Dalam semesta spiritual, nama Kiai Bonokeling merupakan sosok misterius yang asal usulnya disamarkan oleh pewarisnya. Ia sengaja disimpan dan dibiarkan tetap tenggelam menjadi sebuah misteri agar tetap sakral dan terjaga kesuciannya.
Namun, pitutur luhur dan prosesi ritualnya tetap dilestarikan, termasuk ritual Perlon Unggahan yang berlangsung pada hari Jumat terakhir menjelang bulan Ramadan. Perlon Unggahan pada tahun ini jatuh pada Jumat, 17/3/2023.
***
Ini kali kedua saya datang untuk memotret ritual Perlon Unggahan. Kedatangan saya pertama kalinya pada tahun 2019. Saat itu saya ditemani oleh Fahmi “Mamok” Widayat, fotografer asal Jogja yang setiap tahun selalu hadir ke Desa Pekuncen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah untuk memotret ritual Perlon Unggahan. Sama seperti tahun ini, pada tahun 2019 itu saya juga datang gasik. Tepatnya pada hari Rabu malam, 25/4/2019, saya sudah duduk dan ngobrol bareng dengan Ketua Adat di rumahnya.
Saya masih ingat obrolan Rabu malam di tahun 2019 itu.
“Jadi sebenarnya Kiai Bonokeling saat masuk ke Pekuncen sudah beragama Islam?” tanya Mamok.
“Iya,” jawab Sumitro.
Sunan Kalijaga menuntun syahadat Kiai Bonokeling
Malam itu Ketua Adat bercerita; Kiai Bonokeling datang ke Pekuncen selain mengajarkan bercocok tanam dan pertanian, juga mengajarkan maca syahadat. Sunan Kalijaga yang mengajari Kiai Bonokeling bersyahadat. Makanya dalam setiap pengembaraannya Kiai Bonokeling mengajarkan agama Islam termasuk di Desa Pekuncen. Hanya saja selain syahadat secara Islam, Anak Putu mendapat tambahan syahadat lain.
Ketua Adat lantas merapal syahadat Anak Putu Bonokeling dalam bahasa Jawa: Asyhadu alla ila ha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. Niat Ingsun…
Sayangnya, saya tidak dapat menuliskan kelanjutan syahadat Anak Putu Kiai Bonokeling karena pada saat itu saya berjanji tidak akan menuliskannya. “Ora ilok,” katanya pada malam itu. Ilok dan ora ilok adalah batas untuk menjaga keutuhan, kesakralan, dan kesucian ajaran dari Kiai Bonokeling.
“Ajaran sing ilok oleh dingerteni sapa bae,” katanya. Sedangkan ajaran sing ora ilok hanya khusus untuk orang yang mempunyai kapasitas tertentu untuk mempelajarinya. Sehingga untuk menjaga kesakralannya, ora ilok jika diberitahukan kepada siapapun, apalagi pada orang yang bukan keturunan Anak Putu.
Selain ora ilok, para kasepuhan seperti Bedogol dan Juru Kunci bahkan Ketua Adat, sangat kuat menjaga marwah, kesakralan, dan kerahasiaan ajaran Kiai Bonokeling dengan mekanisme Ke’lem. Ke’lem itu bermakna tenggelam, atau berada di bawah permukaan air.
“Ora kabeh-kabeh blek-blekan,” tidak semua hal harus dibuka, katanya. Makanya hingga sampai saat ini kerahasiaan ajaran Kiai Bonokeling bahkan riwayatnya pun masih menjadi misteri karena memang ilmu-ilmu dan ajarannya diletakkan di bawah permukaan.
Wisik untuk ketua adat
Rabu, 15/3/2023, saya tiba di depan rumah ketua adat saat hari masih siang. Jam pada layar panel di sepeda motor saya menunjukan angka 12.41 WIB. Dari Jogja saya berangkat jam 9 pagi. Suasana Desa Pekuncen masih sepi. Langit mulai mendung. Di depan rumah ketua adat ada dua orang tengah duduk di bangku kayu dekat pintu. Salah seorang di antaranya bernama Fio, mempersilakan saya masuk sambil memanggil nama sang ketua adat. Seorang lelaki tua keluar dari dalam kamar.
