Selain Makam Syekh Maulana Maghribi, di area Pantai Parangtritis ada dua makam ulama lainnya. Tempat ini juga ramai dikunjungi para peziarah. Sosoknya punya cerita aneh semasa hidupnya.
***
“Kuat to?” tanya seorang pria berbaju peranakan. Pertanyaannya belum saya jawab namun dia terus melangkahkan kaki. Tangan kirinya menenteng sendal sementara jemari kanan mengapit rokok.
Pos Observasi Bulan (POB) Parangtritis terlewati. Setelahnya, masih ada beberapa tikungan lagi sebelum sebuah bangunan di bawah pohon besar terlihat. Bangunan tersebut merupakan makam Syekh Bela-Belu dan Syekh Damiaking di dekat Pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta. Lokasinya terletak di sebelah barat makam Syekh Maulana Maghribi dan ada di punggungan bukit yang sama.
Warga mulai memasuki selasar di depan cungkup makam. Abdi dalem bersiap membakar kuthamara, sejenis kemenyan dari keraton. Dari sisi lain makam, suara tahlil dari sekelompok peziarah terdengar. Tidak sampai 5 menit, acara nyadran dimulai.
Laku aneh sang syekh
Nama Syekh Bela-Belu disebut De Graaf dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Orang Islam yang aneh, demikian sebutnya, merujuk pada dua sosok yaitu Syekh Bela-Belu dan Gagang Aking. Keberadaan keduanya, menurut De Graaf, menjadi indikasi pentingnya wilayah muara Sungai Opak pada masa kerajaan Mataram lama sekitar tahun 1000 masehi. Dua sosok tadi juga menjadi bukti tentang alam pikiran relijius Jawa di masa silam.
Penggambaran De Graaf bukanlah sebuah wujud hinaan. Surakso Trirejo, salah satu abdi dalem yang membersamai saya naik juga mengatakan hal serupa: aneh. Itu merujuk ke cara sang syekh menjalankan laku tirakat.
Dalam satu fragmen cerita rakyat dengan Maulana Maghribi, Bela-Belu pernah disinggung dengan perkataan “masa hanya makan terus” oleh ulama asal Persia tersebut. Perkataan itu pun, bukanlah sebuah cemoohan belaka. Hingga, menurut cerita rakyat setempat, badan Syekh Bela-Belu digambarkan gendut.
“Syekh Bela-Belu itu menjalankan lelaku dengan makan,” ungkap Tri, nama panggilan Surakso Triredjo. “Tapi, yang beliau makan adalah nasi yang dimasak bersama pasir pantai,” lanjutnya. Saya mengernyitkan dahi, mencoba menduga dan melogikakan.
“Cara itu beliau tempuh untuk belajar sabar dan prihatin. Sebab beliau harus memilih satu per satu nasi di antara pasir tadi,” lanjut sang abdi dalem.
“Masuk akal, kan?” tanyanya saat melihat saya masih keheranan.
Kedua sosok tadi, Syekh Bela Belu dan Syekh Damiaking, adalah pelarian dari Majapahit setelah kerajaan itu mengalami pergeseran agama. Berdasar cerita rakyat, keduanya tiba setelah Panembahan Selohening menghuni area sekitar tempat tersebut. Jika menelusuri di internet, terdapat beberapa versi nama asli kedua sosok ini. Versi Tri, nama asli Bela-Belu adalah Joko Dander dan nama asli Damiaking adalah Joko Dandung.
Kedua nama ini masih berkelindan antara Brawijaya V, penguasa terakhir Majapahit, dan Panembahan Selohening. Ketiga tokoh ini disebut-sebut sebagai keturunan Brawijaya V yang melarikan diri dari kerajaan Majapahit. Masih versi Tri, Bela-Belu dan Damiaking adalah sepasang saudara.
“Bedanya, kalau Syekh Bela-Belu dan Syekh Damiaking sudah memeluk Islam saat tiba di sini. Saat itu sudah ada Panembahan Selohening yang berkuasa,” ujar Tri.
