Pengalaman Orang Indonesia yang Hidup di Cina: Makanannya Enak, Lingkungannya Begitu Menyenangkan, tapi Hati-hati dengan Toilet Umumnya!

Pengalaman Orang Indonesia yang Hidup di Cina: Makanannya Enak, Lingkungannya Begitu Menyenangkan, tapi Hati-hati dengan Toilet Umumnya!

Pengalaman Orang Indonesia yang Hidup di Cina: Makanannya Enak, Lingkungannya Begitu Menyenangkan, tapi Hati-hati dengan Toilet Umumnya!

Kata banyak orang, sebelum menghakimi seseorang, cobalah tempatkan diri sendiri di posisi mereka, agar bisa memahami. Kata-kata tersebut ini bisa diaplikasikan ke banyak hal, misal, sebelum menghakimi suatu daerah, cobalah hidup atau singgah di daerah tersebut. Niscaya, kau akan dapat insight baru. Dan inilah yang coba Febri sampaikan lewat pengalamannya hidup di Cina.

***

Febri (33) adalah kakak tingkat saya sewaktu kuliah. Beberapa tahun belakangan saya kerap melihatnya membagikan cerita di media sosial tentang tempat dia tinggal. Beberapa kali saya ingat dia di Jerman, tapi paling sering saya lihat dia di Cina. Dan betul, beliau ternyata sudah menetap di Cina, saat saya tanyai (02/06/2024).

Awal mulanya Febri hidup di Cina karena ikut suaminya yang kebetulan dapat tugas di Cina. Dia tinggal di Provinsi Liaoning, daerah Northeast China, dekat perbatasan Rusia-Korea Utara. Tempat di mana ia tinggal katanya amat dingin, dan hanya lumayan hangat saat musim panas.

“Dingin, Mas, kan di pojok tuh, pokoknya autumn-winter-spring siap-siap suhu minus.”

Febri sudah beberapa tahun tinggal di Cina. Sebagaimana orang pada umumnya, dia sempat mendapat culture shock saat awal-awal hidup di Cina. Modal kemampuan bahasa Inggris yang dia punya tak bisa membantu dirinya. Akhirnya, dia belajar bahasa Mandarin di universitas setempat.

Perkara bahasa memang pelik, mau di mana pun kalian hidup. Biasanya, bahasa Inggris bisa membantu kalian keluar dari kesulitan, tapi tidak di sini.

“Mungkin kesulitan awal itu pas bagian administrasi, misal pegawai bank atau polisi nggak mesti ada yang bisa bahasa Inggris, jadi effort banget harus pakai translator atau bawa kenalan orang lokal biar urusan lancar karena butuh banget urusan sama mereka. Dan orang Cina sendiri senang kalo misal dengar orang asing bisa bahasa mereka.

Selain tak bisa bahasa Mandarin, dia juga tak terbiasa hidup dikelilingi CCTV selama 24 jam dari segala angle. Hal ini bikin saya lumayan kaget, segitunya kah?

Makanan bukan masalah

Culture shock banyak orang ketika pindah tempat tinggal selain bahasa, tentu saja makanan. Home sweet home kadang tentang bau masakan yang harum, dan gurihnya kuah yang menempel di lidah. Untuk perkara ini, Febri tak merasa kesulitan sama sekali.

“Soal makanan nggak usah khawatir, enak-enak pokoknya. Salah satu hal yang paling disenangi kalo lagi jalan-jalan keluar kota ya nyicip kuliner, soalnya gak ada habisnya, karena setiap kota pasti beda-beda. Misal mau masak sendiri juga bahan dan sayuran harganya terjangkau.”

Tak mengagetkan juga, sebab banyak masakan di Indonesia yang diadopsi atau terinspirasi dari makanan di Cina. Pengaruh Cina di makanan Indonesia bisa ditemukan pada makanan seperti mi ayam, pangsit, lumpia, bakso, dan lain-lain. Jadi tak mengagetkan jika tak terjadi culture shock atau lidah orang Indonesia cocok dengan masakan di Cina.

Ketika makanan sudah cocok di lidah, barulah tempat tinggal yang jadi masalah. Bagaimana rasanya hidup bertetangga di Cina?

Febri pada dasarnya tak punya tetangga, dia hidup di apartemen, dan kamar sebelah masih kosong. Tapi pada dasarnya, hidup di Cina ya mirip di Indonesia. Jika ketemu di lift, saling sapa, ibu-ibu saling berkumpul, dan para lansia berkumpul di taman. Ada yang olahraga, ada yang main mahjong.

Penerimaan warga sekitar pada Febri pun baik. Tidak anti pada pendatang. Sebab yang Febri rasakan, justru banyak yang pada penasaran.

“Sepertinya enggak, malah penasaran. Kalo aku pas jalan sama suamiku, mereka ada yang excited banget nawarin dagangan atau sekedar kepo pengen ngajak ngobrol. Kalo aku jalan sendiri, mungkin karena wajah asia, jadi ya mereka biasa aja. Dilihat dari situ kan berarti mereka tertarik.”

Hidup di Cina tak (begitu) mahal

Sekarang pertanyaan paling utamanya adalah, apakah hidup di Cina itu mahal?

Febri menjawab, tidak. Sehari-hari 3000 yuan itu cukup, tapi ya uang segitu besar untuk orang Indonesia. Lagi-lagi, konteks harus dipahami. Yang mahal di sini, bisa jadi begitu murah di sana, begitu juga sebaliknya.

Untuk kebutuhan sehari-hari seperti bahan makanan, bagi Febri itu semua tergantung musim. Misal ada satu bahan yang mahal, bahan yang lain bakal lebih murah karena ya itu tadi, tergantung dari musim.

“Mahal engganya tergantung komoditas, tergantung musim. kalo kangkung di sini 300 gr/15rb mahal kan ya, Mas? Tapi apel 13 ribu sekilo murah. (Komoditas) musiman soalnya aku tinggal di daerah utara, musim dingin lebih panjang. Jadi harga-harga tergantung musim.”

Untuk harga elektronik, barulah Cina juaranya. Hidup di Cina, artinya hidup di mana elektronik murah dan lebih canggih. Saya tidak bercanda, barang elektronik di Cina itu murah-murah, kalau tak percaya coba cek kanal GTID. Febri pun mengamini perkara barang elektronik.

“Bisa dibilang harga elektronik lebih murah di sini, kita udah compare harga barang elektronik rumah tangga dan yes, lebih murah. Plus pilihannya lebih bervariasi, apa yang dijual disini kadang tuh gak ada di luaran sana karena memang khusus di produksi untuk dalam negeri. Contoh kecil ya hape, TV.”

Hidup di Cina kudu siap bawa botol bilas

Kini kita bicara tentang kebiasaan paling menyebalkan.

Banyak hal-hal buruk yang orang-orang ceritakan tentang Cina. Febri mendengar itu semua, dan ada yang tidak dia alami, seperti melihat orang berak di jalan. Tapi, yang menyebalkan buat Febri adalah orang yang buang dahak di jalan. Sampai kini, dia masih tak terbiasa buat itu.

“Eh tapi ternyata itu ada maknanya sendiri loh, aku pernah dengar kalo dahak/ludah itu sesuatu yang buruk, dan hal buruk harus dibuang, paham kan maksudnya? Anak-anak muda yang sekarang ini mereka gak pada kaya gitu, rata-rata yang tua-tua aja yang masih buang dahak di jalanan.”

Perkara berak di jalan, Febri mengaku tidak pernah melihat selama hidup di Cina. Tapi kata Febri, their public toilet is something you must avoid.

“Aku pernah punya pengalaman traumatis di stasiun kereta nemu “harta karun” segede kotoran sapi. Itu apa seisi usus keluar semua. dan “cebok” pake air juga bukan budaya sini jadi yaaaaaa gitu lah, harus bawa tisu dan botol bilas ke mana-mana.”

Jadikan bucket list

Banyak hal yang kita tidak tahu dari Cina. Saya sendiri terkaget-kaget saat wawancara dengan Febri, kawan yang hidup di Cina. saya masih punya banyak asumsi-asumsi yang buruk, dan gugur begitu saja saat bicara dengan Febri.

Febri pun memberikan pesan penutup untuk orang-orang seperti saya. Yang tak tahu, tapi memegang asumsi sebagaimana kebenaran dari langit.

“Main ke Cina gih, traveling ke sini. Jadikan bucket list destinasi wisata kalian. Cina tuh luas loh, banyak hal menarik yang mungkin di negara lain gak ada.

Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin

BACA JUGA Pesan-Pesan Hidup Orang Cina buat Gen Z Indonesia, Biar Nggak Lembek dan Menye-Menye karena Kehidupan Memang Keras!

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version