Dialah sang Ketua Adat Itu. Namanya Sumitro. Dalam silsilah keluarganya, ia turunan ke-12 sebagai Anak Putu Bonokeling. Usianya belum genap 70 tahun. Dia lahir di Desa Pekuncen pada 12 September 1954. Saat kami berdiri berhadapan berjabat tangan, tinggi tubuhnya lebih pendek dari saya yang bertinggi 170 cm. Wajahnya menampakkan sifat keras dan berwibawa namun sorot matanya teduh.
Rabu siang itu ia memakai ikat kepala bercorak batik dan mengenakan sorjan berwarna abu-abu berlurik hitam. Celananya kain berwarna hitam sebatas lutut. Usai berjabat tangan, ia mempersilakan duduk. Lalu dia mohon pamit sebentar; mau ke kamar mandi dulu, katanya. Saya duduk di ruang tamu rumahnya yang tidak begitu besar. Tak berapa lama ia datang dan duduk di kursi panjang.
“Manglingi, andang putih rambute,” ujarnya pada saya.
Tangannya kemudian mengambil rokok Djarum Super di depannya, memasukkannya pada pipa rokok, lalu menyulut dengan korek gas warna biru, lalu mengisapnya dalam-dalam. Saat asapnya diembuskan ia mulai bercerita.
Awalnya Sumitro tidak tahu kenapa ia yang dipilih menjadi ketua adat. Pada tahun 1999 hingga tahun 2000 di Desa Pekuncen beredar kabar dari mulut ke mulut, bahwa nanti ada seseorang yang akan menjadi tempat “pitakonan”, tempat untuk bertanya tentang segala hal yang berkaitan dengan leluhurnya. Sumber kabar itu dapat dipercaya karena berasal dari salah seorang kasepuhan yang mendapatkan wisik langsung dari Kiai Bonokeling.
Keturunan Bedogol
Sumitro menyadari bahwa darahnya adalah turunan seorang Bedogol. Bedogol itu sebutan untuk pembantu Juru Kunci. Di dalam hierarki Komunitas Anak Putu Kiai Bonokeling, secara spiritual, Bedogol mempunyai kedudukan tinggi. Paling tinggi tentu saja Juru Kunci. Tugas utama Bedogol menjaga keberadaan keturunan agar Anak Putu melestarikan ajaran leluhur. Tugas lainnya tentu saja membantu Juru Kunci melayani peziarah dalam melakukan ritual.
“Walaupun saya keturunan Bedogol, tidak otomatis menitis jadi Bedogol. Misalnya, ada keluarga Bedogol bapaknya meninggal, belum tentu langsung turun ke anaknya. Karena bisa saja beralih ke saudara atau paman, atau adik dan kakak lainnya yang masih sedarah.
Tinggal cek ulang siapa yang masih sedarah dan belum mendapatkan giliran menjadi Bedogol, atau, biasanya penunjukkannya menunggu waktu yang tepat. Sambil menunggu wangsit yang turun pada kesepuhan,”ujarnya.
Setiap Bedogol keturunannya juga harus ada yang menjadi Bedogol, begitupun Juru Kunci turunan darahnya harus menjadi Juru Kunci.
Dalam silsilah keluarga Bedogol, Sumitro merupakan turunan ke 6 dari garis bapak dan turunan ke 5 dari dari garis Ibu.
Bapaknya Sumitro yang bernama Martasari meninggal pada usia 85 tahun. Kakeknya bernama Trunasari juga meninggal pada usia 85 tahun. Trunasari adalah anak dari Prayasari. Sedangkan Prayasari anak lelaki dari Prayajaya.
Lalu Prayajaya adalah anak lelaki dari Danatruno yang merupakan cikal bakal Bedogol dari silsilah keluarga dari garis bapaknya Sumitro. Mulai dari Trunasari sampai pada Danatruno semuanya meninggal dunia di atas 85 tahun. Bahkan Danatruno meninggal pada usia 100 tahun.
Bedogol dan juru kunci, jabatan seumur hidup
“Namun, yang sering mendapatkan wangsit atau petunjuk dari Kiai Bonokeling justru dari garis Ibu,” kata Sumitro. Mulai dari Ki Nayapada, Kertawikrama, Gentawangi, hingga Nini Martasari. Kertawikrama saat menjadi Bedogol berubah nama menjadi Ki Ketapada. Sedangkan Gentawangi mendapat julukan sebagai”Anak Wadon.”
Bedogol maupun Juru Kunci itu jabatan seumur hidup, kata Sumitro. Bedogol yang paling lama menjabat adalah Ki Nayapada yang menjabat sampai 50 tahun.
Agar lebih tertata secara organisasi, pada tahun 2010 atas Kantor Kepala Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, menginisiasi pembentukan Kelompok Masyarakat (Pokmas) Komunitas Adat Bonokeling. Berdasarkan surat legal formal Nomor 09 Tahun 2011 bertanggal 27 Mei 2011, Sumitro secara resmi menjadi Ketua Adat Komunitas Anak Putu Kiai Bonokeling.
“Sebelum tahun 2010 tidak ada jabatan Juru Bicara atau Ketua Adat. Karena memang dulu itu masih sedikit Anak Putu yang datang kesini saat Perlon Unggahan. Semakin kesini ternyata ribuan orang yang datang dari daerah lain. Makanya desa kemudian membentuk Pokmas agar makin tertata organisasinya dan tugas-tugasnya biar lebih jelas,” ujarnya.
Juru kunci makam Kiai Bonokeling
Hari mulai sore dan langit makin redup karena mendung. Tak terasa 2 jam lebih saya ngobrol dengan Ketua Adat. Saya pamit untuk melihat suasana desa namun berjanji akan datang lagi nanti malam untuk melanjutkan perbincangan.
“Ya, itu di bale dan rumah-rumah pada bikin Jenang dan wajik buat besok. Maen saja ke sana dulu,” kata Sumitro.
Saya berjalan ke area komplek bale. Yang dimaksud bale oleh Sumitro adalah ruang pertemuan berbentuk joglo. Ada tiga deret bale dalam komplek yang lokasinya di seberang jalan depan rumah Sumitro.
Bale Malang adalah istilah untuk menyebut bale yang dekat dengan Plataran Blimbing. Di sebelahnya ada Bale Pasemuan. Lalu di antara Bale Pesemuan itu ada Bale Mangu. Bale berfungsi sebagai tempat pertemuan para Anak Putu dari luar Desa Pekuncen melakukan Caos Bekti pada sesepuh dan Juru Kunci pada ritual Perlon Unggahan. Selain itu juga untuk tempat bermusyawarah Anak Putu.
Saya berjalan menuju area komplek bale. Usai melewati Plataran Blimbing saya melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk di bangku panjang menikmati sebatang rokok di depan Bale Malang.
Lelaki tua itu bernama Kartasari. Saat saya tanya usianya dia sudah tidak ingat lagi tanggal dan tahunnya.
“Awit zaman Jepang,” jawabnya.
Menjaga kesucian makam
Saya duduk di sebelahnya, ada suguhan teh hangat dan wajik, juga jenang dan sepiring pisang. Baru saja saya duduk, hujan turun tapi tak begitu deras. Atap teras rumah Kartasari yang beratap seng membuat obrolan rada terganggu karena berisik oleh tetesan hujan menjatuhi atap seng.
Kartasari merupakan turunan ke-13 Juru Kunci Makam Kiai Bonoling. Kartasari adalah Kiai Kunci yang memegang otoritas tertinggi dalam komunitas Adat. Tugas utamanya menjaga kesucian makam Kiai Bonokeling, serta merawatnya.
Termasuk melarang siapapun menebang atau mengambil kayu dari area makam. Tugas lainnya, sebagai perantara atau mediator antara Anak Putu dengan Kiai Bonokeling.
Kartasari punya hak mutlak bagi siapapun yang akan berziarah ke makam untuk menyampaikan hajatnya. Termasuk tata cara hingga ubarampe dan sesaji apa saja yang harus disajikan di altar makam yang sakral.
Sayangnya, Kartasari tidak punya hak untuk berbicara kepada siapapun tentang Kiai Bonokeling. Dia menyuruh saya bertanya pada Sumitro yang tugasnya berhadapan dengan tamu dari luar.
Kiai Bonokeling bukan nama sebenarnya
Setelah hujan reda saya pamit pada Kartasari. Anak Putu bernama Mas Kendar mengantar saya menuju rumah tempat saya menginap selama di Desa Pekuncen. Usai makan malam saya kembali lagi bertamu ke rumah Sumitro. Di depan rumahnya kini telah terpasang tenda. Orang-orang sibuk menata kursi dan mengurusi segala hal buat persiapan besok menyambut anak putu yang datang dari Desa Daun Lumbung, Adipala, Adiraja, Kalikudi dan wilayah Cilacap lainnya.
Saya duduk di ruang tamu rumah Ketua Adat menghadap ke halaman. Di sebelah saya duduk Sumitro sambil mengisap rokok. Dia meminta salah satu keluarganya untuk membuatkan kopi. Tak lama kemudian datang Kepala Desa Pekuncen, Karso. Menyusul di belakangnya datang juga bertamu Anak Putu dari Pekuncen yang berpakaian adat lengkap seperti Rusiwan, Nanok, dan Ranu Wireja. Rumah ketiganya jauh di selatan yang berbatasan dengan Desa Kedungwringin.
Kopi sudah terhidang di meja dan obrolan makin hangat dan gembira.
“Jadi nama sebenarnya Kiai Bonokeling siapa, Mbah?” tanya saya pada Sumitro.
“Nah, ini yang termasuk ora ilok,” katanya sambil tertawa. Seisi ruangan tertawa.
Sambil ngopi dan menikmati kretek obrolan mengalir tentang Kiai Bonokeling dan ajarannya.
Bonokeling hanyalah nama yang sengaja dimunculkan. Bukan nama sesungguhnya, kata Sumitro. Bono itu wadah, Keling itu hitam. Kisah yang sesungguhnya ora ilok untuk dijelaskan. Termasuk nama asli dan siapa sebenarnya Kiai Bonokeling. Asalnya dari Daerah Pasirluhur, kata Sumitro. Daerah itu letaknya berbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat.
“Kiai Bonokeling itu pengembara,” kata Sumitro. Dalam pengembaraannya Kiai Bonokeling menancapkan tetenger berupa kayu di hutan Pekuncen. Jenis kayunya Nagasari. Anehnya, bibit atau ranting dari kayu itu tidak bertumbuh menyebar. Melainkan hanya tumbuh di dalam lingkaran yang dipagari itu saja.
Ajaran Kiai Bonokeling
Kayu itu tidak bisa besar dan tumbuh di luar pagar. Makanya kemanapun Kiai Bonokeling berkelana akan kembali lagi ke Pekuncen. Membangun kehidupan sosial, among tani, juga mengajarkan bahwa manusia hidup di dunia ini ada yang memberi kehidupan.
“Nyong urip ana sing gawe urip,” kata Sumitro. Inti semua ajaran dari Kiai Bonokeling itu agar kita selamat dunia akhirat. Semua diajarkan, lanjut Sumitro, mulai dari toleransi, kerukunan, gotongroyong, menjaga persatuan. Semua rupa-rupa ajaran dari leluhur itu terkait dengan keyakinan bahwa tujuan hidup semua manusia itu kelak akan pulang ke Pengeran. Makanya secara tata lahir disebut japa, srana, ilmu, laku, dan tapa.
Japa itu, sejak dulu leluhur mengajarkan jika orang hidup itu harus ada japanya, doanya. Doa itu butuh srana atau sesaji. Japa dan sesaji itu sebagai penguat dan keyakinan bagi Anak Putu atas dunia dan akhirat.
Sedangkan ilmu itu pengetahuan. Pengetahuan itu bisa dari leluhur, srawung, dan bisa juga dari alam semesta, dan sing gawe urip.
Laku itu lakunya orang hidup yang sesuai dengan tradisinya. Memperhatikan tindak laku sejatinya hidup itu saling menghormati antarsesama.
Dan Tapa itu pengendalian hawa nafsu.
Kitab Turki warisan Kiai Bonokeling
“Semua ajaran itu berdasarkan Kitab Turki,” timpal Karso, Kepala Desa Pekuncen.
Karso, 56 tahun, yang telah menjabat sebagai Kepala Desa selama 4 tahun itu menambahkan, bahwa melestarikan ajaran merupakan kewajiban Anak Putu berdasarkan Kitab Turki.
“Apa itu Kitab Turki?” Tanya saya.
“Kitab Turki itu Pituture Kaki. Wejangan dan ajaran warisan Kiai Bonokeling yang disampaikan lisan secara turun temurun. Wujud kitabnya tidak ada,” ujar Karso.
Keyakinan dan warisan leluhur itu tidak tertulis dan sejak ribuan tahun lalu masih dipegang secara teguh oleh Anak Putu. Salah satu ajarannya, tidak boleh alok alok atau jangan menentang dan jangan mengejek, serta jangan menekankan cara kita harus begini, harus begitu. Juga tidak boleh merasa ekslusif.
Menjaga toleransi dan kerukunan itu yang penting. Makanya Anak Putu penganut ajaran Kiai Bonokeling di Pekuncen tetap menjaga ajaran leluhur dengan teguh cekelan waton. “Artinya, teguh terhadap pendirian dan mematuhi norma-norma adat istiadat yang diajarkan oleh Kiai Bonokeling,” kata Karso.
Wajib menjalankan ajaran Malima
Sumitro menambahkan, selain teguh cekelan waton, Anak Putu juga wajib melaksanakan laku berdasarkan ajaran dari leluhur yang mereka menyebutnya dengan ajaran Malima.
Pertama itu Manembah, kata Sumitro. Manusia hidup harus punya sesembahan sesuai agama dan keyakinan yang dianutnya.
Maguru, karena manusia hidup itu harus mempunyai guru termasuk leluhur dan kesepuhan.
Ketiga, Mangabdi; srawung, gotongroyong,dan membantu sesama.
Keempat, Makarya, setiap orang harus punya usaha, harus bekerja.
Kelima, Manages, manunggaling kawula lan Gusti.
Kita yakin bahwa pada saatnya nanti kita akan kembali pada yang asalnya. Dunia dan akhirat itu diajarkan, ada caranya bagi Anak Putu menjalankan ibadahnya. Semua hal itu sebagai oleh-oleh hidup di dunia yang kelak dipertanyakan di akhirat. Hanya saja, ajaran yang berkaitan dengan ilmu kebatinan, caranya ora ilok untuk membicarakannya.
Makam Suci Kiai Bonokeling
Menjelang tengah malam saya baru pulang ke penginapan. Pagi usai mandi saya langsung menuju ke area makam Kiai Bonokeling. Untuk menghormati Anak Putu saya mengenakan pakaian khas adat Anak Putu yaitu kain jarik dan baju hitam serta ikat kepala.
Sesampainya di Plataran Blimbing hanya ada beberapa orang saja yang sedang menata kayu dan seorang lagi sedang mengikat seekor sapi. Beberapa mobil pikap datang menurunkan barang di tepian plataran. Saya menuju ke komplek makam yang disebut sebagai kedaton.
Kedaton Makam Kiai Bonokeling itu berada di bukit kecil yang lebat oleh pepohonan berukuran besar. Dari tempat saya berdiri tepian Plataran Blimbing hanya dipisahkan oleh aspal jalan kampung. Lalu terdapat pintu gerbang menuju makam Kiai Bonokeling. Untuk memasukinya saya tidak melewati gerbang utama melainkan lewat gang kecil di sebelah rumah Ketua Adat.
Setelah berjalan ke utara saya memotong jalan masuk ke area makam. Di balik pintu gerbang bagian dalam, ada halaman kecil yang di sudutnya terdapat tempat Anak Putu membasuh diri sebelum memasuki makam.
Hutan Mundu yang sakral
Terdapat tangga menuju area kedaton di sebelahnya. Ada dua buah joglo di area bagian dalam yang terpisah oleh jalan berbatu menanjak menuju tangga bangunan paling tinggi yakni makam Kiai Bonokeling. Di sebelahnya lagi ada hutan yang sangat sakral bagi Anak Putu yakni hutan Mundu.
Hutan Mundu oleh Anak Putu menjadi tempat melakukan ritual Kupatan Senin Pahing. Dinamakan hutan Mundu karena di dalamnya terdapat pohon-pohon Mundu berukuran raksasa. Sementara di sebelah area Kedaton makam Kiai Bonokeling terdapat makam Mbah Gunung yang terpisah oleh jalan setapak menuju Kali Pasir.
Tidak sembarangan orang bisa memasuki area makam suci. Saya hanya mendapat izin memotret pada batas tangga di depan pendopo.
Belum begitu lama saya berada di area Kedaton, serombongan perempuan berkemben dan memakai selendang putih berbaris dari area Bale Pasemuan dan Bale Malang memasuki area makam.
Tugas mereka akan membersihkan seluruh area makam. Sebelum tamu-tamu Anak Putu yang datang dari luar kota keesokan harinya datang untuk berziarah.
Sambil membawa bakaran kemenyan, mereka berjalan menuju makam. Lantas membersihkan tiap sudut makam dengan sapu dan galah. Ada juga yang membersihkan sawang di atas joglo juga membersihkan genteng dari kotoran. Saya memotret semua aktivitas itu dari jarak yang begitu dekat.
Langkah hening Anak Putu Bonokeling
Perlon Unggahan menjadi salah satu ritual yang paling melelahkan bagi Anak Putu yang datang dari luar Desa Pekuncen. Karena mereka datang dengan cara berjalan kaki puluhan kilometer dari rumah, untuk berziarah ke makam Kiai Bonokeling di Desa Pekuncen. Selain berziarah, Perlon Unggahan juga jadi ajang silaturahmi Anak Putu pada bulan Sadran.
Sekira jam 10 pagi pada Kamis,16/3/2023, saya dan beberapa teman menuju ke Pasar Kliwon di Desa Kesugihan yang berada di wilayah Cilacap. Jarak pasar ini dengan Desa Pekuncen sekira 9 kilometer. Pasar Kliwon adalah tempat peristirahatan Anak Putu yang datang dari Desa Daun Lumbung, Adiraja, Adipala, Kalikudi dan wilayah Cilacap lainnya.
Setibanya saya di Pasar Kliwon, rombongan Anak Putu sudah banyak yang datang untuk beristirahat. Ada yang sedang tidur-tiduran di lapak pedagang yang kosong, ada juga yang sedang berbaring melepas penat di bagian belakang stasiun kereta api Kesugihan. Area Pasar Kliwon memang bersebelahan dengan Stasiun Kesugihan, Cilacap.
Di dalam area pasar, saya bertemu dengan Fitri Agung Fauzi yang berasal dari Desa Daun Lumbung, Kelurahan Tambakreja, Cilacap Selatan, Cilacap. Lelaki usia 34 tahun ini mengatakan, ia berangkat dari rumahnya menjelang subuh jam 03.30 WIB.
Jalan kaki hingga 30 kilometer
Rombongan dari desanya berjumlah 132 orang lelaki dan 62 orang perempuan. Sampai Pasar Kliwon sekitar jam 10.30 wib untuk beristirahat. Jarak dari rumahnya ke Desa Pekuncen sekira 30 kilometer.
Fitri Agung yang sehari-hari bekerja freelance di Pertamina Cilacap itu mengatakan, dia menjadi Anak Putu karena keturunan dari Ibu. Dalam keluarganya ia bersama ibu yang menjadi penganut ajaran Kiai Bonokeling. Beberapa saudaranya bukan penganut ajaran Kiai Bonokeling.
Di tempat terpisah, masih di dalam area Pasar Kliwon, terdapat seorang Ibu dan Anak perempuannya yang juga tengah beristirahat. Kebaya yang dikenakannya basah oleh keringat.
