Ulama kondang, Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya atau dikenal sebagai Habib Luthfi membuat geger geden. Gara-garanya sebuah makam di Semarang disebut sebagai makam Habib Hasan yang punya nama lain KRT Sumodiningrat. Hal itu jadi polemik karena makam panglima perang saat Geger Sepehi itu selama ini berada di Jejeran, Bantul, Yogyakarta. Mana klaim yang benar?
***
Seorang kawan di kantor memberi ide untuk mengangkat liputan tentang polemik ulama kondang, Habib Luthfi yang menyatakan bahwa KRT Sumodiningrat sebagai Habib Hasan bin Thoha bin Yahya (Syekh Kramat Jati). Di media sosial, perdebatan tentang persoalan ini sangat ramai.
Sebagai orang yang awam soal begini tentu awalnya ada rasa enggan untuk menelusurinya. Namun, jiwa skeptis sebagai seorang jurnalis akhirnya tertantang juga. Kawan saya ini memberi sebuah bekal informasi, bahwa Habib Luthfi yang juga jadi Pemimpin Forum Sufi Dunia ini punya karomah tersendiri dalam menentukan siapa sosok yang berada dalam sebuah makam.
Dua klaim berbeda soal KRT Sumodiningrat
Hal pertama yang saya lakukan tentu saya melakukan riset tentang sosok ini. Salah satu sumber yang saya dapatkan adalah tesis Magister dari Siti Fatimah di Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2019), yang berjudul “Peran Habib Hasan Bin Thoha (KRT.Sumodiningrat) dalam Melestarikan Tradisi Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Pada Masa Sultan Hamengkubuwono II, 1792-1819 M”. Tesis ini diujikan pada Jumat, 21 Juni 2019.
Sumber lainnya adalah Manaqib Habib Hasan bin Thoha bin Yahya yang dibacakan oleh Ketua Majelis Taklim Darul Hasyimi Yogyakarta Sulistyo Eko Cahyono dalam acara “Peringatan Maulid Nabi dan Haul KRT Sumodiningrat (Habib Hasan) bersama Habib Luthfi bin Yahya”. Acara tersebut berlangsung di Semarang pada 18 Desember 2021.
Dua sumber tentang sosok Habib Hasan (KRT Sumodiningrat) ini menceritakan hal sama. Cerita singkatnya, Habib Hasan bin Thoha datang ke Yogyakarta untuk menjaga tradisi Islam di keraton. Melihat kepiawaian Habib Hasan, Sultan Hamengku Buwono II mengangkatnya menjadi menantu dengan menikahkannya dengan puteri sulungnya yaitu Bendoro Mas Ayu Rantam Sari.
Selain sebagai menantu, Habib Hasan yang kemudian mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiningrat juga kepala prajurit pengawal keraton yang berjuang melawan pihak kolonial.
Lalu dimana posisi Habib Hasan (KRT Sumodiningrat) saat peristiwa Geger Sepehi 19-20 Juni 1812? Versi ini menceritakan jika sosok yang terbunuh dalam peristiwa tersebut bukan KRT Sumodiningrat, tapi adiknya. Sedangkan sosok Habib Hasan (KRT Sumodiningrat) tidak ada di lokasi pengepungan.
Singkatnya, Habib Hasan (KRT) Sumodiningrat meninggal di Semarang pada tahun 1835 yang kemudian dimakamkan di depan pengimaman masjid Al Hidayah Lamper Kidul, Semarang. Tiap tahun, ribuan masyarakat mengikuti haul Habib Hasan di Semarang.
KRT Sumodiningrat gugur karena keroyokan pasukan Inggris dan Legiun Mangkunegaran
Klaim sosok KRT Sumodiningrat sebagai Habib Hasan oleh Habib Luthfi mendapat penolakan dari pihak yang lain. Dalam hal ini keturunan KRT Sumodiningrat dan Trah Sultan Hamengku Buwono II. KRT Sumodiningrat memang menantu Sultan HB II, tapi bukan seorang habib.
Perbedaan lainnya, sosok KRT Sumodiningrat tidak meninggal di Semarang, tapi meninggal dalam Geger Sepehi di tanggal 20 Juni 1812. Ia gugur di pagi hari karena berondongan peluru pasukan Inggris atau sepoy yang mendapat bantuan dari Legiun Mangkunegaran.
