Di tengah salah satu “kawasan bebas” di Jogja, siapa nyana terdapat sebuah toko kitab yang terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Mungkin tak banyak orang di Jogja yang mengetahuinya. Namun, toko kitab tersebut ternyata menjadi langganan beberapa pesantren di Jawa Tengah.
***
Kalau tak jeli dan hanya mengandalkan maps, mungkin Anda agak samar dengan lokasi toko kitab di salah satu “kawasan bebas” di Jogja ini. Namanya Dar Al Kutub Al Islamiyah (DKIs).
Tokonya berada di sebuah ruko yang memang agak menjorok ke dalam. Persisnya di Jl. Kledokan, Depok, Jogja.
Saya akhirnya berangkat dari Ngaglik untuk mengulik toko kitab Dar Al Kutub Al Ismaliyah (DKIs) setelah sebelumnya mendapat cerita dari teman-teman santri di Jogja. Yakni tentang sebuah toko kitab yang buka di tengah salah satu “kawasan bebas”.
Lokasi toko kitab tersebut memang tidak jauh dari Seturan. Nah, selama ini Seturan sendiri memang mendapat stigma sebagai salah satu “kawasan bebas” di Jogja. Hal tersebut merujuk pada menjamurnya kos Las Vegas (kos LV) di Seturan. Juga kesan-kesan bebas lain yang membuat Seturan mendapat stigma demikian.
Usut punya usut, ternyata toko kitab Dar Al Kutub Al Islamiyah ternyata merupakan toko cabang. Sementara toko pusatnya ada di Jakarta.
Informasi tersebut saya dapat dari Endah, perempuan umur 40-an tahun asal Jakarta yang mengelola toko kitab Dar Al Kutub Al Islamiyah Jogja. Kami bertemu pada Selasa, (23/04/2024), sekitar pukul 10.41 WIB.
“Masnya tinggalkan saja list pertanyaan, nanti kalau sudah ada izin dari pusat, saya kirim jawabannya lewat WhatsApp,” ujar Endah saat saya beri tahu maksud saya berkunjung ke toko kitab Dar Al Kutub Al Islamiyah Jogja siang itu.
Sebagai pengelola cabang, Endah tak berani bertindak sebelum mendapat izin dari pusat. Termasuk untuk keperluan wawancara. Alhasil, saya harus menunggu proses permintaan izin tersebut sampai akhirnya turun pada Kamis, (2/5/2024).
Toko kitab legendaris sejak 1998
Dar Al Kutub Al Islamiyah (DKIs) berdiri sejak 1998 di Jakarta. Pendirinya adalah Almarhum Habib Ahmad Idrus Alaydrus yang mendirikan toko kitab tersebut atas arahan dari sosok-sosok lain di dekatnya. Antara lain, Almarhum Habib Husin bin Abdullah Assegaff, Almarhum Habib Syech bin Muhammad bin Husin Alaydrus, Almarhum Habib Ahmad Al Mutahar, serta beberapa kiai dan masyaikh di Indonesia
“Saat ini DKIs pusat dilanjutkan oleh generasi kedua, yakni anak-anak dari Almarhum Habib Ahmad Idrus Alaydrus,” jelas Endah.
Seiring waktu, Dar Al Kutub Al Islamiyah kemudian membuka cabang di berbagai wilayah di Indonesia. Meliputi Serang (Banten), Surabaya (Jawa Timur), Malang (Jawa Timur), Kediri (Jawa Timur), Bandung (Jawa Barat), Cirebon (Jawa Barat), Medan (Sumatera Utara), dan termasuk Jogja.
“Karena itu memang cita-cita dari Almarhum Habib Ahmad Idrus Alaydrus. Beliau ingin membuka cabang di seluruh kota di Indonesia,” kata Endah.
Buka cabang di “kawasan bebas” Jogja
Menurut Endah, tidak ada pertimbangan detil nan tendensius mengenai latar belakang suatu daerah setiap Dar Al Kutub Al Islamiyah hendak membuka cabang. Jadi lebih ke arah kebetulan saja tokonya berdiri di daerah yang mendapat stigma sebagai “kawasan bebas” dengan gemerlap kos LV di Jogja.
Endah menjelakan, Dar Al Kutub Al Islamiyah menyasar daerah-daerah yang di dalamnya terdapat pondok pesanatren. Tidak harus banyak, tapi yang penting ada. Atau minimal punya akses ke pesantren-pesantren di daerah terdekat dari si toko cabang.
“Bahkan rencananya akan buka cabang juga di Papua. Ya itu tadi, Almarhum Habib Ahmad Idrus Alaydrus ingin buka cabangnya di seluruh wilayah Indonesia,” tutur Endah.
