Sandeq dan Padewakang, Perahu Tradisional Kuno yang Berlayar Jelajahi Dunia Sejak Ribuan Tahun Lalu

Ilustrasi - Sandeq dan Padewakang, perahu tradisional dari Mandar dan Sulawesi yang berlayar hingga Eropa. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Sandeq dan Padewakang, perahu tradisional dari Mandar dan bumi Sulawesi menjadi saksi sejarah kejayaan maritim Nusantara. Perahu tersebut membawa nenek moyang kita berlayar hingga mancanegara.

***

Jika mau bukti nyata atas ungkapan “Nenek moyang kita seorang pelaut”, Mandar bisa memberi jawaban.

Selama ini banyak orang—termasuk saya—yang mengira kalau dulu hanya orang-orang mancanegara lah yang berlayar ke Nusantara. Sementara orang-orang Nusantara hanya melaut atau berlayar di laut sendiri.

Namun, sejarah Mandar tidak mencatat demikian. Sebab, dalam misi berdagang, nenek moyang orang Mandar nyatanya ada juga yang berlayar hingga ke Eropa.

Perahu Sandeq saksi petualangan orang Mandar ke Eropa

Menurut Muhammad Ridwan Alimuddin a.k.a Ridwan Mandar, nama perahu Sandeq sebenarnya baru muncul tahun 1993. Sementara bentuk perahunya sudah ada jauh sebelumnya dengan nama Pakur.

Bentuk Pakur sendir yakni perahu dengan layar segi 4. Lalu nenek moyang orang Mandar melakukan pelayaran hingga ke Eropa. Di sana mereka melihat model perahu yang kemudian diadopsi menjadi Sandeq.

“Perahu Eropa pakai layar segi 3. Nah karena segi 3 ada bagian yang runcing, itu namanya Sande’ (bagian yang runcing),” jelas alumnus Kelautan dan Perikanan UGM (1997-2006) tersebut saat berbincang dengan Kepala Suku Mojok, Puthut EA, belum lama ini.

Ada juga yang menyebut, Sande’ (runcing) yang dimaksud merujuk pada fisik perahu tradisional Mandar itu yang berbentuk runcing dan ramping.

Sandeq dan Padewakang, Perahu Tradisional dari Mandar dan Sulawesi yang Belayar hingga Eropa MOJOK.CO
Bentuk Sandeq saat ini, perahu tradisional Mandar yang melegenda dan mendunia. (Dok. Dinas Pariwisata Sulawesi Barat)

“Ketika orang Eropa masih berlayar sejauh 20 km hingga 30 km, kita sudah sampai Hawai hingga Selandia Baru ribuan tahun lalu. Karena nenek moyang kita lebih unggul dalam hal navigasi,” jelas Ridwan Mandar, pria dengan label “Aktivis Maritim”

Bedanya, para nenek moyang yang berlayar hingga ke Eropa tersebut tidak punya motif kolonialisasi seperti bangsa-bangsa Barat saat berlayar ke Nusantara. Alhasil, ketika bangsa Eropa mulai memadati lautan Nusantara, seolah-seolah nenek moyang kita selama ini tak pernah berlayar hingga jauh, karena tidak ada jejak dominasi seperti yang orang Eropa lakukan di Nusantara.

Perahu Sandeq tak boleh punah

Perahu Sandeq, meski hanya memanfaatkan layar dan angin dalam mengarungi laut, tapi tercatat sebagai perahu tradisional dengan kecepatan tinggi. Hal ini pun sudah diakui secara internasional. Ridwan sendiri sudah pernah berlayar dengan Sandeq dari Mandar hingga Malaysia.

Karena begitu ikonik dan menyimpan sejarah kejayaan maritim Nusantara, Ridwan Mandar akhirnya terlibat dalam upaya bagaimana agar perahu tradisional tersebut tidak lantas punah.

Ridwan mulai serius meneliti soal laut dan dunia pelayaran sejak membaca buku Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan (1982) yang merupakan disertasi dari Baharuddin Lopa. Penelitiannya berlangsung di daerah Pabusuang, tempat asal Ridwan.

“Saat pulang kampung, saya belajar tentang teknologi rumpon (batas di laut). Karena di disertasi Baharuddin Lopa ada yang kurang, saya pilih cuti kuliah dua kali untuk belajar, dari rumpon lalu Sandeq, lalu terlibat belajar pelayaran bersama Horst H Liebner (Antropolog Jerman),” jelas pria kelahiran 1978 tersebut.