Sumber tertulis di Babad Bedhah ing Ngayogyakarta karya Pangeran Panular menjelaskan secara detail kematian panglima perang pemberani tersebut. Sang Panglima Perang yang sudah gugur masih ditebas lehernya. Pengikutnya baru memakamkan komandan perang mereka malam harinya sekitar pukul 10.00 di makam keluarga yang terletak di Jejeran, Bantul, Yogyakarta.
Meski ceritanya ada yang beririsan, tapi dua cerita tentang sosok KRT Sumodiningrat ini sebenarnya banyak yang bertolak belakang. Saya sebenarnya ingin langsung mencari pendapat ke peneliti makam tua. Namun, teman saya menyarankan untuk wawancara Gus Muwafiq yang juga suka berziarah ke makam wali.
Jangan-jangan ulama NU ini punya metode khusus atau gaib untuk menentukan siapa yang dikubur dalam sebuah makam tua. Beruntung, saya mendapat undangan untuk datang di acara lomba baca puisi dan pidato kebudayaan di pesantren milik sang kiai di kecamatan Minggir, Sleman awal Oktober lalu.
Kata Gus Muwafiq tentang kemampuan menentukan makam siapa
Hari sudah larut malam saat saya mencegatnya sebelum ia bertolak ke Demak untuk acara pengajian. Saya minta pendapatnya tentang ziarah makam di tahun politik dan tentu saja soal perbedaan pendapat tentang makam KRT Sumodiningrat yang lokasinya ada dua, di Semarang dan di Jejeran, Bantul.
Gus Muwafiq mengatakan ada orang yang menentukan siapa yang ada di dalam makam berdasarkan ideologi. Artinya, biasanya yang dicari terminologi personal yang oleh seseorang percayai. Golongan lainnya, melakukan pencarian bukan berangkat dari itu, tapi dari historiografi.
Ia melihat persoalan makam KRT Sumodiningrat adalah pertemuan antara tradisi historiografi dengan tradisi keyakinan personal atau ideologi. “Nanti ujungnya seperti apa, kita belum lihat. Tapi pasti ada ujungnya,” kata Gus Muwafiq ketika saya mintai pendapat tentang klaim dari Habib Luthfi maupun dari Trah HB II.
Salah satu alasan yang trah Hamengku Buwono II yakin bahwa makam yang ada di Jejeran Bantul merupakan KRT Sumodiningrat adalah berdasarkan Kekancingan dari Keraton Yogyakarta, maupun sumber tertulis lainnya.
“Nah, itu historiografi,” katanya.
“Lalu Gus Muwafiq menggunakan apa ketika menentukan makam seseorang,” tanya saya.
“Pertama yang saya pakai adalah historiografi, saya berawal dari historiografi, kalau tidak ketemu di historiografi, kita ketemu di tinggalan dan lain-lainnya,” kata Gus Muwafiq.
Bagaimana peneliti yakin makam KRT Sumodiningrat ada di Jejeran
Jawaban Gus Muwafiq yang menyebut-nyebut historiografi membawa saya untuk menemui Yaser Arafat, seorang dosen UIN Sunan Kalijaga yang juga peneliti makam-makam kuno dan kebudayaan Jawa. Begitu saya tanyakan persoalan makam KRT Sumodiningrat, apakah benar yang ada di Semarang atau di Jejeran, ia menjawab dengan tegas.
“Kalau kebenarannya, makam KRT Sumodiningrat yang benar itu ada di Jejeran, Bantul,” kata Yaser Arafat tegas. Bukti kalau makam KRT Sumodiningrat ada di Jejeran, lanjutnya, karena tercatat di dalam naskah-naskah resmi yang se-zaman.
“Misalnya, ada dalam Babad Mangkudiningrat, atau biasa sebutan lainnya Babad Sepehi. Babad ini menceritakan bagaimana Sumodiningrat itu meninggal di peristiwa Geger Sepehi. Bahkan pemakamannya malam hari itu juga,” katanya kepada Mojok di ruang kerjanya, di Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Yaser Arafat mengatakan, Babad Mangkudiningrat itu selesai ditulis oleh Pangeran Mangkudiningrat di bulan Maret 1813, sementara Geger Sepehi terjadi 20 Juni 1812. “Jarak waktunya nggak jauh dari peristiwanya. Dan Sosok Pangeran Mangkudiningrat ini adalah putra dari Sri Sultan HB II, yang juga adalah iparnya KRT Sumodiningrat,” kata Yaser Arafat.