Nama Damiaking sendiri, kata Tri, punya makna tentang laku prihatin yang dilakukannya. Sebab, nama tadi berasal dari dua kata yaitu dami (batang padi) dan aking (kering). Kata terakhir, ini mirip dengan catatan De Graaf dalam bukunya yaitu aking. Sementara Tri punya tafsiran lain lagi menyoal nama ini. “Damiaking itu artinya puasa, bertirakat.”
Jika Syekh Maulana Maghribi diidentikkan dengan ulama asli tanah Arab, maka Syekh Bela-Belu dan Syekh Damiaking ini lebih dekat dengan gambaran ulama asli tanah Jawa. Ketiga sosok legendaris ini sering diletakkan dalam taraf keilmuan setara. Satu hal saja yang membedakannya: asal usul.
“Jika derajat keilmuannya tidak sama, tidak mungkin makam mereka sama ketinggiaanya,” cetus Tri. Perkiraannya, kedua makam ulama tadi berada sekitar 200 meter di atas permukaan laut.
Perihal derajat keilmuan itupun tidaklah muncul tiba-tiba. Ada peristiwa yang terjadi antara Maulana Maghribi dan Bela-Belu hingga mereka dianggap setara, bahkan hingga makamnya berada di ketinggian yang sama. Walaupun di makam ini terdapat 2 nama, namun penyebutan tempat digabungkan menjadi ‘Makam Syekh Bela-Belu Damiaking’.
Adu kesaktian
M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 memberikan sebuah gambaran menarik tentang penyebaran Islam di Jawa masa lalu. Menurutnya, islamisasi di Jawa tidak memberikan titik balik penting dengan tanda-tanda formal perubahan agama. Ini, katanya, tidak seperti cerita islamisasi di daerah Melayu seperti Aceh. Selain itu, Rickflefs juga menyebutkan peristiwa-peristiwa ajaib berperan penting dalam islamisasi di Jawa.
Peristiwa-peristiwa ajaib itu memang banyak terjadi dalam kisah para tokoh Jawa masa lalu. Misalnya Raja Jawa yang salat Jumat di Mekah hingga ulama Persia yang mendapat ikan matang berbau harum saat memancing.
Alkisah, Maulana Maghribi mendatangi Bela-Belu untuk mengajaknya menunaikan salat Jumat di Mekah. Ketika itu, Bela-Belu sedang memasak nasi dan meminta Maulana Maghribi untuk berangkat terlebih dahulu. Belakangan, Bela-Belu bisa tiba terlebih dahulu di Mekah walaupun ia berangkat terakhir.
Momen ini lantas menjadi titik balik cara pandang Maulana Maghribi terhadap Bela-Belu. Sang syekh asal Persia mengakui kehebatan ilmu Bela-Belu dan memandangnya dalam posisi setara. Ia bahkan menyarankan murid-muridnya untuk berguru kepada syekh yang disebut oleh Tri “walaupun makan terus tapi beliau sakti”.
Masih menurut Tri, antara Bela-Belu dan Maulana Maghribi tidak pernah ada hubungan apapun seperti murid dan gurunya. Jika kemudian ada yang menganggap Bela-Belu dan Damiaking sebagai murid Maulana Maghribi, Tri mengatakan itu sebagai wujud kerendahan hati Maulana Maghribi.
Kelak, Maulana Maghribi memberikan pesan kepada para pengikutnya supaya pusara Bela-Belu dan Damiaking diletakkan dengan posisi yang sama tingginya dengan makam ulama asal Persia tersebut. Pesan ini menurut Tri adalah penegasan terhadap pengakuan Maulana Maghribi atas tingkat keilmuanya.
Makam kedua ulama ini berada di dalam cungkup dengan jendela di sekeliling bangunan. Peziarah bisa memandang masuk dari berbagai sisi. Bentuk fisik nisan keduanya relatif pendek, mirip dengan nisan ala kebudayaan Hindu-Buddha.