Atas perhatiannya pada dunia pelayaran, Ridwan menemukan fakta kalau perahu Sandeq dengan bentuk asli terancam punah. Oleh karena itu, ia kini tengah mengerahkan upaya untuk bagaimana perahu tersebut masih terus ada, terutama di Mandar dan pesisir Sulawesi Barat pada umumnya.

“Saya tiga tahun jalan program pendidikan bahari dengan Kemendikbud. Namanya Student on Sandeq (SoS). Dua bulan lalu kami laksanakan selama empat hari. Kami latih siswa SMA belayar pakai Sandeq,” beber Ridwan.

Masuk kurikulum sekolah di Mandar dan Sulawesi Barat

Selain itu, program SoS juga mengenalkan pada siswa tentang kebudayaan bahari, sejarah, hingga menenun layar tradisional dari daun gebang. Output-nya bukan agar para siswa jadi pelaut, tapi lebih kepada pendidikan karakter

Setelah uji coba lima tahun, wacananya Ridwan dan Kemendikbudristek akan membawa program tersebut sebagai kurikulum sekolah. Sehingga, setiap SMA di pesisir Sulawesi Barat—termasuk Mandar—nantinya memiliki Sandeq dan ekstrakurikuler pendidikan bahari.

Hal tersebut, kata Ridwan, bisa memperbanyak Sandeq ukuran asli (agar jumlahnya tak punah). Di samping itu, para pelaut di Sulawesi Barat pun akhirnya bisa berguna ilmunya karena akan dilibatkan dalam program tersebut.

“Kami mengadopsi seniman masuk sekolah. Kementerian punya program menggaji seniman untuk sekolah. Nah, kalau ini pelaut. Biar pelaut juga bangga akan keilmuannya,” terang Ridwan Mandar.

“Karena ada fenomena pelaut tidak ingin anaknya jadi pelaut, karena memang melaut itu susah. Tapi memang, supaya Sandeq tetap ada, harus masuk kurikulum,” imbuhnya.

Padewakang perahu penjelajah

Selain Sandeq, orang-orang Sulawesi dulu menjelajah lautan dengan perahu Padewakang (kemudian berkembang menjadi Pinisi).

Konon pada abad 16-an, dengan perahu Padewakang itu nenek moyang kita pernah berlayar hingga Australia untuk berdagang teripang. Persisnya di pesisir utara Australia seperti Arnhem, Semenanjung Carpentaria, dan Pantai Kimberley.

Selain itu, perahu tersebut disebut pernah menjelajah hingga ke Filipina, Semenanjung Malaya, Teluk Persia, bahkan hingga Pulau Madagaskar.

Karena dinilai sangat autentik, perahu Padewakang menjadi andalan Indonesia pada Pameran Archipel yang berlangsung di Liege, Belgia, pada Oktober 2017 hingga Januari 2018 silam.

Model Padewakang saat ini. (KWI UNESCO)

“Saya dan Horst H Liebner diminta untuk buat (perahu Padewakang). Kami buat di Bulukumba. Kami bongkar terus kirim ke Belgia. Di sana kami rakit, lalu dipamerkan selama enam bulan,” ujar Ridwan.

Ketertarikan orang-orang mancanegara terhadap perahu legendaris tersebut memang masih sangat tinggi.

Usai dari Belgia, Ridwan dan Horst mendapat permintaan bantuan dari salah satu komunitas muslim di Australia. Saat itu mereka tengah menggarap film dokumenter perihal sejarah masuknya Islam di Australia yang melibatkan pelaut Makassar yang berdagang teripang di abad 16 M-20 M.

Komunitas tersebut meminta Ridwan dan Horst untuk membuat perahu Padewakang. Tak cuma membuat, ia juga diminta untuk mendokumentasikan mulai dari proses pembuatan hingga saat membawa perahu tersebut berlayar ke Australia

“Pelayaran itu berlangsung 2019-2020, selama kurang lebih 40 hari,” ungkap Ridwan.

Poinnya adalah, jika orang-orang mancanegara saja mengakui kedigdayaan perahu-perahu tradisional Nusantara di lautan lepas, maka sudah sepatutnya bangsa Indonesia sendiri memiliki kepedulian dan kesadaran lebih untuk membuatnya tetap lestari.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Tersenyum dan Menangis Sendiri di Tengah Konser Lagu Anak-anak “Kumandang Kidung Bocah” Jogja, Hanyut dalam Kenangan Bersama Ibu

Simak obrolan Ridwan Mandar dan Puthut EA serta video lainnya di kanal YouTube Mojokdotco

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version