Lahirnya kerajaan Mataram Islam tak lepas dari proses pencarian wangsit atau wahyu oleh dua orang sahabat, Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan. Kemudian terjadilah peristiwa di Dusun Sodo, Gunungkidul yang kemudian menjadi penanda lahirnya kerajaan Mataram Islam.
***
Kecamatan Paliyan, Gunungkidul menyambut saya dengan hamparan pohon jati di kiri dan kanan jalan. Gawai di saku sedari tadi sudah memperingatkan jika tujuan saya tinggal seratusan meter lagi. Sampai di Dusun Sidorejo, Sodo, Paliyan, saya berbelok ke sebuah jalan kecil perkampungan. Masuk ke area itu, terdapat sebuah masjid, makam umum, dan sendang.
Di dekat makam umum, terdapat prasasti besar bertulis “Pesarean Ki Ageng Giring III”. Saya bertanya pada seorang warga mengenai lokasi makam dan pria itu mengarahkan saya untuk masuk ke makam umum mengikuti jalan berpaving. Dari kejauhan, sebuah gerbang bergaya arsitektur Majapahit terlihat.
Misteri gagak emprit
Mataram Islam sebagai kerajaan besar di Jawa menyimpan aneka kisah di masa awal pendiriannya. Mulai dari penaklukan wilayah hingga perang dengan kerajaan lebih tua. Selain itu, sebagaimana kepercayaan Jawa, ada pula kisah soal pencarian wangsit atau wahyu di masa awal kerajaan satu ini.
Dalam berbagai sumber, Ki Ageng Giring disebut sebagai sahabat Ki Ageng Pemanahan, pendiri Mataram Islam. Menurut Babad Tanah Jawi, ia disebut sebagai saudara dari Pemanahan dengan nama lain Ki Ageng Paderesan dan pekerjaannya adalah penyadap nira. Baik Babad Tanah Jawi maupun Awal Kebangkitan Mataram mengatakan bahwa 2 orang ini bertemu di daerah bernama Sodo, Gunungkidul. Kedua sumber tadi menuliskan nama tersebut tanpa angka di belakangnya.
Sementara menurut juru kunci makam, Mas Bekel Sepuh Surakso Fajarudin alias Yusuf (57), Ki Ageng Giring III adalah keturunan dari nama ‘Giring” lainnya dan punya nama asli Raden Mas Kertonadi. Sementara, Ki Ageng Giring I dimakamkan di Gunung Lawu dan Ki Ageng Giring II dimakamkan di Tembayat, Klaten. Total, ada 5 nama ‘Giring’ dan makamnya tersebar di berbagai tempat.
“Silsilah Ki Ageng Giring itu dari Majapahit, keturunan Brawijaya IV,” ungkap Yusuf. Sementara berdasar analisa De Graaf, Ki Ageng Giring kemungkinan besar sudah terlebih dahulu berada di Sodo, jauh sebelum Pemanahan pindah dari Pajang ke Alas Mentaok pada akhir abad ke-16.
Menurut Yusuf, keduanya adalah murid dari Sunan Kalijaga. Karena perintah sang sunan untuk mencari wahyu setelah runtuhnya Pajang, mereka tinggal di Gunungkidul. Ki Ageng Giring III pertama kali tinggal di daerah yang kini disebut Dusun Giring, 5 kilometer di selatan makam. Di sana ia bercocok tanam, tapa rame, dan menyebarkan syiar Islam. Sementara Pemanahan bertapa di pertapaan Kembang Lampir, Panggang.
“Wahyu Pajang kan hilang setelah adanya pemberontakan, nah mereka disuruh mencari wahyu itu,” terang pria yang sudah jadi juru kunci sejak 1995 tersebut.
Berbagai buku sejarah mengatakan jika suatu hari Ki Ageng Giring III mendapatkan bisikan gaib saat memetik kelapa muda. Bahwa, siapa yang meminum air kelapa itu, keturunannya bisa menjadi raja-raja di tanah Jawa. Ia lalu membawa pulang buah kelapa itu dan ditaruhlah di dapur. Belakangan, Pemanahan datang dan meminum air kelapa tadi.
Namun, Yusuf sebagai juru kunci punya versi lain dari leluhurnya. Kala itu, setelah pindah dari pondoknya di Dusun Giring, Ki Ageng Giring III pindah ke daerah sekitar makamnya sekarang. Di sini, ia menancapkan tongkat dan jadilah mata air. Selain itu, ia juga membangun sebuah langgar. Baik sendang dan masjid itu kini masih ada dan terawat dengan baik.
Bisikan gaib suatu saat datang dan memerintahkan Ki Ageng Giring III menanam sepet alias kulit kelapa. Pohon itu tumbuh dan hanya berbuah satu buah kelapa muda. “Saking tingginya, buah kelapanya terlihat seperti burung emprit, padahal aslinya besar seperti burung gagak,” terang Yusuf. Maka, dari situlah nama kelapa gagak emprit berasal. Lokasi turunnya wahyu ini sekarang berada di sebuah sendang di sebelah timur makam. Sendang Wahyu, begitu sebut penduduk sekitar.
Suatu waktu ketika di ladang ia melihat sorot cahaya jatuh di atas buah kelapa itu. Ki Ageng Giring III paham, itulah wahyu yang telah lama dinanti. Doa dipanjatkan, pohon kelapa tadi melengkung turun dengan sendirinya, ia berhasil memetik buah itu. Dibawanya buah itu pulang dan hendak diminum untuk berbuka puasa. Sebelum Kembali ke ladang, ia berpesan kepada sang istri melarang siapapun meminumnya.
Perebutan wahyu dan Kijing Pitu
“Di Kembang Lampir, Pemanahan juga dapat bisikan gaib tahu kalau wahyunya sudah turun,” sebut Yusuf. Pemanahan kemudian menuju ke kediaman Ki Ageng Giring yang ia panggil kakang atau kakak. Ia berniat meminum kelapa muda itu sekalipun sudah dilarang oleh Nyi Ageng Giring. Namun, Pemanahan bersikeras dan berhasil meminumnya. Ada persaingan halus, begitu sebut Yusuf.
Sebagai seorang winasis, Ki Ageng Giring III tahu bahwa ia sudah kecolongan. Lantas, ia berendam di sungai Nyamat untuk menenangkan hatinya. Kelak, sungai itu ia beri nama kali Bowang yang berarti tempat membuang segala gundah. Setelahnya, ia mencoba menyusul langkah kaki Pemanahan dan meminta status kekuasan dipegang keturunannya, sebab dirinya yang menemukan wahyu itu. Permintaan diulangi 7 kali sebelum akhirnya Pemanahan mau merespon.
Di permintaan ketujuh, Pemanahan secara tidak langsung mengatakan bahwa kelak, tampuk kekuasaan akan dikembalikan ke Ki Ageng Giring selepas keturunan ketujuh Pemanahan. Menurut cerita turun temurun, perjanjian keduanya terjadi di Gunung Pasar, Dlingo, Bantul. Di sana, ada 7 kijing (nisan) misterius sebagai tanda perjanjian tersebut.
Yusuf menyebut nama Pangeran Puger sebagai babak peralihan kekuasaan tersebut. Sosok ini adalah anak dari amangkurat I dan cucu Sultan Agung. Kisah kekuasaannya terjadi di antara Amangkurat III dan IV serta upaya mempertahankan Keraton Plered selepas serangan Trunojoyo. Dalam Babad Tanah Jawi, terdapat satu bab soal pemberontakan sang pangeran. Kelak, sosok ini mewariskan gelar Pakubuwono ke raja-raja Kraton Susuhunan Surakarta.
Sementara tahun 2015, Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X yang menjadi gambaran pewaris Mataram Islam, mengeluarkan Sabda Raja, perihal ini turut disinggung. Sabda yang berisi berakhirnya pernjanjian Ki Ageng Giring III dengan Ki Ageng Pemanahan berakhir. Sebagian pihak percaya sabda tersebut berupaya memutus sekaligus mengakhiri perjanjian lawas antar-dua sosok tersebut.
Dua nisan misterius
Makam Ki Ageng Giring III secara topografi berada di area perbukitan dengan dikelilingi hutan. Sekira 5 tahun lalu, area makam direnovasi besar-besaran oleh pihak Keraton Jogja. Sementara, di tahun 1980-an, bangunan masjid peninggalan Ki Ageng Giring III dipugar. Bersamaan dengan itu, dibangun juga sebuah padepokan di sebidang tanah yang diyakini sebagai bekas pondokan Ki Ageng Giring III. Padepokan itu kini berada di bagian atas sendang dan dikelola oleh Kalurahan Sodo.
“Bangunan asli ya cuma tinggal cungkup utama. Lainnya baru semua,” imbuh Yusuf. Di bangunan berbentuk bentuk Joglo itu, bersemayam sang penemu wahyu Mataram. Di bagian depan, terdapat 4 nisan yang disebut sebagai anak buah Ki Ageng Giring III. Di bagian luar, terdapat makam para cucu dan abdi dalem terdahulu. Di sebelah kanan, terdapat makam tanpa cungkup milik Retno Purwosari, putri Ki Ageng Giring III sekaligus selir Senopati, ibu dari Pangeran Purbaya.
Ini adalah makam asli sang selir sebelum secara simbolis dipindahkan ke Makam Wotgaleh, Berbah. Dalam analisa politik ala Jawa, pernikahan keduanya adalah cara Senopati menyatukan keturunan Ki Ageng Giring III dan Pemanahan. “Berarti tempat sekitar ini adalah rumah masa kecil Pangeran Purbaya?” tanya saya pada Yusuf. Ia membalas dengan anggukan.
Berdasar cerita Yusuf, bukan tanpa alasan makam Retno Purwosari tidak diberi cungkup. Ia berkisah, di tahun 1979, sang bapak yang dulunya juga abdi dalem pernah mencoba membuatkan cungkup. Pagi harinya, bangunan cungkup tersebut bergeser sendiri. Sang bapak kemudian mendapatkan mimpi bahwa sang selir memang masih enggan dibuatkan cungkup.
“Tapi kalau suatu saat beliau sudah berkenan, maka kami akan buatkan,” cetusnya.
Sebagai seorang tokoh besar, aneh rasanya cungkup utama hanya berisi satu nisan saja tanpa adanya nisan Nyi Ageng Giring III. Hal ini, lagi-lagi, juga bukan tanpa alasan. Kata Yusuf, lokasi makam Nyi Ageng sejatinya sudah ditemukan sejak zaman leluhurnya dulu. Namun, lokasi tersebut masih terlarang untuk dipublikasikan secara terbuka. Kini, hanya keluarganya saja yang mengetahui lokasi tersebut.
“Mungkin besok boleh dibuka bersama dengan diperbolehkannya pembangunan cungkup di nisan Kanjeng Ratu (Retno Purwosari),” cetus pria yang mengaku sudah mewarisi status juru kunci sebagai keturunan ke-27 itu.
Yusuf bergegas ke belakang untuk berganti pakaian kala saya minta izin untuk berziarah. Dengan timpuh (jalan jongkok), ia memasuki cungkup utama. Sejenak ia berdoa sebelum membuka pintu paling luar. Ia kembali berdoa sebelum membuka sebuah pintu kecil dan kelambu. Setelahnya, ia kembali mundur dengan timpuh.
Nisan utama milik Ki Ageng Giring III secara fisik jauh lebih besar dibandingkan nisan lain. Bagian dalam cungkup diitari kelambu transparan dan nisannya ditutupi kain putih. Masuk ke dalam cungkup, aroma melati segera menyergah. Di sudut ruangan, terdapat sebuah songsong (payung jawa) kecil dengan beberapa buku Yasin di bawahnya.
Komplek makam ini sering didatangi pengunjung dengan berbagai tujuan. Selain makam, air sendang di dekat area makam juga dipercaya mempunyai khasiat tertentu. Maka, dalam momen-momen tertentu, kedua tempat tadi akan ramai dikunjungi banyak orang. “Sebentar lagi akan ada nyadran, pasti besok banyak orang datang dan mengambil air dari sendang itu,” tambah Yusuf.
Terkait tetap tinggalnya Ki Ageng Giring III di Sodo selepas berdirinya Mataram Islam, Yusuf mengatakan bahwa itu sudah menjadi pilihan dan keputusan sosok tersebut. Ia memang tidak ikut pindah dan tetap berada di tempat ini. Menyoal kapan meninggalnya Ki Ageng Giring III pun Yusuf mengaku belum bisa menemukan jawaban pastinya.
Kala menghaturkan pamit, Yusuf menyampaikan aneka doa untuk melepas saya. Sejenak saya singgah di sendang dan mengamati makam dari kejauhan. Tampak beberapa remaja sedang bermain di padepokan. Di sendang, beberapa perempuan sibuk mencuci baju. Siapa sangka, di tempat ini dua tokoh besar pada zamannya pernah saling mencari wangsit Mataram Islam. Satu menemukan, satu lagi merebut, dan kisah-kisah turunannya masih hangat diperbincangkan hingga ratusan tahun setelahnya.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Rahasia Rental Komik di Jogja yang Bertahan Tanpa Perlu Menahan Kartu Identitas dan liputan menarik lainnya di Susul.