Sumber dari saudara ipar yang ikut berperang
Ia menambahkan saat Geger Sepehi, Pangeran Mangkudiningrat ikut berperang dan terkena pecahan peluru meriam pasukan Inggris.
Satu sumber tertulis yang menguatkan soal siapa KRT Sumodiningrat ini Babad Ngengreng. “Kalau sejarawan Peter Carey menyebutnya Babad Ngengreng, tapi saya biasanya menyebut Babad Panular karena yang menulis itu Pangeran Arya Panular. Ia selesai menulis pada tahun 1815,”kata Yaser Arafat.
Menurut Yaser Arafat, Pangeran Panular ini sekaligus paman Pangeran Diponegoro. Dalam babad tersebut, secara blak-blakan penulis menggambarkan bagaimana kematian KRT Sumodiningrat. Setelah mendapat berondongan peluru, dan meninggal, kepalanya ditebas, tapi tidak sampai putus. “Digambarkan mereka menebas bagian tulang selangkanya,” kata Yaser Arafat menunjuk bahu.
Selain itu babad itu menceritakan bagaimana para pengikut KRT Sumodiningrat membawa jenazah atasannya ke Jejeran pada pukul 10 malam.
Mengapa pemakamannya di Jejeran, Bantul?
“Karena secara silsilah KRT Sumodiningrat ini adalah cucunya Kiai Wonokriyo yang makamnya memang ada di Jejeran. Dan makam di situ satu keluarga,” kata Yaser Arafat menjawab mengapa lokasi pemakaman ada di Jejeran.
Ia melanjutkan, jika ditarik lagi ke atas, maka KRT Sumodiningrat itu keturunan KRT Jayaningrat bin Gajah Tlena, bin Jawinata, bin Puspatruna, bin Kiai Wonokriyo, bin Adipati Pragolapati II, bin Adipati Pragolapati I, bin Kia Ageng Penjawi.
Jadi ujungnya ke atas KRT Sumodiningrat itu keturunanKiai Penjawi yang mendirikan Mataram Islam bersama Ki Jurumertani dan Ki Ageng Pemanahan. “Jadi KRT Sumodiningrat itu trahnya Ki Penjawi, secara garis keturunan itu sangat jelas. Datanya ada di Keraton Yogyakarta, ada kekancingannya,” kata Yaser Arafat.
Yaser Arafat menegaskan, ia tidak bermaksud membela salah satu pihak. Yang ia lakukan adalah disiplin dalam dunia akademik. Ia pun saat polemik soal makam ini mulai muncul langsung melakukan kajian. Termasuk meneliti keyakinan dari pihak yang menyatakan bahwa KRT Sumodiningrat adalah seorang habib dan makamnya ada di Semarang.
“Saya cek, dari versi makam yang di Semarang, Habib Hasan ini atau KRT Sumodiningrat yang punya istri dari anaknya Hamengku Buwono II,” kata Yaser Arafat. Namun, ia menemukan bahwa ada dua versi soal istri Habib Hasan ini yaitu yang pertama menyebut Rantamsari. Namun, ada juga yang menyebut namanya GKR Bendoro.
Silsilah di Keraton Yogyakarta bantah klaim Habib Luthfi
Yaser Arafat kemudian melakukan pengecekan dari Serat Rojo Putro, yaitu catatan yang menghimpun seluruh istri-istri Sultan dan anak-anak Sultan dari Sultan HB I hingga Sultan HB IX.
“Dari serat itu Sultan HB II tidak memiliki anak bernama Rantamsari, justru dalam serat itu sosok yang bernama Rantamsari adalah selir Sultan HB II. “Apa mungkin, Sultan punya istri bernama Rantamsari, sementara Habib Hasan punya istri, anaknya Sultan HB II yang bernama Rantamsari?” kata Yaser Arafat.
Yaser Arafat kemudian melakukan penelusuran, ternyata ada pengakuan lagi bahwa istri dari KRT Sumodiningrat versi Semarang bukan Rantamsari, tapi GKR Bendoro yang merupakan hasil perkawinan dari Sultan HB II dengan Rantamsari.
