Di Seyegan, Sleman terdapat makam kuno di atas sebuah bukit. Makam ini milik anak buah Pangeran Diponegoro, Tumenggung Pusponegoro. Beberapa orang sering menggunakannya untuk ritual tertentu hingga kini.
***
Dari kejauhan, perbukitan di tepi Jalan Seyegan-Godean tampak asri sekalipun di beberapa bagiannya mengalami penggundulan. Ia dikelilingi oleh area persawahan dan wilayah di sekitarnya terkenal sebagai sentra penghasil genteng. Area perbukitan itu punya nama masing-masing dan sebagian diambil dari nama dusun di dekatnya.
Salah satu bagian perbukitan itu disebut Gunung Wungkal, terletak di Beran, Margodadi, Seyegan, Sleman. Gunung dalam istilah masyarakat sekitarnya lebih berarti bukit atau gumuk. Sementara wungkal adalah batuan alami yang sering digunakan untuk mengasah pisau atau sabit. Jika dilihat dari arah timur, area di samping bukit ini telah dieksploitasi habis-habisan.
Perjalanan saya ke bukit ini adalah lanjutan dari penelusuran 2 makam di Pasar Godean. Konon katanya, di sana bersemayam salah satu anak buah Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa (1825-1830).
Ramai peziarah di masa lalu
Mendekati area makam, sebuah bangunan cerobong peninggalan Belanda menyapa. Saya menuju rumah paling ujung. Di sana, tinggal juru kunci makam Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T) Pusponegoro. Seorang pria menyambut saya dan memperkenalkan diri sebagai Sukirman (68). Sukir, begitu nama panggilannya. Ia menjadi juru kunci bukan karena seorang abdi dalem ataupun bisikan gaib.
“Dulu, setelah juru kunci sebelumnya meninggal, 3 orang ditawarin tapi tidak ada yang mau. Ya saya tidak enak, eman-eman kalau tidak ada yang mengurus,” terangnya.
Ia membenarkan sendiri cerita bahwa Pusponegoro adalah anak buah Pangeran Diponegoro. Cerita itu sudah diturunkan lintas generasi di kalangan warga sekitar makam. Walaupun demikian, Sukir tidak paham betul garis silsilah Sang Tumenggung dan bagaimana perannya semasa Perang Jawa.
Sepengetahuannya, sosok ini adalah salah satu kerabat dari keraton Yogyakarta Hadiningrat. Terkait letak makamnya yang berada di Seyegan, menurut Sukir, itu terjadi karena tanah di sekitar makam itu adalah ‘jatah’ milik Pusponegoro. Awalnya, saya mengira bahwa lokasi makam ini berkaitan akhir hayat sang tumenggung saat berperang.
“Setahu saya tidak karena seda mendadak di sini. Tapi sekali lagi, saya juga tidak tahu kapan pastinya beliau meninggal,” sanggahnya.
Pria itu mengenang, di masa ia kecil, makam di atas bukit tersebut ramai dikunjungi orang-orang dari luar kota. Sukir kecil juga sering mendengar bahwa orang-orang dari keraton Yogya sering berziarah ke makam itu pada hari-hari tertentu. Masih berdasar ingatan sang juru kunci, pagar makam itu di masa dahulu berupa pagar tembok tinggi seperti tembok keraton.
“Belum lama diubah jadi pagar besi karena kondisinya sudah mengkhawatirkan,” ungkapnya. Namun, pria itu lupa tahun pastinya pembangunan pagar itu.
Selama berbincang, sang juru kunci berkali-kali minta maaf karena ketidaklengkapan informasi yang ia miliki. Ia mengatakan bahwa koleksi buku soal sang tumenggung pun sudah ia serahkan kembali ke pihak ahli waris karena rusak akibat dimakan rayap. Buku itu, katanya, diwariskan dari juru kunci sebelumnya. “Lha saya itu jadi juru kunci karena kepepet,” selorohnya sambil terkekeh.
Menyoal para peziarah, Sukir berkisah bahwa makam itu masih sering dikunjungi dengan berbagai keperluan. Ada yang memang ingin berziarah, melakukan uji nyali, melakukan ritual “menarik pusaka”, hingga membuat konten Youtube. Sayangnya, tidak sedikit peziarah yang datang tanpa menemuinya. Bahkan, ada sekelompok peziarah yang sejak 2 tahun lalu tidak mengembalikan kunci makam.
