Mentor Animasi Hizaro, Pemuda Sederhana dari Jogja yang Merawat Industri Animasi di Indonesia seperti “Anak Sendiri”

ilustrasi - Hizkia Subiyantoro atau yang akrab dipanggil Hizaro. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagi Hizkia Subiyantoro selaku direktur eksekutif Craft Animfest, animasi adalah hidupnya. Lelaki asal Jogja tersebut bahkan rela menggelontorkan sebagian uangnya untuk perkembangan animasi di Indonesia, sekaligus menjadikan animasi sebagai sumber penghidupan banyak orang.

***

Hizkia Subiyantoro tampak sibuk menjawab pertanyaan dari pengunjung di Craft Animfest 2025, sembari jari-jemarinya memencet alat yang digunakan untuk live animation painting–seni visual yang menggabungkan seni melukis secara langsung.

Craft Animfest 2025 adalah festival film animasi pertama di Asia yang digelar oleh Hizkia Subiyantoro atau yang akrab dipanggil Hizaro sejak tahun 2017. Beragam teknik animasi tradisional pun ditampilkan dari Selasa (28/10/2025) hingga Sabtu (1/10/2025) di Studio Kalahan, Jogja.

Hizaro selaku direktur eksekutif Craft Animfest berujar bakal mengajak peserta mengeksplorasi cara baru menikmati animasi, sehingga menjadi pengalaman imersif: dekat, cair dan interaktif.

“Kami merasa craft atau film animasi Indonesia butuh yang namanya sentuhan dari seni rupa, sebab selama ini kita hanya mengenal animasi yang hubungannya selalu dengan industri mainstream,” ucap Hizaro ditemui Mojok di Studio Kalahan, Jogja pada Kamis (30/10/2025) usai mengisi workshop.

Oleh karena itu, para seniman harus punya semacam gaya dan artistik yang otentik. Informasi seputar Craft Animfest bisa kamu baca di sini.

Suka menggambar dari kecil

Hizaro berasal dari keluarga sederhana di Jogja yang membuatnya tumbuh jadi pribadi kreatif. Ayahnya, Nogo Harun adalah kondektur kereta api dan ibunya, Parjiyati seorang penjahit. Sebelum mengenal dunia animasi, orang tua Hizaro sering mengajarkan soal kebebasan berimajinasi dalam berkarya, sebab ia memang suka menggambar macam-macam.

Hizaro. MOJOK.CO
Mentor animasi untuk Indonesia, Hizaro. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Anak pertama dari tiga bersaudara itu suka mencoret-coret di tanah dengan potongan kayu atau bambu sejak usianya lima tahun. Menginjak SD, ia pun mulai mengganti media belajarnya di buku pelajaran. 

Sementara itu, imajinasinya pun tumbuh dari bacaan komik serta majalah seperti Hai. Selain itu, orang tuanya juga suka bercerita tentang kehidupan mereka. Ia pun merasa beruntung karena punya orang tua yang selalu mendukung mimpinya.

“Ayah selalu senang melihat saya menggambar dan jadi juara saat lomba, ia pernah membelikan saya pewarna merek Rapido yang waktu itu harganya sekitar Rp200 ribu. Padahal, sangu bapak setiap hari hanya Rp7 ribu,” ujar Hizaro yang kini concern di dunia animasi.

Tumbuh dengan pemikiran kreatif

Akan tetapi, saat Hizaro minta mobil mainan, ayahnya tak bisa membelikan. Ia justru menyuruh Hizaro untuk membuat mobil mainan sendiri dari bahan yang ada seperti kayu. Ia pun berhasil bisa membuatnya sendiri dan bermain seperti anak-anak lainnya.

“Saya bersyukur mengalami proses mencipta dan mandiri dengan cara itu. Coba kalau orangtua saya kaya, pasti langsung membelikan mobil mainan di toko,” katanya.

Karya seni rupa yang dipajang di Craft Animfest. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Pelajaran hidup itulah yang melekat dalam pikiran Hizaro, sehingga ketika anak-anak usianya lebih sering menggambar dua gunung dengan petakan sawah serta jalan di tengah, Hizaro justru menggambar robot Voltus. Proses kreatif itulah yang terpateri dalam diri Hizaro hingga dewasa.

Singkat cerita, Hizaro dan istrinya berangkat ke festival film animasi di Paris dan Jerman pada tahun 2016. Mereka menampilkan karyanya berjudul Roda Pantura dan melihat banyak karya lainnya.

Animasi sebagai bagian hidup

Dari pengalamannya ke festival-festival internasional, Hizaro terkesima bahwa film animasi bisa menampilkan aneka cara bercerita dengan ekspresi tanpa batas. Ia baru sadar kalau film animasi bisa jadi alat menghantarkan cerita sambil melindungi narasumber dengan cara artistik.

Mungkin orang tidak sadar tapi sebenarnya animasi itu ada menjadi bagian dari diri kita. Misalnya saya sendiri kan dulu tumbuh dengan Doraemon yang sampai hari ini mungkin mewarnai hidup saya. Begitu juga dengan teman-teman yang suka dengan One Piece hingga Toy Story,” ucap Hizaro.

Pengunjung festival Craft Animfest 2025 usai menonton screening film. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Ia pun tak menampik bahwa animasi identik dengan budaya Jepang. Oleh karena itu muncul istilah wibu yang sering digunakan sebagai bahan becandaan. Namun, Hizaro menilai hal-hal itu sah-sah saja. Justru ia berharap yang ditiru bukan hanya fancy-nya, melainkan kultur kerja keras serta kedisiplin orang Jepang.

Bahkan sebetulnya, kalau mau menengok lebih jauh, animasi itu tidak ada negaranya alias tidak punya ideolagi.

“Animasi adalah spirit atau kami menyebutnya animation cross border. Tidak ada batas antara negara atau satu ideologi tertentu,” ucap Hizaro.

Hal itu juga yang menjadi salah satu alasan Hizaro menggelar Craft Animfest. Ia berharap industri animasi dapat berkembang, baik yang independen maupun mainstream. Ia ingin seluruh animator maupun orang yang berada di industri animasi dapat selalu terhubung.

“Ibarat rawon ya, nggak cukup kalau hanya dagingnya yang enak tapi kuahnya harus segar, panas, dan bumbunya meresap. Maka dengan diskusi dan berjejaring kita bisa menjadi satu kesatuan yang harmonis. Satu tapi berbeda-beda,” ucapnya.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Film Animasi Merah Putih: One for All bikin Miris Animator Indonesia yang Susah Payah Berkarya Sampai Luar Negeri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version