Kalau dicermati, cabang Dar Al Kutub Al Islamiyah lebih banyak buka di Jawa Timur karena memang Jatim memiliki jumlah pesantren yang cukup besar. Beberapa pondok tua dan besar pun juga terdapat di sana, terutama di Kediri.
Dar Al Kutub Al Islamiyah sendiri resmi buka cabang toko kitab di Jogja pada 2021 silam. Kata Endah, pertimbangan pusat memilih buka cabang di Jogja adalah karena Jogja memiliki akses dengan pesantren-pesantren di daerah terdekat. Seperti Magelang, Solo, Semarang, dan daerah sekitarnya di Jawa Tengah.
“Juga karena ada beberapa (pesantren) yang meminta kami agar dapat buka di Jogja. Sebab itu akan memudahkan santri di kawasan terdekat untuk lebih mudah membeli kitab dengan harga murah,” beber Endah.
Industri kitab belum lesu
Banyak toko kitab yang kini sudah beralih ke medium digital dalam proses transaksi. Termasuk yang dilakukan oleh Dar Al Kutub Al Islamiyah, tak terkecuali untuk cabang Jogja.
“Selain menjual di toko, kami juga menjual (kitab) lewat marketplace dan website resmi Dar Al Kutub Al Islamiyah,” terang Endah.
Sebelum bertemu dengan Endah, saya sempat berbincang singkat dengan Adit (24), salah satu penjaga toko kitab Dar Al Kutub Al Islamiyah Jogja.
Menurutnya, memang sedikit orang yang membeli kitab dengan datang ke toko kitab secara langsung. Namun, transaksi jual beli via marketplace bisa dibilang sangat banter.
“Kalau yang sudah langganan, seperti salah satu pondok pesantren di Magelang biasanya kalau pesan lewat WA kami,” jelas Adit.
Adapun kitab-kitab yang tersedia di toko kitab yang buka di “kawasan bebas” dengan gemerlap kos LV di Jogja tersebut adalah seluruh kitab yang diajarkan dalam kurikulum pesantren. Mulai dari kitab-kitab dasar hingga kitab-kitab babon.
Dari keterangan yang saya terima dari Endah pula, omzet Dar Al Kutub Al Islamiyah Jogja bisa menyentuh angka puluhan juta per bulan. Artinya, industri kitab masih belum lesu. Selama masih ada pesantren, selama itu pula toko kitab masih akan terus hidup.
Menerbitkan kitab dalam format baru
Dar Al Kutub Al Islamiyah secara umum menawarkan penerbitan kitab turats Islami dengan format baru (kontemporer). Tujuannya salah satunya yakni untuk memudahkan penelaah atau penliti dalam mencari materi yang dicari dalam waktu singkat.
“Format baru yang dimaksud adalah tampilan dengan huruf yang lebih besar, lebih mudah dibaca, paragraf yang lebih renggang ketimbang beberapa kitab cetakan tahun-tahun sebelumnya, baik terbitan dalam negeri maupun luar negeri,” ungkap Endah.
Meski begitu, bukan berarti Dar Al Kutub Al Islamiyah meninggalkan sama sekali format kitab kuning klasik. Seperti yang terjelaskan dalam website resminya.
Setiap kitab dari Dar Al Kutub Al Islamiyah diterbitkan dalam beberapa format. Pertama mushahhahah (format klasik sebagaimana awal kitab tersebut tercetak), kedua munaqqahah (format baru dengan menambah alinea-alinea baru per paragraf), dan ketiga muhaqqaqah (tampilan baru dan telah diedit serta adanya keterangan tambahan). Kitab-kitab tersebut pun diterbitkan dalam beragam ukuran, ada lux, ada juga standar, dengan desain yang up to date.
Dar Al Kutub Al Islamiyah juga menerbitkan buku berbahasa Indonesia yang merupakan terjemahan dari buku berbahasa Arab. Tentu setelah mendapat izin resmi dari pengarang aslinya.
Dalam proses penerjemahan pun Dar Al Kutub Al Islamiyah menegaskan tak mau asal dan sangat hati-hati. Dipilih orang yang memiliki kapasitas keilmuan sesuai buku yang hendak diterjemahkan. Karena dalam bahasa Arab, ada istilah-istilah yang memungkinkan memiliki maksud yang hanya bisa dipahami oleh orang yang ahli di bidangnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Metode Santri Nalar di LP3IA Rembang, Cara “Tak Umum” Gus Baha Mendidik Santrinya
Cek berita dan artikel lainnya di Google News