“Kowe isih getihku, Ngger”
Informasi lebih lengkap soal sosok Pusponegoro saya dapatkan dari Haryanto (59), warga Minggir, Sleman. Pensiunan pegawai ini adalah salah satu anggota trah Rekso Kusuman Pusponegaran, paguyuban keturunan sang tumenggung. Sekretariat trah menurut Haryanto ada di daerah jeron beteng dan kebanyakan anggotanya sudah lansia. Sementara informasi di prasasti pagar, tertera dua nama trah yaitu Rekso Kusumo dan Pusponegoro.
Pertautan pria ini dengan Pusponegoro dimulai dari 4 tahun lalu kala ia mencari letak makam kakek buyutnya. Setelah melakoni aneka proses, makam itu ditemukan dan ia ditemui satu sosok gaib lain. Sosok itu mendatangi dan memeluknya sambil menangis. “Kowe isih getihku, Ngger,” ujar sosok itu dan dilanjutkan perintah mencari Makam Pusponegoro.
“Dari dulu sudah tahu makam itu, tapi ya cuma tahu saja, blas gak kepikiran kalau itu makam leluhur saya,” ungkapnya.
Kata Haryanto, menurut informasi dari trah, Pusponegoro adalah keturunan dari Hamengkubuwono I. Ia adalah keturunan keempat alias canggah. Jika diurutkan, Hamengkubuwono I mempunyai anak Kyai Badarudin, lalu beranak Nyai Citrodono, selanjutnya beranak Kyai Priyo Wijoyo. Nama terakhir adalah ayah Pusponegoro. Istri Pusponegoro adalah anak dari sosok bernama Rekso Kusumo, keturunan Ki Juru Mertani, salah satu pendiri Mataram.
Menyoal peran, Haryanto mengungkapkan bahwa Pusponegoro bukan sekadar anak buah sang pangeran melainkan juga penasehat militernya. Di satu sisi, adanya gelar tumenggung juga menunjukkan hubungan Pusponegoro dengan keraton. Toh dalam Perang Jawa, beberapa kalangan ningrat keraton juga berada di kubu Diponegoro dan ikut bergerilya.
Di sisi lain, daerah Seyegan dan sekitarnya memang punya cerita rakyat berkaitan dengan jejak Diponegoro di daerah ini. Dusun Kasuran misalnya, disebut pernah digunakan sebagai lokasi pertempuran prajurit Diponegoro. Sementara di Dusun Tangisan, Tempel, ada sebuah ruas jalan kampung yang dipercaya pernah dilintasi Diponegoro. Lalu di daerah Minggir, ada bukit kecil dengan lumpang di atasnya yang dulunya dipercaya sebagai tempat minum kuda milik sang pangeran.
Cerita Haryanto terus berlanjut. Berdasarkan penelusurannya, ada satu juru kunci makam di masa silam dengan pengetahuan lebih lengkap tentang Pusponegoro. Ia adalah seorang wedana di masanya. Rumah wedana itu berada di dekat jalan menuju makam, tidak jauh dari kediaman Sukirman. Haryanto juga mengisahkan, beberapa kali ia masih sering ditemui sosok Pusponegoro dan diberi aneka wejangan.
“Beliau badannya tegap, karakternya galak dan keras, sorot matanya tajam,” terangnya saat saya bertanya tentang penampilan sosok Pusponegoro.
Kini, Haryanto terus merawat makam itu sebisanya. Dulu, memang sering ada ziarah rutin dari pihak trah. Namun kini, banyak anggota yang sudah lansia dengan usia di atas 50 tahun dan tidak memungkinkan untuk melakukan itu. Acara trah pun lebih sering diisi dengan penyuluhan kesehatan.
“Banyak anak-anak muda di trah itu yang sudah tidak mau tahu tentang makam leluhur mereka,” cetus Haryanto. Sorot matanya mendadak redup dan menerawang jauh.