Nyadran masih berlangsung dan saya menghabiskan waktu dengan duduk di gazebo depan area makam. Di gazebo inilah abdi dalem biasanya berjaga sembari menunggu buku kunjungan para peziarah. Di dekat bangunan ini, ada satu musala kecil dengan bentuk mustaka seperti Masjid Patok Negara.
“Oh itu masjid baru kok, bukan masjid kuno,” seorang abdi dalem bernama Suparjiyanto (47) menerangkan saat saya bertanya.
Ia kemudian berkisah bahwa konstruksi utama bangunan makam sang syekh masih asli dan sama sekali belum mengalami pemugaran. Jarinya menunjuk pondasi di lereng bukit. “Itu agak miring kan? Ya itu masih asli,” bahkan Suparjiyanto sendiri tidak yakin jika itu dibangun dengan semen. Saat saya bertanya pada Tri, ia mengatakan bahwa bangunan ini berasal dari tahun 1874.
Di sekitar makam, pernah pula ditemukan fragmen seperti batuan candi. Lokasinya dahulu berada di area bawah makam, dekat dengan anak tangga. Kini, batu yang disebut warga sebagai watu banteng itu dimasukkan abdi dalem ke dalam area makam, di dekat pendopo depan cungkup.
“Cuma biar tidak rusak aja kok,” ujar Suparjiyanto saat saya bertanya alasan pemindahan batu tersebut.
Sama seperti makam Maulana Maghribi, lokasi ini juga sering dikunjungi rombongan peziarah dari berbagai kota. Mereka datang terutama sekali di hari libur, hari besar Islam, dan paling ramai biasanya terjadi saat bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa atau satu bulan sebelum puasa.
Walaupun lokasi ini berstatus cagar budaya, tidak ada papan informasi sebagaimana lokasi bersejarah. Peziarah dari kalangan Keraton Yogyakarta pun jarang, setidaknya demikian ungkap abdi dalem.
“Dari pihak keraton seringnya bikin sidak. Nanti pas sidak mereka memberi sejumlah uang,” demikian sebut Suparjiyanto. Ia melanjutkan cerita bahwa saat gempa 2006, bangunan makam tidak mengalami kerusakan berarti.
“Waktu itu malah ramai, wong dipakai buat mengungsi,” kenangnya.
Di bulan Ruwah, para abdi dalem juga turut mengadakan nyadran, sebuah upacara untuk mengirimkan doa ke para leluhur. Upacara ini diadakan dengan arahan langsung dari pihak Keraton Yogyakarta. Nyadran diadakan di 3 tempat secara bergantian yaitu Makam Syekh Maulana Maghribi, Makam Syekh Bela-Belu dan Syekh Damiaking, serta Cepuri Parangkusumo.
Rombongan peziarah yang belakangan saya ketahui asal Wonosobo tadi telah turun. Selang 15 menit kemudian rombongan warga dan abdi dalem telah selesai melakukan nyadran. Beberapa segera bergegas turun untuk menuju Cepuri Parangkusumo. Beberapa lainnya memilih beristirahat di serambi musala atau pelataran makam.
Ibu-ibu lanjut usia duduk meluruskan kaki sembari memegang lutut. Sementara anak-anak kecil berlarian kesana-kemari seakan tiada punya rasa lelah. Beberapa ibu muda sibuk memantau bocah-bocah tadi.
Sebagai ulama dengan nama besar, Syekh Bela-Belu, Syekh Damiaking, dan Syekh Maulana Maghribi disebut Surakso Trirejo sebagai pepunden atau leluhur bagi warga di sekitar makam. Mereka dianggap sebagai peletak dasar nilai agama dari masa silam.
“Memang bukan dikenal sebagai yang babat alas, tapi beliau-beliau itu tetap dianggap sebagai leluhur bagi warga sekitar sini,” ujarnya sebelum turun. Saya masih berada di makam ini barang sejenak, sekadar merapal doa sederhana berkawan debur ombak laut selatan.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi