Indonesia sejatinya punya tokoh perempuan yang tersohor dari Jepara. Namanya Ratu Kalinyamat. Ia dijuluki sebagai ‘de Kranige Dame’ atau wanita yang pemberani. Namun, sayangnya hingga kini sosoknya belum dianugerahi pahlawan nasional oleh pemerintah.
***
Ratu Kalinyamat merupakan simbol perjuangan dan kegigihan seorang perempuan Jepara. Ia dinilai banyak orang telah berhasil mendobrak konstruksi patriarki dan kanca wingking dalam tradisi Jawa.
Ratu Kalinyamat adalah seorang pemimpin perempuan yang ditakuti musuh sekaligus dicintai rakyatnya. Beberapa di antaranya malah menganggap Ratu Kalinyamat sebagai simbol kekuatan cinta.
Ia rela berkorban menempuh jalan derita mengasingkan diri di dalam hutan. Tujuannya untuk memohon keadilan Tuhan atas kematian suaminya.
Petilasan Sonder
Saya berdiri di depan sebuah gerbang yang dipercaya masyarakat Jepara sebagai petilasan Ratu Kalinyamat. Lokasinya berada di Padukuhan Sonder, Desa Tulakan, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara.
Saya tiba di petilasan sekitar jam 10 pagi pada hari Minggu (19/6/2022). Sejak pagi langit Jepara mendung. Di balik gerbang petilasan terdapat beberapa pepohonan besar berusia ratusan tahun. Ada pohon Ingas, juga pohon Winong yang batangnya besar. Karena di bawah naungan pohon-pohon raksasa area di bawahnya menjadi sejuk dan segar.
Saya datang bersama dua orang teman yang rumahnya di Jepara. Niam tinggal di Kecamatan Welahan. Dan Dafi, rumahnya di Kecamatan Donorojo. Rumah Dafi masih satu kecamatan dengan lokasi petilasan Sonder. Selama di Jepara, saya menginap di Welahan. Jarak Welahan ke Sonder, sekitar satu jam perjalanan.
Di depan pintu gerbang petilasan ada sebuah warung. Pemiliknya seorang perempuan setengah baya. Sementara di dalam petilasan, sang plawangan atau juru kunci petilasan sedang tidak di tempat. Saya lihat Dafi menghampiri perempuan pemilik warung dan terlihat akrab berbincang seperti kenal lama.
“Telpon saja. Ada nomer telponnya di dalam,” kata perempuan itu pada Dafi sambil tangannya menunjuk arah sebuah bangunan di dalam area petilasan.
“Iki iseh terhitung Mbahku,” kata Dafi pada saya, menjelaskan hubungannnya dengan perempuan pemilik warung.
Kami bertiga kemudian memasuki area petilasan. Di bagian dalam ternyata masih ada gapura serupa benteng dengan dua pintu masuk tanpa penutup. Gapura itu terbuat dari susunan batu bata serupa gerbang candi. Di dekat pintu masuk seorang lelaki tua tengah menyapu dengan sapu lidi bertangkai kayu.
Namanya Karmin. Usianya 65 tahun. Menurut pengakuannya, dia sudah menjadi tukang bersih-bersih petilasan sejak tahun 1995. Aslinya dari Pati. Dia kemudian menemani kami bertiga berjalan ke arah petilasan. Di bagian sudut sebelah kiri terdapat bangunan seperti rumah. Di dalam rumah itulah petilasan tempat Ratu Kalinyamat melakukan tapa wuda sinjang rambut. Menurut cerita Mbah Karmin, bangunan ini masih baru. Karena bangunan lama ambruk tertimpa pohon Ingas yang roboh karena usia tua.
“Hari selasa Mbah Suparni seda, hari kamis pohon ini roboh menimpa bangunan petilasan,” kata Mbah Karmin. Mbah Suparni kata Mbah Karmin adalah juru kunci lama yang meninggal pada tahun 2021. Artinya, pohon Ingas itu roboh menimpa bangunan petilasan pada tahun 2021.
Saya memasuki bangunan petilasan beratap genteng yang bagian depannya tanpa dinding. Ruangan bagian depan itu berukuran sekira 4 x 4 meter. Di bagian dalam terdapat ruangan berjendela kaca yang di dalamnya terdapat cungkup beratap kayu bersusun serupa genteng rumah. Dindingnya dililit kain kuning dan kain putih. Di dalam cungkuk itulah pelenggahan Ratu Kalinyamat bertapa.
Pada kaca jendelanya tertempel selembar kertas bertuliskan nomer handphone sang juru kunci. Saya mencatat nomer itu ke dalam gadget dan menelponnya. Selang berapa menit kemudian juru kunci itu datang mengendarai sepeda motor.
Ia menghampiri saya dan kemudian kami duduk bersila di ruangan depan petilasan. Tangannya meraih sebungkus kretek Sukun Putih lalu menyalakan. Badannya gempal. Pecinya bermotif kembang berwarna senada dengan sarungnya yang berwarna coklat. Kaosnya berkerah, perpaduan warna biru muda dan dongker.
Trah juru kunci
Namanya Muchlisin. Usianya 40 tahun. Rumahnya di Desa Donggayam. Jaraknya dari petilasan sekitar 1 kilometer. Muchlisin merupakan generasi keempat sebagai juru kunci petilasan Ratu Kalinyamat.
Kata Muchlisin, Mbah buyutnya, KH. Ali Muntaha Soleh, merupakan orang pertama yang menemukan petilasan Ratu Kalinyamat. Mbah Ali, lanjut Muchlisin, jaman dulu merupakan orang terkaya di Desa. Selain mengajar mengaji, Mbah Ali paling suka merawat tempat-tempat keramat.
Usai Mbah Ali meninggal dunia, juru kunci petilasan turun ke simbahnya Muchlisin yang bernama Kiai Kasturi. Kiai Kasturi inilah yang membangun palenggahan di petilasan. Beliau meninggal dunia tahun 1966. Namun Muchlisin tidak ingat, pada tahun berapa Mbah Buyutnya KH Ali Muntaha Soleh meninggal dunia. Dari Kiai Kasturi tugas juru kunci kemudian beralih kepada KH Masrukhan.
“KH Masrukhan itu bapak saya,” kata Muchlisin.
Selama menjadi juru kunci petilasan, KH Masrukhan ditemani oleh Mbah Suparni. KH Masrukhan meninggal dunia tahun 2006 pada usia 80 tahun. Saat bapaknya meninggal, Muchlisin sebenarnya sudah tahu bahwa dirinya yang akan meneruskan tugas menjadi juru kunci menggantikan bapaknya.
Saat bapaknya tiada, tugas juru kunci sebenarnya masih ada Mbah Suparni. Namun saat Petinggi Desa Donggayam meminta Muchlisin untuk menggantikan bapaknya menjadi Juru Kunci, Muchlisin tidak dapat menolak selain menerimanya dengan lapang hati. Mbah Suparni meninggal dunia pada tahun 2021 dan Muchlisin kini seorang diri menjadi juru kunci petilasan.
Menurut cerita Muchlisin, petilasan di Padukuhan Sonder ini bisa dikatakan sebagai jejak cinta dan pengorbanan Ratu Kalinyamat. Karena di petilasan inilah Ratu Kalinyamat merasa mantap hatinya melakukan tapa wuda sinjang rambut, usai ribut besar yang menyebabkan kematian suaminya, Sultan Hadlirin, karena dibunuh oleh prajurit Arya Penangsang.
Konflik keluarga
Salah satu catatan sejarah menyebutkan, Sultan Hadlirin sebenarnya berasal dari Aceh bernama asli Toyib. Ia adalah putra Sultan Ibrahim. Sebelum bertemu dengan Ratu Kalinyamat, saat masih muda Toyib merantau ke Cina dan bertemu dengan Cie Wie Gwan.
Oleh ayahnya, Toyib kemudian diutus untuk memperdalam ilmu agama Islam di Demak. Konon menurut cerita, Cie Wie Gwan ikut pula menemani Pangeran Toyib berangkat ke Demak. Pangeran Toyib kemudian menikah dengan Putri Sultan Trenggana bernama Retna Kencana dan diangkat menjadi Adipati Jepara.
Retna Kencana kemudian mendapat gelar Ratu Kalinyamat. Cie Wie Gwan kemudian diangkat menjadi Patih dan namanya berganti menjadi Pangeran Sungging Badar Duwung. Sayangnya, nasib pernikahan Ratu Kalinyamat dengan Sultan Hadlirin tak bertahan lama.
Usai Sultan Demak II wafat, seharusnya yang naik tahta adalah Pangeran Sekar Seda Lepen. Namun yang terjadi kemudian malah Sultan Trenggana yang naik tahta menjadi Raja Demak III. Sedangkan Pangeran Sekar Seda Lepen dibunuh oleh Sultan Prawata, anak Sultan Ternggana, kakak kandung Ratu Kalinyamat.
Konflik keluarga Kerajaan Demak itu mencapai puncaknya saat putra Pangeran Sekar Seda Lepen yang bernama Arya Penangsang kemudian membunuh Sultan Prawata sebagai wujud balas dendam dan menuntut hak atas tahta Kerajaan Demak.
Ratu Kalinyamat mengetahui kakaknya tewas dibunuh oleh Arya Penangsang, kemudian menemui Sunan Kudus untuk meminta penjelasan atas perlakuan muridnya yang membunuh kakaknya. Sunan Kudus ternyata memihak pada Arya Penangsang. Kecewa oleh sikap Sunan Kudus, Ratu Kalinyamat dan suaminya kemudian pulang ke Jepara.
Dalam perjalanan, rombongan Ratu Kalinyamat dicegat oleh prajurit utusan Arya Penangsang. Pada saat itulah Sultan Hadlirin dibunuh oleh prajurit Arya Penangsang.
Ratu Kalinyamat berhasil lolos dari kejaran prajurit Arya Penangsang sambil membawa tubuh Sultan Hadlirin. Ia begitu hancur jiwanya karena baru saja kakaknya dibunuh kini suami yang dicintainya tewas pula dibunuh oleh prajurit Arya Penangsang. Karena tidak ada lagi yang bisa dimintai pertolongan atas kematian dua orang yang dicintainya, Ratu Kalinyamat mengasingkan diri di Hutan Donorojo, melakukan tapa wuda sinjang rambut, memohon keadilan Tuhan.
Tapa wuda sinjang rambut
Kata Muchlisin, Padukuhan ini dinamakan Sonder karena saat dalam kelelahannya mencari tempat mengasingkan diri, Ratu Kalinyamat bersandar pada pohon besar di hutan Donorojo. Saat bersandar itulah ia mendapat petunjuk untuk bertapa di sini.
Makanya Padukuhan ini kemudian dinamakan Padukuhan Sonder. Asal katanya dari sandar, bersandar, kata Muchlisin. Sebelum mencapai hutan Donorojo, Ratu Kalinyamat awalnya bertapa di Gelang Mantingan. Namun hatinya kurang mantap. Lalu pindah ke Donoroso sebelum akhirnya mantap menempati hutan Donorojo, di Desa Tulakan.
Dalam tapanya, menurut Muchlisin, Ratu Kalinyamat mengucapkan sumpah: “ora kapati pati tapa ingsun yen durung kramas getihe Arya Penangsang lan keset jambule Arya Penangsang.”
Permohonan Ratu Kalinyamat kemudian terkabul. Sejarah telah mencatat, Arya Penangsang tewas dibunuh oleh Danang Sutawijaya. Ratu Kalinyamat merampungkan tapa wuda-nya. Ia kemudian memimpin Jepara.
Pada tahun 1551, Ratu Kalinyamat membantu Kerajaan Johor menyerang Portugis. Sekalipun gagal, Ratu Kalinyamat telah memberikan bukti pada Portugis bahwa Kerajaan Jepara mempunyai kekuatan maritim yang menggetarkan mereka. Ratu Kalinyamat bahkan mendapat julukan dari Portugis sebagai ‘de Kranige Dame’ atau wanita yang pemberani.
Dari Petilasan Sonder inilah semua kekuatan itu berasal. Ia telah nyawiji dengan Tuhan. Petilasan Sonder ini biasanya ramai pada Jumat Wage, kata Muchlisin. Karena hari itu diyakini merupakan hari di mana Ratu Kalinyamat mulai melakukan tapa wuda.