Saat saya dekati, Marni, 50 tahun, tengah melepas kaos kakinya yang mulai robek dan menggantinya dengan kaos kaki baru. Sementara di sebelahnya ternyata keponakannya yang bernama Dili. Dili usianya masih 19 tahun. Ini kali pertama dia ikut jalan melakukan ritual Perlon Unggahan di Pekuncen.
Jarak bukan halangan bagi Anak Putu Bonokeling
Kata Dili, tujuannya ikut jalan karena keluarganya sudah melakukan ritual ini sejak ia belum lahir. Bahkan sejak zaman kakek dan buyutnya seluruh keluarganya berziarah ke makam leluhur setiap bulan Sadran. Jarak bukan halangan, kata Dili, justru dengan tekad berjalan kaki kita bisa mengukur seberapa kuat pengabdian kita pada leluhur.
Sekitar jam 1 siang rombongan Anak Putu dari Pasar Kliwon mulai berjalan lagi menuju ke Desa Pekuncen. Perjalanan masih jauh. Karena jarak dari pasar Kliwon ke Desa Pekuncen masih sekitar 9 kilometer lagi. Mereka berjalan beriringan. Orang-orang yang lebih tua berjalan paling depan sementara yang usianya lebih muda berjalan di belakangnya sebagai pengiring. Perempuannya memakai kebaya dan berkain.
Jika dulu mereka berjalan tanpa alas kaki. Melepas alas kaki itu bagian dari manunggal dengan alam. Juga sebagai laku prasaja. Ada unsur laku napak tilas leluhur yang Anak Putu lakukan selama perjalanan. Sebelum berangkat mereka membaca mantra terlebih dahulu. Lalu setelah berjalan tak seorangpun boleh berbicara. mereka berjalan dalam keadaan diam.
“Tapi sekarang karena jalanan sudah beraspal, kami memberikan kelonggaran dalam nitih laku. Kaki bisa melepuh jika dalam kondisi panas terik mereka berjalan di atas jalanan beraspal,” kata Sumitro.
Makna pakaian dan ikat kepala
Saya mengiringi perjalanan mereka dengan sepeda motor, sambil sesekali berhenti untuk memotret. Suasana jalanan desa siang itu sepi. Para lelaki ada yang memakai kain, ada juga yang memakai celana sebatas lutut agar memudahkan gerak selama perjalanan. Bajunya selalu berwarna hitam dan memakai ikat kepala.
Baju hitam itu bukan dari bagian maneges, kata Sumitro, malam kemarin. Itu sebagai simbol saja. Hanya sebagai pakaian tradisional. Hitam itu langgeng. Karena kita yakin akan kembali pada alam kelanggengan.
Sedangkan ikat kepala merupakan menjadi bagian bahwa manusia itu punya nafsu. Ikat kepala itu sebagai simbol untuk mengendalikan nafsu yang tempatnya di dalam kepala. Termasuk jaka gemulung, raganya manusia. Pada ikat ada wangsul sebagai bandul. Bahwa pikiran itu akan wangsul. Jika ikat itu digelar akan membentuk empat sudut yang bermakna kiblat papat, terang Sumitro.
Itu sanepa. Tegese bisa ngiket bisa ngudari, artinya manusia itu bisa memberi solusi atas setiap permasalahan yang dihadapi. Ikat kepala itu jika diudari sudutnya 4 bisa juga diartikan sebagai sedulur papat lima pancer. Pancernya di dalam diri manusianya. Dan setiap Anak Putu harus bisa mengaplikasikan semua itu dalam kehidupan.
Bersalawat hingga subuh
Sesampainya di perbatasan di Dusun Kalilirip, Anak Putu dari Desa Pekuncen kemudian menyambut tombongan Anak Putu dari luar desa. Mereka mengambil alih semua barang bawaan. Dusun Kalilirip merupakan dusun perbatasan antara Banyumas dan Cilacap.
Di Dusun Kalilirip mereka mendapat waktu untuk beristirahat beberapa saat. Di pinggir jalan Dusun itu banyak orang berjualan makanan dan minuman. Ada yang makan soto, ada juga yang pesan dawet dan berbagai minuman lain sambil beristirahat. Saya juga ikut beli soto dengan tempe mendoan yang besarnya selebar 30 senti. Harganya murah. Seporsi soto dan tempe mendoan hanya Rp14 ribu saja.