“Di serat Rojo Putro, menyebutkan perkawinan antara Sultan HB II dengan Rantamsari tidak menghasilkan keturunan. Nama GKR Bendoro dalam Serat Rojoputro memang ada, tapi bukan hasil perkawinan Sultan HB II dengan Rantamsari. Namun, hasil perkawinan antara Sultan HB II dengan GKR Kedaton.
“Dari situ saya menyimpulkan bahwa KRT Sumodiningrat yang ada di Semarang itu hanya klaim. Bagi saya, sekiranya itu dianggap makam, ya lebih aman sebut saja makam Habib Hasan saja, tapi jangan Sumodiningrat, karena ini di Jogja ada trah-trahnya,” jelas Yaser Arafat.
“Termasuk yang sekarang di YouTube yang sering protes itu, termasuk trahnya Sumodiningrat. Dan yang mereka nyatakan valid karena berdasarkan sumber-sumber historiografi, sumber primer dalam sejarah kita. Dan sampai sekarang saya belum tahu, sumber historiografinya yang dari versi Semarang itu dari serat apa, naskah apa, data apa,” papar Yaser Arafat.
Persilahkan orang-orang bantah penelitiannya soal Sumodiningrat yang bukan habib
Yaser Arafat pada 6 Juli 2023 mempublikasikan tulisan hasil kajiannya tentang sosok KRT Sumodiningrat. Kajian itu setelah muncul opini dan penetapan KRT Sumadiningrat sebagai Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya (Syekh Kramat Jati) oleh Majelis Taklim Darul Hasyimi yang bertautan dengan Habib Luthfi.
Polemik makin mengemuka karena makam KRT Sumodiningrat di Lamper Kidul, Semarang Selatan, Semarang, Jawa Tengah. Opini ini cukup menjadi pertanyaan besar di kalangan para pengkaji sejarah dan anak-turun serta kerabat KRT Sumadiningrat, Sultan HB II serta anak-turun KRT Jayaningrat.
Menurut Yaser Arafat, selama 200 tahun lebih sejak kematian KRT Sumodiningrat pada 1812 di tragedi Geger Sepehi, KRT Sumadiningrat tercatat dalam seluruh catatan nasab induk di Yogyakarta sebagai anak KRT Jayaningrat I, seorang Bupati Remame, Kedu, bukan seorang habib atau sayyid.
“Sampai sekarang, tulisan saya itu tidak ada bantahan. Sekiranya tulisan saya itu ada yang menganggap salah dan tidak pas dengan data yang ada di Semarang, bantah saja. Masalahnya hingga hari ini tidak ada bantahan,” kata Yaser Arafat.
Ia mengatakan, data-data yang ia gunakan untuk melakukan kajian ia dapatkan dari Keraton Yogyakarta, serat kekancingan dari trah Sumodiningrat.
Hasil kajian Yaser Arafat tentang sosok Sumodiningrat yang ia beri judul “KRT Sumodiningrat Bukan Habib Hasan bin Thoha bin Yahya Semarang” bisa diakses di sini.
Bagaimana dengan orang-orang yang bisa menentukan makam lewat gaib
Saya lantas ngobrol dengan Yaser Arafat terhadap fenomena orang-orang yang punya kemampuan secara gaib bisa mendeteksi sebuah peristiwa di masa lalu. Hingga bisa menentukan mulai dari peristiwa, hingga makam seseorang.
Yaser Arafat mengatakan, apa yang ia sampaikan mungkin berbeda dengan cara pandang orang lain. Namun, ia menegaskan bahwa tidak ada landasan kebencian atau landasan apapun ketika ia menyampaikan kesimpulan dari hasil penelitiannya.
“Landasan saya sebagai seorang akademisi. Tanggung jawab sosial saya sebagai seorang peneliti dan ilmuwan yang berbicara dengan data, kajian, dan saya berbicara dengan seluruh hikmat saya dalam dunia ilmu pengetahuan,” kata Yaser Arafat.
Secara keilmuannya, sebuah makam yang tidak asal usulnya misterius, bisa menelusuri lewat ciri fisiknya, penanda yang ada di makam yang menunjukkan waktu pembuatannya. Namun, penulis buku Nisan Hanyakrakusuman ini mengatakan sulit membantah cerita narasi yang muncul tentang makam itu.
Ini karena narasi tersebut kadang tidak ada sumbernya. “Dan biasanya narasi seperti itu dari sumber-sumber pembacaan gaib dan semacamnya,” kata Yaser Arafat.
