat orang tuanya nyaman dalam keadaan apapun. 

“Waktu bapak sakit dan opname, aku beranikan bilang ke bapak kalau semua akan baik-baik saja, bahwa aku akan merawat mama dan adik-adik juga, yang pasti aku menyampaikan hal itu dengan harapan bapak bisa sehat lagi kan, ya, Mbak. Eh tapi ternyata takdir berkata lain,” jelasnya. 

Nisa sempat berpikir, apakah ia sanggup untuk menggantikan posisi bapaknya di dalam keluarga. Nisa empat bersaudara, satu kakak laki-laki dan sepasang adik kembar. Ia memang memiliki kakak laki-laki, tapi dalam keluarga, kini dia adalah tulang punggung keluarga.

“Wah, kakak saya itu laki-laki, tapi kami sekeluarga sudah nggak pikirkan dia lagi, belum bekerja dan kuliahnya tidak diselesaikan. Kami sekeluarga juga sudah nyerah untuk ngasih tahu kakak. Gimanapun juga, kalau kita paksa-paksa, orang itu hanya bisa berubah kalau punya kemauan dalam dirinya sendiri,” jelasnya tegas saat ditanya tentang kakaknya.

Kini Nisa sibuk menjadi dokter magang. Nisa menegaskan kalau meskipun ia adalah seseorang yang menyandang profesi dokter, hal itu tidak lantas membuatnya mudah menjalani hidup. Sebagai kakak dan anak, Nisa mengaku harus bertanggung jawab kepada keluarganya. 

“Nggak jarang juga lihat mama dan adek-adek merenung, ya aku comfort mama dengan meyakinkan kalau semuanya baik-baik saja. Bahwa beliau juga nggak perlu mengkhawatirkan biaya dan kebutuhan rumah, karena mama juga IRT aja, Mbak,” jelas Nisa. Ia juga menyampaikan kepada adik kembarnya kalau biaya sekolah mereka aku yang tanggung. 

“Aku Cuma pengen adik-adikku punya kemauan untuk menyelesaikan sekolah, nggak pengen mereka bernasib sama kaya kakakku. Adek-adekku juga sudah mahasiswa, jadi insyaallah akan ada rejekinya untuk selesaikan sekolah mereka,” ungkapnya. Nisa juga menjelaskan bahwa ia tidak ingin adik-adiknya memiliki pikiran bahwa Nisa bisa menyelesaikan sekolahnya, tapi mereka tidak karena merasa dunia tidak adil bagi mereka.

Dengan kondisi keluarga Nisa, kini ia hanya ingin membangkitkan keterpurukan keluarganya. “Untuk urusan pribadi, seperti nikah, dan lain-lain itu masih belum kepikiran, prioritas hidupku sekarang cuma mama dan adek-adek, mau bikin mereka seneng dulu. Jadi kalau sekarang mereka pengen beli sesuatu, insyaallah kalau aku bisa sanggupi, aku lakukan itu untuk mereka,” ujarnya di penghujung telepon kami.

Irna dan Nisa adalah dua dari sekian banyak orang yang bernasib sama, kehilangan salah satu orang tua mereka. Sebagian lainnya, bahkan kehilangan kedua orang tua mereka dalam waktu berdekatan. Mereka percaya, kenangan bersama orang-orang tercinta yang sudah mendahuluinya menjadi energi yang menguatkan jiwa mereka. Semoga untuk mereka yang berada di posisi ini selalu dikuatkan pundaknya dan diberi kebahagiaan apapun bentuknya.  

BACA JUGA Kenangan Kencan Pertama yang Tertinggal di Semangkok Es Krim RM Moerni 78 dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version