Menjelang asar mereka melanjutkan perjalanan. Hanya saja, rombongan pembawa barang yang tadinya dipikul oleh Anak Putu dari luar wilayah kini dibawa oleh Anak Putu yang berasal dari Pekuncen. Jarak Dusun Kalilirip dengan Desa Pekuncen sekira 3 kilometer. Saya dan teman-teman kembali mengiringi mereka sambil sesekali memotret di tempat-tempat yang kami anggap bagus.
Sesampainya di Desa Pekuncen, rombongan Anak Putu beristirahat di Bale Malang dan Bale Pasemuan. Ada juga yang beristirahat di rumah-rumah Bedogol. Di Desa Pekuncen terdapat 5 orang Bedogol. Dan setiap Bedogol mempunyai kelompoknya masing-masing. Sore ini mereka beristirahat karena malamnya mereka akan bertemu lagi di Bale Pasemuan dan Bale Malang untuk melakukan tirakat puji-pujian dan bersalawat hingga menjelang subuh.
Memasak di Plataran Blimbing
Jumat pagi, 17/3/2023, merupakan ritual puncak Perlon Unggahan Anak Putu Kiai Bonokeling. Plataran Blimbing jadi ruang memasak yang sangat luas, mirip dapur umum. Pada Perlon Unggahan kali ini mereka memotong 29 ekor kambing, satu ekor sapi, dan ratusan ekor ayam.
Uniknya, usai menyembelih, mereka tidak langsung menguliti kambing dan sapi. Mereka membawanya dulu ke Kali Pasir untuk dibersihkan lalu membawa kembali ke Plataran Blimbing. Mereka membakar kulit hewan tersebut untuk membersihkan bulu-bulunya.
Sementara para lelaki memasak, perempuan Anak Putu sarapan dan duduk-duduk di depan teras rumah-rumah Bedogol yang ada di depan Bale Malang dan Bale Pasemuan. Perempuan tidak diizinkan memasak. Jadi semua yang memasak adalah kaum lelaki.
Saat memasak pun ada aturan yang tidak memperkenankan mencicip. Cara memberikan bumbunya pun sesuai takaran tapi tidak boleh ada yang mencicip.
Mereka mengolah daging kambing menjadi masakan becek, atau gulai. Sedangkan daging sapi, mereka menjadi masakan srundeng. Dengan alat masak yang sangat besar mereka memasak menggunakan kayu dan tungku yang terbuat dari batangan pisang berukuran besar.
Asap mengepul memenuhi seluruh area Plataran Blimbing. Suasananya seperti pada zaman dulu kala. Karena orang-orang yang hilir mudik di Desa Pekuncen semuanya memakai pakaian adat. Termasuk saya, juga teman-teman yang datang untuk memotret.
Saat para lelaki belum selesai memasak, para perempuan yang berkain dan memakai kemben satu persatu melakukan caos bekti kepada para sesepuh di Bale Pasemuan. Menjelang tengah hari mereka berjalan beriringan menuju makam.
Sementara Anak Putu yang lelaki menyusul secara berombongan menuju pendopo di area makam. Mereka duduk untuk melakukan doa bersama. Saat masakan sudah siap, selanjutnya adalah makan bersama bersama seluruh Anak Putu.
Seluruh ritual perlon Unggahan selesai di pendopo area makam setelah mereka satu persatu caos bekti di makam Kiai Bonokeling. Langit sore itu mendung. Menjelang pukul 16.00 WIB hujan turun dengan deras. Anak Putu sudah berada di Bale Pasemuan berkumpul sambil beramah tamah, kangen-kangenan dengan para saudarannya yang berasal dari daerah lain. Karena hari Sabtu pagi keesokan harinya mereka akan kembali ke rumah masing-masing juga dengan cara berjalan kaki.
Penulis: Eko Susanto
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Rasanya Tinggal Bersama Makam-makam Tua di Njeron Beteng Keraton Jogja dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.