Meningkatkan derajat kehidupan
Makam K.R.T Pusponegoro secara fisik tidak terlihat seperti makam kuno. Kedua nisan utama berada di dalam sebuah cungkup. Di bagian depan terdapat banyak nisan lain milik anak buah Pusponegoro dari masa dahulu atau keturunannya. Sebab, makam ini memang masih digunakan oleh trah Rekso Kusumo dan Pusponegaro. Sementara di pintu masuk terdapat sepasang patung singa. Konon, mata patung itu bisa menyala di saat tertentu.
Namun, di tahun-tahun belakangan ini, menurut informasi dari Sukirman, sudah jarang anggota trah yang dimakamkan di sana. Ia juga menyampaikan informasi serupa dengan Haryanto. Bahwa, hal tersebut dipengaruhi dengan anak-anak muda di trah yang sudah tidak mau tahu dengan makam leluhur mereka.
Benny Sujendro (64), tokoh masyarakat Dusun Beran, masih ingat betul bagaimana saat makam tersebut masih berpagar ala makam keraton. Suatu waktu di tahun 2004, ia mendapatkan laporan jika tanah makam ambles. Ia dan seorang kenalannya kemudian menuju keraton Jogja untuk melaporkan. Belakangan, perbaikan pagar akibat amblesnya tanah diambil alih oleh trah. Salah satu pihak di balik renovasi itu adalah mendiang Suprapto Kolopaking, ayah penyanyi Novia Kolopaking.
Dari pria pensiunan pegawai kelurahan itu pula saya tahu bahwa sepasang patung singa di depan makam adalah benda baru. Benda itu tidak berasal dari masa ratusan tahun lalu. “Itu pesan di Kasongan. Ya biar pintunya makin bagus saja,” terangnya.
Sisi lain makam tersebut, Benny mengakui bahwa masih banyak orang tetirah di makam tersebut. Namun, jika hal itu dilakukan demi tujuan kekayaan, maka tidak akan terwujud. Kebanyakan orang datang untuk sekadar meningkatkan derajat kehidupan, demikian sebut Benny. Untuk pengunjung dengan tujuan macam itu, ada warga Beran yang sering mengantar dan mendampingi.
“Kowe pengen mlebu po?” tanya Benny. Mlebu tentu saja maksudnya bukan masuk ke area makam melainkan masuk ke alam supranatural dengan bantuan si warga tadi. Tentu saja, saya menolak.
Masih menurut Benny, sosok wedana yang disebut Haryanto tadi adalah mantan lurah daerah itu pada masa Belanda. “Bukan juru kunci, tapi karena beliau tokoh masyarakat jadi di masa lalu kalau ada yang mau ke makam pasti harus bilang beliau.”
Tidak banyak warga Beran paham dengan sejarah makam di atas bukit tersebut. Sebab, kata Benny, di masa dulu orang-orang akan takut mendekati makam itu. Belum lagi jalan berupa anak tangga cukup tinggi yang menguras tenaga. Tidak ada pula larangan atau kegiatan tertentu yang rutin dilakukan warga di sana.
Satu-satunya informasi menarik dari Benny adalah kepercayaan beberapa orang sekitar bahwa Pusponegoro menjadi seorang bangsawan karena istrinyalah yang berasal dari keraton Jogja. Informasi ini tentu saja berlawanan dengan versi cerita Haryanto. Namun, sebagaimana sebuah makam kuno lain, makam ini juga punya kesimpangsiuran cerita lain.
Kyai Badarudin yang disebut Haryanto sebagai kakek buyut Pusponegoro misalnya. Sosok ini disebut dimakamkan di daerah Gamping, Sleman. Haryanto mengatakan jika kyai ini adalah anak Hamengkubuwono I. Sementara versi lain mengatakan jika sosok tadi adalah prajurit pelarian dari Kerajaan Demak. Perbedaan versi ini tentu berpengaruh pada perbedaan kemungkinan waktu karena Demak sudah ada jauh sebelum berdirinya keraton Jogja.
Apapun itu, segala misteri Makam K.R.T Pusponegoro kini tetap tersimpan di puncak Gunung Wungkal. Ia akan mengabadi bersama deru alat berat yang merombak bukit. Di bagian depan makam, saat ini sedang dibangun sebuah perumahan. Mungkin, makam itu tidak akan kesepian di waktu mendatang. Atau mungkin juga, ia akan terancam dengan segala perubahan di sekitarnya.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Agung Purwandono