Tidak menolak terawangan gaib di makam
Ia menegaskan tidak menolak dengan pembacaan gaib dan semacamnya, cuma kendalanya adalah kalau tidak bisa diverifikasi yang artinya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Padahal ia seorang ilmuwan dan peneliti yang bicara berdasarkan data.
“Yang lebih penting lagi dalam temuan saya selama meneliti, kalau ada 10 orang yang membaca secara gaib terhadap satu makam. Maka akan muncul 10 nama yang berbeda,” kata Yaser Arafat yang kerap blusukan untuk berziarah ke makam-makam tua.
“Ini serius Mas. Serius. Saya sudah mendatangi beberapa ahli-ahli pembaca terawang itu. Dalam cerita mereka katanya sudah pernah bertemu dengan Rasulullah. Sudah menyaksikan malaikat dan macam-macam. Ketika saya tanya satu makam, jawabannya, beda-beda,” kata Yaser Arafat.
Padahal semua orang itu mengaku punya pengalaman gaib bertemu dengan orang yang ada di makam situ.
“Ada satu makam, saya tanya ke lima orang berbeda, sang sana bilang nama tokoh ini, tanya yang lain namanya sudah berbeda. Nama itu muncul dari terawangan dan pembacaan spiritual. Tapi ternyata lima-limanya berbeda dalam membaca satu makam,” kata Yaser Arafat.
Kenapa berbeda? “Bagi saya, persoalan sejarah bukan otoritas spiritual. Spiritualitas itu bukan otoritasnya untuk bicara sejarah. Karena sejarah adalah otoritas data, otoritas historiografi, dan otoritas observasi lapangan,” kata Yaser Arafat.
Pangeran Diponegoro pernah di-habibkan
Menurut Yaser Arafat, spiritualitas ini memang sejak dari awal tidak turun untuk mengkonfimasi sejarah. Apalagi membentuk sejarah. Otoritas spiritual itu sejak menjadi sebuah disiplin dalam Islam adalah disiplin nafsu. Sehingga, ketika bicara sejarah, maka akan gagal.
“Karena sejarah bukan nafsu manusia. Sejarah itu dunia objektifnya manusia. Sehingga kalau ada perbedaan data memang begitu lah,” kata Yaser Arafat.
Menurut Yaser Arafat, ada fenomena di Indonesia ketika sebuah makam yang dulunya tidak ada, atau tidak tahu itu makam siapa, tiba-tiba muncul sebagai makam tokoh tertentu. Ia mengatakan, tidak hanya Sumodiningrat yang ‘dihabibkan’, bahkan Pangeran Diponegoro yang jelas-jelas sejarahnya ada tetap ada yang menganggapnya sebagai habib.
“Bahkan Pangeran Diponegoro ada dua klan yang menghabibkan, yaitu klan bin Yahya dan bin Ba’abud. Itu Pangeran Diponegoro loh, yang jelas-jelas sejarahnya ada. Di tempat lain ada banyak lagi (yang dihabibkan),” kata Yaser Arafat.
“Karena kan belakangan memang spirit keislaman masyarakat meningkat. Sehingga segala sesuatu di-candra dengan perspektif keislaman sehingga kadang-kadang overcorrect. Akhirnya jadi salah,” imbuhnya.
Dicari titik temunya
Menurut Gus Muwafiq, dari apa yang saya ceritakan, makam KRT Sumodiningrat di Semarang itu menentukannya berdasarkan ideologi teologi dan narasi. Namun, dari beberapa tayangan YouTube, sosok Habib Luthfi ini juga disebutkan sebagai orang yang memiliki catatan bukti tertulis dan percaya dengan historiografi.
“Nah itu tinggal ditunjukkan, pasti ada titik temu, pasti ada ujungnya. Karena ada narasi, ada historiografi, ada ideologi. Kalau narasi ini kan subyektif, tergantung yang menarasikan, ada historiografi, tergantung yang nulis, dan ideologi yang tergantung orang yang meyakini. Tapi semua kan real life, kenyataan hidup. Pasti ada ujunya,” katanya.
Reporter: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Pengrawit Mengungkap Misteri Suara Gamelan Tengah Malam yang Warga dan Pendatang Dengar di Jogja
Cek berita dan artikel lainnya di Google News