Tugas Muchlisin membimbing para peziarah petilasan yang datang ke petilasan. Agar tidak terjebak pada mistik yang telah beredar di masyarakat. Karena tapa wuda sinjang rambut telah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat dikarenakan multitafsir.
Orang-orang, banyak yang menyalahartikan Ratu Kalinyamat melakukan tapa wuda sinjang rambut itu telanjang bulat dan hanya ditutupi oleh rambutnya, kata Muchlisin. Padahal yang dimaksud dengan tapa wuda itu bukan berarti telanjang bulat tanpa pakaian dan hanya ditutupi oleh rambut.
Lebih lanjut Muchlisin menjelaskan bahwa, tapa wuda itu maksudnya Ratu Kalinyamat menanggalkan sifat keduniawian. Menanggalkan semua atribut kekayaan dan kekuasaan. Menanggalkan semua yang bersifat kebendaan agar tidak mengganggu dirinya saat bertapa.
Semua yang berbau duniawi ditanggalkan agar bisa nyawiji dengan Tuhan. Tujuannnya ‘kan karena memohon keadilan atas suaminya yang telah dibunuh. Jadi bukan telanjang secara harafiah. Salah itu, tegasnya.
Saat kami tengah berbincang datang sepasang suami istri yang akan berziarah. Mereka berdua menuju Kali Gajahan yang letaknya berada di samping bangunan petilasan.
Dinamakan Kali Gajahan, karena dulunya ada batu besar yang bentuknya menyerupai gajah. Batu itu saat ini hilang terseret banjir pada tahun 80an, kata Muchlisin. Peziarah yang datang itu memang biasanya napak tilas ritual mengikuti cara Ratu Kalinyamat yang bersuci di situ, kata Muchlisin.
Ruzikin, nama peziarah yang datang bersama istrinya ke Petilasan Sonder mengatakan, awalnya dia tahu petilasan ini melihat dari youtube.
“Saya suka mistik,” kata Ruzikin yang datang dari Kudus. Namun dia hanya tertawa dan tidak memberi tahu saya apa saja yang diminta saat dia dan istrinya berada di dalam ruang Petilasan Sonder.
Taj Mahal Van Jepara
Usai dari Petilasan Sonder saya menuju kompleks Masjid Astana Sultan Hadlirin di Desa Mantingan, Jepara. Inilah masjid kebanggaan masyarakat Jepara. Sebagian besar masyarakat Jepara menganggap Masjid Astana Sultan Hadliri sebagai Taj Mahal van Jepara.
Bedanya, jika Taj Mahal dibangun oleh Raja Mughal Shah Jahan sebagai bukti cinta untuk istrinya Mumtaz Mahal. Sedangkan Masjid Astana Sultan Hadlirin kebalikannya. Ratu Kalinyamat membangun masjid sebagai simbol cinta kasih untuk suaminya, Sultan Hadlirin.
Masjid ini menjadi salah satu masjid tertua setelah Masjid Demak dan Masjid Menara Kudus. Dibangun pada tahun 1559. Masa peralihan kebudayaan Hindu dan Islam Jawa. Hal itu terlihat jelas pada bentuk atap masjid yang berundak tiga yang menjadi penanda atau menjadi ciri khas arsitektur Islam Jawa.
Sutarya, pengurus masjid dan makam yang saya temui di beranda masjid mengatakan, bangunan ini sudah dinaungi oleh BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya). Makanya sudah termasuk sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh negara.
Arsiteknya bernama Cie Wie Gwan, bapak angkat Sultan Hadliri. Batu-batu relief yang menempel pada dinding masjid itu yang membuat juga Cie Wie Gwan, lanjut Sutarya. Luas areanya 2935 M2.
Pada bagian belakang masjid ada gapura berbentuk candi bentar. Di dalamnya terdapat makam Sultan Hadlirin dan makam Ratu Kalinyamat dalam satu atap.
Di sebelah bangunan makam Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadliri terdapat makam R. Abdul Jalil atau Sunan Jepara, nama lain dari Syeikh Siti Jenar. Di sekelilingnya terdapat makam keluarga dan makam orang-orang kampung sekitar hingga ke tepian jalan raya.
Setiap hari komplek Masjid Mantingan dibuka untuk peziarah sejak jam 7 pagi dan tutup pukul 16.00 wib. Pada Minggu (19/6/2022), sampai jam 16.00 wib peziarah yang tercatat datang ke Masjid Mantingan mencapai 1815 orang.
Jumlah pengunjung akan meningkat lebih banyak jika berada pada bulan-bulan ziarah seperti bulan Rajab dan bulan Ruwah. Hal itu diungkapkan Sudarso, yang saya temui di depan pintu masuk makam. Pada bulan-bulan ziarah pengunjung pada hari Sabtu dan Minggu bisa mencapai 3000an orang dari pagi hingga sore.
Para peziarah yang datang tidak membayar atau ditarik tiket masuk, melainkan hanya dikenakan biaya parkir bus. Biaya parkirnya dikenakan biaya minimal Rp50 ribu saja per bus. Peziarah yang datang biasanya dari pantura sekitaran Comal, Pemalang, Blora, Pati dan Rembang.
Saat saya sedang duduk bersama Sudarso, datang lagi rombongan sebanyak 5 bus dari Pemalang. Kebanyakan rombongan peziarah yang datang itu kaum perempuan.
Ratu Kalinyamat, menurut Sutarya, sudah dua kali diajukan menjadi Pahlawan Nasional. Namun keduanya gagal. Pada penghujung tahun ini merupakan pangajuan terakhir sebagai pahlawan nasional.
Jika melihat bukti-bukti sejarah dan peninggalan dari Ratu Kalinyamat, saya yakin 99% Ratu Kalinyamat bakal jadi Pahlawan Nasional. Namun jika yang ketiga kalinya ini gagal juga, ya sudah, artinya ada sesuatu yang menghalanginya.
Saat saya tanya sikapnya pada Arya Penangsang, Sutarya menjawab: sebagai orang asli Jepara saya tidak benci pada Arya Penangsang. Itu kisah masa lalu yang sudah menjadi sejarah. Sesuatu yang telah terjadi di masa lalu itu kekayaan kita, lanjutnya.
Arya Penangsang juga punya hak. Karena urutannya seharusnya memang bapaknya yang menjadi raja bukan Sultan Trenggana. Itu konflik keluarga. Sekali lagi saya katakan, saya tidak membenci Arya Penangsang. Saya berharap masyarakat Jepara juga jangan membenci Arya Penangsang. Dulu, saat saya ziarah di makam Sunan kalijaga, saya juga membaca alfatihah untuk Arya Penangsang. Karena makam Arya Penangsang itu satu komplek dengan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak.
Sayangnya, Keraton Kalinyamat yang menjadi tempat tinggal Ratu kalinyamat dan Sultan Hadlirin kini tinggal kenangan saja. Saat saya mendatangi bekas keraton Ratu Kalinyamat di Desa Kalinyamatan, yang tersisa hanya rimbunan pohon bambu dan rumput liar. Hal ini sangat disayangkan, kata Sutarya. Banyak hal yang membuat bekas reruntuhan kraton Ratu Kalinyamat tidak terawat. Dan permasalahan itu sangat kompleks, tuntasnya.
Pada senin pagi (20/6/2022), saya diantar Niam melihat sisa-sisa keraton tempat tinggal Ratu Kalinyamat di Desa Kalinyamatan. Blusukan. Saya menyusuri Lorong-lorong gang sempit. Lokasinya berada di tengah kampung. Di tengah himpitan rumah-rumah tinggal ada area tanah yang agak tinggi dengan rerimbun pohon bambu dan sebatang pohon aren.
Saya kesulitan mencari bekas benteng atau peninggalan kraton. Orang yang tinggal di sekitar lokasi yang saya tanyai juga mengatakan dengan pasti bahwa disinilah lokasi bekas kraton Ratu Kalinyamat.
Saya hanya bisa terdiam. Merasa miris melihat kondisi bekas tempat tinggal Ratu kalinyamat yang sangat ditakuti oleh bangsa Portugis itu. Ia yang meninggalkan jejak perjuangan di mana-mana namun istananya hanya tinggal kenangannya saja. Tidak ada jejak cinta yang bisa dijadikan hikmah.
Reporter: Eko Susanto
Editor: Purnawan Setyo Adi